Sistem pemilu DPR dan DPRD Indonesia merupakan sistem proporsional yang menekankan pada relasi pemilih/rakyat kepada partai, bukan dewan. Kursi di parlemen adalah kursi partai sehingga partai yang memberhentikan dewan, bukan pemilih. Di konteks pemerintahan 2004-209, 2009-2014, dan 2014-2019, dewan yang duduk di parlemen dipilih langsung oleh rakyat. Objektivitas partai lebih dituntut jika dewan terpilih diberhentikan.
Tanpa menagih objektivitas partai dalam memberhentikan dewan, pimpinan atau pihak berpengaruh di internal partai berpotensi sewenang-wenang dalam memberhentikan dewan. Fahri Hamzah diberhentikan dewan dan keanggotaan partai karena sikapnya dinilai berseberangan dan tak sesuai kesantunan partai dakwah. Fahri tak melanggar hukum seperti Luthfi Hasan Ishaaq yang tersangkut korupsi atau Arifinto yang menonton film porno saat sidang paripurna DPR.
Objektivitas sikap partai yang dipertanyakan juga terjadi di partai lain terhadap anggota dewannya. Lily Wahid dan Effendy Choirie diganti karena mendukung hak angket mafia pajak. Sikap keduanya bertentangan dengan sikap fraksi PKB. Dalam tekanan yang lebih rendah, Rieke Diah Pitaloka sering ditegur PDIP karena Rieki menolak kenaikan BBM sehingga bertentangan fraksi PDIP.
Ini menyadarkan kita kenapa caleg ketika terpilih lebih patuh pada partai dibanding rakyat yang memilihnya. Pertanda kuat, posisi rakyat, sebagai pemilik kedaulatan negara demokrasi Republik Indonesia, masih rendah.
“Kalau sistemnya proporsional, pemilih tak bisa (menentukan masa jabatan dewan),†kata pakar ilmu politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris (6/4).
Menurut Haris, jika menginginkan adanya kewenangan pemilih bisa menentukan masa jabatan dewan pilihan tepat adalah sistem pemilu mayoritarian. LIPI pernah merekomendasikan sistem pemilu pararel untuk Indonesia. Sistem pemilu ini menggabungkan aspek positif representasi dari sistem proporsional dan aspek pertanggungjawaban langsung dewan kepada pemilih dari sistem mayoritarian.
“Yang me-recall anggota dewan dalam sistem mayoritarian adalah pemilih, bukan partai. Sistem proporsional, tak bisa,†tambah Haris.
Sistem pemilu proporsional, yang menurut The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) beristilah “proportional representation (PR)â€, merupakan sistem yang menekankan pada hubungan rakyat dengan kelembagaan partai. Di sistem ini satu daerah pemilihan (dapil/distrik) terdapat lebih dari satu kursi.
Sistem proporsional biasa dihadapkan dengan sistem mayoritarian (majority/plurality). Sistem mayoritarian, hubungan rakyat dengan personal dewan yang terpilih. Setiap daerah pemilihan dari sistem ini hanya ada satu kursi yang diperebutkan banyak calon dari partai dan nonpartai.
Pengamat pemilu, Didik Supriyanto sering mengatakan, sistem proporsional sudah terberi bagi Indonesia. Secara konteks, sistem pemilu mayoritarian tak akan disukai politisi terkait keragaman identitas masyarakat: suka, agama, ras, dan antargolongan.
“Proporsional itu udah given. Emang politisi mau apa cuma ada dua partai di parlemen (sebagai hasil dari sistem mayoritarian),†kata Didik.
Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 bertuliskan, peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Karena peserta pemilu DPR dan DPRD hanya partai politik, tak ada dari jalur perseorangan, sangat bisa ditafsirkan sistem pemilu DPR dan DPRD adalah sistem pemilu proporsional.
Tapi, yang perlu menjadi catatan, sejak Pemilu 2004, Indonesia menerapkan sistem pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional daftar calon (PR candidate list). Malah, sejak putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa hasil Pemilu DPR (DPD) dan DPRD 2009 hingga Pemilu 2014, Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar calon utuh, yang berarti calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak jika keseluruhan suara yang diperoleh partai dan tiap calonnya sesuai dengan nilai satu kursi atau lebih.
Di sistem pemilu proporsional daftar calon, elektabilitas partai sebetulnya bergeser ke arah sosok calon. Elektabilitas institusional berubah menjadi elektabilitas personal. Perolehan suara dan kursi partai sebetulnya menjadi bergantung pada calon yang ditawarkan di daftar calon kepada pemilih. Relevansinya makin menguat, karena dari 2004 hingga 2014 jumlah pemilih yang memilih calon signifikan meningkat dibanding pemilih yang hanya memilih logo partai.
Sebagai gambaran bisa kita rujuk hasil Pemilu 2014 di daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat, tempat Fahri berkontestasi politik. Fahri memperoleh suara lebih dari 125.083. Jumlah ini terlalu banyak untuk dibandingkan dengan suara pemilih yang memilih “Kabah bergambar padi yang diapit dua bulan sabitâ€. Komisi Pemilihan Umum merekap, nilai suara Fahri sama dengan lebih dari nilai 3 kursi di daerah pemilihan NTB. Satu kursi terendah NTB seharga 37.889 suara.
Suara Fahri pun terbanyak jika dibandingkan dengan seluruh caleg PKS se-Indonesia. Mantan Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid untuk dapil II DKI Jakarta memperoleh 119.267 suara. Mantan menteri Kominfo, Tifatul Sembiring hanya mendapat 74.510 suara. Sedangkan ketua umum PKS sekarang, Sohibul Iman yang memberhentikan Fahri Hamzah, suara yang diperoleh di Pemilu 2014 hanya 42.553 suara di dapil Jawa Barat XI. Tapi, suara rakyat bisa kalah dengan kewenangan (ketua) partai. []