Permohonan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 yang diajukan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Hatta menyertakan penyelenggarakan pencoblosan di DKI Jakarta sebagai salah satu dasar permohonan. Rekomendasi yang diberikan Bawaslu DKI Jakarta kepada KPU DKI Jakarta mengenai 5.802 TPS dinilai Prabowo-Hatta sebagai salah satu keadaan terjadinya pelanggaran yang sistemik, masif, dan terstruktur.
Menilai benar salah satu dasar permohonan itu, rumahpemilu.org menghubungi Ketua Bawaslu DKI Jakarta, Mimah Susanti melalui telepon (8/8). Betulkah rekomendasi yang dimaksud terkait 5.802 TPS adalah rekomendasi pemilihan ulang? Berikut wawancaranya:
Bisa digambarkan keadaan yang mendorong Bawaslu DKI Jakarta merekomendasikan 5802 TPS untuk dilakukan pencermatan data ke KPU DKI Jakarta?
Bawaslu DKI menerima laporan dari Panwaslu dan petugas kami di lapangan. Ada ditemui sejumlah indikasi pelanggaran di TPS tersebut terkait diperbolehkannya pemilih yang memiliki KTP dari luar DKI untuk memilih. Karenanya kami membuat surat rekomendasi pada KPU DKI untuk menindaklanjuti melakukan kroscek data di 5802 TPS tersebut.
Itu salah satunya soal DPKTb. Sepengetahuan Bawaslu DKI Jakarta, kenapa DPKTb yg bersyarat alamat KTP pemilih harus sesuai alamat TPS, bisa tak dipatuhi?
Betul persoalannya terkait DPKTb. Ada perlakuan tidak adil dari para penyelenggara pemilu dalam hal ini KPPS yang untuk beberapa TPS memperbolehkan warga ber-KTP luar Jakarta untuk memilih dan ada juga KPPS yang tak memperbolehkan warga tak ber-KTP DKI ini untuk memilih.
Itu menjadi persoalan yang memang berdasarkan hasil pengawasan kami di lapangan. Tindakan memperbolehkan warga mencoblos di TPS yang ada di Jakarta tapi KTP-nya dari luar Jakarta, dan tanpa surat keterangan domisili dan formulir A5 itu tak sesuai peraturan.
Para KPPS ini melakukan pelanggaran ini ada yang karena betul-betul tidak paham peraturannya. Tapi ada juga yang tahu dan memperbolehkan untuk mencoblos, karena KPPS inikan memang warga dari RT tersebut, jadi dia kenal dengan pemilih tersebut. Jadi dia memperbolehkan untuk mencoblos.
Kenapa hanya muncul 13 TPS yang direkomendasikan Bawaslu untuk pemilihan ulang?
Kami mengundang sejumlah KPPS. Tapi yang datang hanya 35 KPPS dan mereka ada yang membawa data dan bisa membuktikan tak terjadi pelanggaran. Dan 13 TPS ini hasil investigasi kami. KPPS tak bisa menunjukkan data yang berkesesuaian dan terbukti ada pelanggaran. Akhirnya kami mengeluarkan rekomendasi untuk PSU. Sementara TPS sisanya sebagian besar belum melakukan kroscek data, seperti yang kami rekomendasikan.
Yang memiliki kunci kotak suara adalah KPU. Kami sudah memberikan surat rekomendasi untuk mereka tindaklanjuti kroscek data. Kami berharap, pihak Bawaslu dan KPU mengkroscek data bersama. Memang setelah surat rekomendasi kami, KPU DKI Jakarta telah mengeluarkan surat ke KPU kota. KPU kota memberikan akses pada Bawaslu untuk melakukan kroscek data. Tapi ini yang respon hanya KPU Kota Jakarta Barat dan KPU Kota Jakarta Selatan. 2 KPU kota ini memang telah berkoordinasi dengan baik dengan Panwaslu kami, baik sebelum ada surat dari KPU DKI tersebut, sementara 3 KPU kota lainnya tak merespon.
Apa ini berarti TPS sisanya yang perlu dicermati KPU DKI, tak bermasalah?
Hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari KPU DKI Jakarta, terhadap rekomendasi kami di TPS sisanya. Kami belum bisa menyimpulkan. Kami juga tak bisa merekomendasikan diadakan PSU pada TPS tersebut karena sebelum keluar rekomendasi PSU kan kami harus melakukan kroscek data dulu. Kroscek datanya belum dilakukan.
Lalu bagaimana dengan surat KPU RI yang meminta KPU Jaktim membuka 1400 kotak suara bersama Panwaslu Jaktim? Ada permasalahan apa? Dan kaitannya dengan rekomendasi 5804 yang perlu dicermati KPU DKI?
Ini harus dibedakan. Surat rekomendasi kami ke KPU DKI meminta 5802 TPS dilakukan kroscek data. Sementara Surat edaran KPU RI tertanggal 25 Juli itu hanya membuka kotak suara untuk mengambil data terkait gugatan pilpres. Jadi bukan kroscek data tapi melihat data yang ada hubungannya dengan DPKTb. Seperti formulir A5, surat keterangan domisili, fotokopi KTP yang seperti itu datanya memang ada di dalam kotak suara.
Pengawas pemilu diundang dan hadir tapi hanya untuk mengawasi bahwa data-data tersebut memang ada di dalam kotak suara. Tapi sekali lagi, ini bukan koscek data seperti yang kami rekomendasikan.
Pengawas pemilu yang hadir pun kami minta tak boleh menandatangani berita acara pembukaan kotak suara tersebut. Kami akan cek dan tindak jika ada pengawas pemilu kami yang menandatangani berita acara.
Bagaimana sikap Bawaslu DKI dalam persidangan di MK nanti?
Kami hanya akan memberikan keterangan sesuai temuan kami. Apa yang telah kami rekomendasikan dan bagaimana tindaklanjutnya dari KPU. Kami siap memberikan kesaksian, Kami terus berkoordinasi dengan Bawaslu RI.