November 27, 2024

Otak-atik Sistem di RUU Pemilu

Jelang pemilu, pemerintah dan DPR mulai mereformulasi sistem. Otak-atik sistem pemilu dalam pembahasan RUU Pemilu akan jadi arena berebut kuasa.

Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Surat Presiden (Surpres) untuk menyerahkan Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam draf tersebut, variabel sistem yang disusun banyak menuai polemik. Pasalnya, landasan perubahan-perubahan yang diajukan tak jelas.

Perubahan sistem pemilu menjadi proporsional terbuka terbatas, misalnya, tidak berlandaskan evaluasi terhadap sistem pemilu yang kini dianut. Di beberapa negara, perubahan sistem biasanya dilakukan setelah ada evaluasi soal proporsionalitas. Mixed member proporortional (MMP), misalnya, dipilih setelah mempertimbangkan proporsionalitas—membandingkan berapa persen suara partai dengan kursi yang didapatkannya.

“Sistem MMP hadir atas evaluasi terhadap disproporsionalitas yang terjadi dalam sistem mayoritarian. Sementara wacana perubahan sistem pemilu di Indonesia tak jelas evaluasinya apa,” kata Heroik M. Pratama, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat ditanya (12/8).

Proporsional terbuka terbatas rasa tertutup

RUU Pemilu menyematkan nama sistem proporsional terbuka terbatas. Pilihan ini berkonsekuensi pada dua variabel sistem: metode pemberian suara dan penetapan calon terpilih.

Pasal 329 ayat (1) huruf b RUU Pemilu menjelaskan bahwa suara dianggap sah jika memilih gambar partai atau nomor urut partai. Suara tidak sah jika mencoblos gambar calon atau nomor urut calon yang juga terdapat dalam surat suara. Indikasi pertama bahwa sistem terbuka terbatas yang diajukan pemerintah sebenarnya adalah proporsional tertutup.

“Yang membuatnya seolah-olah menjadi terbuka hanya karena ada daftar calon saja. Padahal, substansinya tertutup karena pemilih tidak bisa memilih calon,” kata Masykurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), kepada Rumah Pemilu (24/10).

Pasal 138 ayat (2) dan (3) RUU Pemilu menghendaki penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut di daftar calon yang disusun oleh masing-masing partai peserta pemilu. Indikasi kedua bahwa sistem terbuka terbatas yang diajukan pemerintah sebenarnya adalah proporsional tertutup.

“Ini pelanggaran konstitusi. MK dalam putusan No.22/PUU-VI/2008 telah menyatakan bahwa keterpilihan harus didasarkan pada suara terbanyak sesuai dengan pilihan rakyat,” kata Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, pada diskusi “22 Pasal Inkonstitusional dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu”, di Menteng, Jakarta Pusat (3/11).

Dapil dan alokasi kursi

Tak hanya soal terbuka terbatas, ada variabel lain dari sistem pemilu yang diubah: besaran daerah pemilihan dan metode konversi suara jadi kursi.

Pasal 156 ayat (2), Pasal 158 ayat (2), dan Pasal 161, alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil) untuk DPR adalah 3-10 dan 3-12 kursi untuk DPRD. Hal ini berdampak pada terbukanya sistem multipartai ekstrem yang akan membuat dinamika di parlemen sangat tinggi.

“Besaran daerah pemilihan ini akan membuka ruang terciptanya pemerintahan terbelah—parlemen dikuasai partai di luar pendukung presiden—secara vertikal antara pusat dengan daerah,” kata Heroik (6/10).

Konsultan Senior Kemitraan bidang Pembaruan Tata Pemerintahan, Ramlan Surbakti, mengusulkan agar alokasi kursi per dapil dikurangi menjadi 3-6. Hal tersebut dilakukan untuk mengoptimalkan partai mewujudkan visi misinya di tiap daerah.

“Saya sependapat dengan Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), kursi dapil itu perlu dikurangi menjadi 3-6 saja,” kata Ramlan, pada acara “Seminar Rekonstruksi Sistem Pemilu di Indonesia, Menyongsong Pemilu Nasional Serentak” di Senayan, Jakarta Selatan (29/9).

Sementara itu, formula penghitungan suara jadi kursi di RUU Pemilu diatur pada Pasal 394 ayat 2 dan 3. Metode konversi suara menjadi kursi dilakukan dengan pembagi pecahan 1,4 dan diikuti secara berurut oleh bilangan ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya atau metode Sainte Laguë Modifikasi.

“Dampak potensi disproposionalitas meningkat dan menguntungkan partai besar jika memakai metode ini,” kata Heroik.

Quo vadis pemilu Indonesia

Didik Supriyanto, pakar pemilu, dalam pengantar buku Prospek Pemerintahan Hasil Pilkada 2015 telah mendedah sejarah pemilihan tiga tujuan pemilu dalam lanskap politik Indonesia. Tiga tujuan pemilu tersebut adalah keterwakilan politik, integrasi nasional, dan pemerintahan efektif.

Pemilu tak bisa dilepaskan dari sistem kepartaian dan sistem pemerintahan. Rancang bangun pemilu akan berpengaruh pada hasil pemilu: sistem kepartaian dan sistem pemerintahan. Maka, merancang pemilu harus tegas betul hendak mencapai tujuan mana—hendak mencapai sistem kepartaian dan sistem pemerintahan seperti apa.

“Pada titik inilah bisa dipahami mengapa terjadi ironi pemilu di Indonesia: proses penyelenggaraannya semakin demokratis, tetapi hasil pemerintahannya semakin koruptif,” tulisnya.

Perludem sendiri menyeriusi mendesain variabel sistem pemilu menuju tujuan pemilu menciptakan pemerintahan efektif yang tak pernah diseriusi pembuat undang-undang. Pemerintahan efektif yang dimaksud adalah eksekutif didukung oleh mayoritas kursi di legislatif. Maka sistem kepartaian pun mesti sederhana.

Pemilu dibuat dua kali: pemilu serentak nasional dan daerah. Besaran daerah pemilihan dibuat 3 hingga 6 kursi. Formula perolehan kursi menggunakan webster.

Sementara itu, RUU Pemilu yang diajukan pemerintah memuat lima tujuan. Tujuan itu termaktub di Pasal 4. Pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial, mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas, menyederhanakan dan menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, serta mencegah duplikasi pengaturan dan ketidakpastian hukum pengaturan pemilu.

Tapi tujuan tersebut tak terlihat dalam desain-desain sistem pemilu yang ditawarkan pemerintah. Jika tak tegas memilih perubahan sistem, apalagi tanpa landasan yang kuat, RUU Pemilu dinilai akan berlarut dalam proses pembahasan politik di DPR.

“Tak jelas apa landasan perubahan sistem dan tujuan pemerintahan apa yang hendak dicapai dari perubahan sistem tersebut. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa RUU Pemilu ini akan jadi arena perebutan kuasa,” tegas Heroik.

AMALIA SALABI DAN MAHARDDHIKA