August 8, 2024

Otto Nur Abdullah: Caleg Aktivis Punya Persepsi Keidealan Daerahnya dan Indonesia

Satu bulan jelang pemungutan suara, para aktivis berkumpul di Aceh untuk merumuskan agenda bersama yang bisa diterapkan di dalam partai dan parlemen. Hal ini bisa menjadi pengikat komitmen terhadap keidealan prinsip yang selama ini menjadi dasar caleg aktivis mengadvokasi isu dan mengkritik ke pemerintahan.

Hadir dalam forum tersebut aktivis senior yang sekarang berada di kerja struktur pemerintahan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Otto Nur Abdullah. Kepada Otto, rumahpemilu.org ingin mencari konteks dan prospek caleg aktivis untuk merubah parlemen melalui kontestasi pemilu. Berikut hasil wawancara dengan Otto yang berlangsung di Banda Aceh (15/3):

Bagaimana anda menilai para aktivis mencalonkan di pemilu untuk masuk parlemen?

Satu hal yang tak dimiliki caleg lain, aktivis punya pengalaman yang mendalam terkait isunya. Misalnya tentang penegakan HAM di Indonesia. Dari sini kita bisa lebih optimis HAM bisa lebih ditegakkan. Kalau tak ada caleg aktivis maka kita pesimis.

Pasca-Reformasi, pasca-konflik, sudah ada penyelenggaraan pemilu, bagaimana gambaran regenerasasi aktivis dari pemilu ke pemilu?

Sejak dulu, partai lokal di Aceh sudah ada. Bahkan, aktivis pasca-konflik pun ikut partai. Apakah ini juga merupakan fenomena yang positif? Saya kira iya. Ketika kita tumbuh dalam pengalaman politik yang sama, kita punya persepsi yang sama tentang ideal. Baik itu soal kondisi ideal di Aceh atau Indonesia.

Bila kita telisik, beberapa kebijakan politik terkait HAM umumnya muncul dari parlemen yang diisi dewan berlatar belakang aktivis. Kebijakan berpihak HAM lahir bukan dari dewan berlatar belakang partai atau ormas. Melalui pemilu ke pemilu, kapasitas aktivis bisa terus ditingkatkan berdasar persepsi ideal mengenai Aceh dan Indonesia. Sehingga diharapkan, parlemen makin memiliki persepsi ideal aktivisnya.

Di konteks relasi Aceh dan pemerintahan nasional, caleg aktivis berkecenderungan apa dalam bersikap?

Caleg aktivis terbiasa hidup dengan jaringan yang luas. Tak hanya nasional, bahkan internasional. Jika mereka di parlemen, pola kordinasi pusat dan daerah bisa menjadi lain. Misal, sekarang koordinasi Jakarta dan Aceh masih renggang. Dengan hal ini, jika para aktivis berhasil banyak yang masuk parlemen, pasti model negosiasinya bisa berkembang. Sehingga terbentuk relasi yang lebih sehat antara Aceh dan Jakarta.

Soal partai, bagaimana para aktivis menilai partai lokal dengan partai nasional?

Saya ingin mengingatakn dulu, kita punya pengalaman saat konflik. Sebelumnya, orang Aceh sebelum yang berada di pusat tak mewakili masyarakat Aceh. Mereka malah menjadi kaki tangan dari Jakarta di Aceh. Itu yang menjadi masalah. Misalnya orang partai Golkar, PPP, PDI pada zaman sebelum Reformasi seolah membawa aspirasi pusat ke lokal. Bukan mewakili Aceh di pemerintahan pusat, tapi malah sebaliknya.

Dari latar belakang itu ada anggapan, hanya partai lokal yang bisa mewakili para aktivis. Maka Partai Aceh menang di 2009. Tapi sekarang persepsi berubah, para aktivis menganggap harus ada agensi di Senayan. Maka dari itu partai lokal berkoalisi dengan partai nasional. Ada juga para aktivis lokal yang aktif di partai nasional. Tapi sebenarnya mereka bisa sejalan ke depannya.

Terkait perspektif HAM, seperti apa perspektif ini menilai pemilu?

Belum ada keinginan politik yang kuat. Pada 2006, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diamputasi. Seluruh politisi yang memperjuangkan penyelesaian HAM perlu memperhatikan dua hal.

Pertama, kandidat harus dibersihkan dari penilaian sebagai pelaku pelanggar HAM. Jika ini tak dibersihkan, justru merugikan kandidat itu sendiri. Misalnya, Prabowo. Itu menjadi kampanye hitam bagi dirinya. Sehingga bisa menjadi isu politik yang merugikan.

Atau Wiranto, dia merasa pernah minta maaf saat 1998 di Lhoksumawe. Tapi penegakan HAM jalur hukum tak ada. Padahal yang penting di negara hukum adalah proses hukum.

Diskursus publik sebagai bagian penting dalam demokrasi berkembang di Aceh. Tapi, ini dinilai tak berkembang di isu perempuan dankaum minoritas. Pun begitu di konteks pemilu. Anda menilainya bagaimana?

Secara kuantitaf, caleg perempuan sudah terpenuhi. Tinggal menguatkan kapasitas caleg perempuan sendiri.

Kalau kaum minoritas, banyak yang tak terwakili, misal dsabilitas, minoritas etnis, dan lain-lain. Karena secara populasi mereka tak punya suara. Maka kita perlu anggota perlemen yang konsern dalam penegakan HAM. Ini yang lebih menjamin pemenuhan suara kaum minoritas.

Belum terpenuhinya itu berdampak pada RUU disabilitas yang tertunda. Kaum minoritas sebagai warga ada di posisi yang lemah. Keadaan ini ditambah payung hukum dari parlemen yang masih lebih diupayakan. []