October 15, 2024

Paradoks Pemilu Serentak Brasil

Koran Tempo memberitakan (21/10), bekas Ketua Majelis Rendah Kongres Brasil, Eduardo Cunha, ditangkap Polisi (19/10, waktu Brasil) terkait korupsi. Pentolan kaukus Evangelis Kristen di DPR, yang memimpin pemakzulan mantan Presiden Brasil, Dilma Rousseff ini diduga menerima suap jutaan dolar Amerika Serikat dari transaksi ladang minyak di Benin oleh perusahaan minyak milik negara Petrobras.

Kejadian itu menguatkan kesimpulan, pemakzulan presiden Brasil terpilih hasil pemilu serentak, Dilma, lebih karena politisasi elite kuasa. Lawan politik Dilma dan Partai Pekerja ingin mengambil alih kekuasaan di konteks koalisi partai-partai parlemen yang tak solid. “If she (Dilma Roessef ) had a solid majority in Congress, these acts would be forgivable. The majority support she had in Congress at the beginning of her presidency no longer exists,” kata Brasílio Sallum Jr.

Pemilu serentak (concurrent elections) bertujuan menguatkan presidensialisme melalui parlemen yang partai/koalisi mayoritasnya mendukung presiden. Tapi yang terjadi di Brasil merupakan paradoks. Presiden terpilih Pemilu Serentak 2014, Dilma Roessef, selain tak didukung mayoritas partai/koalisi parlemen, presiden perempuan pertama Brasil ini pun dilengserkan.

Hampir semua pakar kepemiluan Indonesia merekomendasikan pemilu serentak sebagai solusi menghindari pemerintahan terbelah (devided government). Argumennya bagai mantra penolak kutukan sistem presidensial-multipartai. Ternyata, tak semua pemilu serentak di sejumlah negara Amerika Selatan menciptakan pemerintahan kondusif. Brasil menerapkan pemilu serentak tapi pemerintahan hasil pemilunya malah tetap terbelah.

Secara teknis, pemilu serentak berfungsi mengoptimalkan efek menarik kerah (coattail effect). Jika pemilih diberikan pilihan presiden dan partai secara bersamaan, daya tarik presiden akan berefek terhadap pemilih untuk juga memilih partai pengusung presiden. Sehingga, semakin menyatu teknis kepemiluannya, pemilu serentak akan menghasilkan pemerintahan presidensial yang menyatu dengan dukungan parlemen.

Paradoksal hasil Pemilu Brasil 2014 punya banyak faktor, salah satunya karena variabel sistem pemilu Brasil punya sejumlah kontradiktif dengan konsep pemilu serentak. Ini menjadi sebab laten hasil pemilu serentak Brasil selalu menggambarkan partai pengusung presiden tak pernah menjadi partai mayoritas parlemen, tak jauh berbeda dengan pemilu dekade sebelumnya yang belum serentak.

Kursi tiap dapil terlalu banyak

Ketaksesuaian pertama pemilu serentak Brasil ada di variabel jumlah kursi tiap daerah pemilihan/dapil (district magnitude). Satu dapil pemilu Brasil berjumlah 8-70 kursi. Terlalu banyak kursi pada satu dapil akan menghasilkan banyak partai di parlemen. Hasil Pemilu 2014 Brasil, partai pengusung Dilma hanya 70/513 (13%) kursi. 87% kursi lain harus dibagi dengan 27 partai di parlemen. Meski ada 3 besar koalisi, fragmentasi parlemen (berdasarkan angka efektif partai parlemen/ENPP) berjumlah 13,21 (multipartai ekstrim).

Dapil DPR Indonesia dalam UU No.8/2012 berjumlah 3-10 kursi. Hasilnya, Pemilu 2014 mirip dengan Pemilu Brasil 2014. PDIP sebagai partai pengusung presiden Joko Widodo hanya punya 109/560 (19%) kursi. 81% kursi DPR lainnya dimiliki 9 partai selain PDIP. Fragmentasi parlemen bernilai ENPP 8,2 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah seiring makin lemahnya pengakaran ideologi partai (party-ID).

Banyak kursi tiap dapil memelihara kutukan presidensial multipartai, meski pemilu sudah serentak. Yang terjadi di Brasil dan Indonesia melanjutkan pembuktian pendapat Scott Mainwaring (1992) bahwa negara-negara presidensial multipartai tak akan berjalan baik (immobilism) karena pemerintahan sangat sulit berkebijakan dengan keadaan parlemen tak kondusif. Eric C.C. Chang dan Miriam A. Golden (2005) menguatkan, terlalu banyak kursi tiap dapil menghasilkan pemerintahan buruk karena rentan korupsi.

Memilih caleg, bukan partai

Ketaksesuaian kedua adalah karena Brasil menerapkan sistem pemilu proporsional daftar calon (candidate-list/open-list proportional representation). Sistem proporsional daftar terbuka ini tak efektif mengoptimalkan efek menarik kerah pemilu serentak. Jika pemilih disodorkan pilihan presiden dan pilihan partai menyertakan daftar caleg, maka ada kecenderungan pilihan presiden tak sesuai dengan pilihan partai yang mencalonkan presiden karena pemilih memilih caleg berdasarkan kualitas caleg bukan kualitas partai/presiden. Kecenderungan ini tetap terjadi meski pemilu diserentakan.

Dilma dari Partai Pekerja memang menjadi presiden terpilih. Tapi pemilih Dilma secara bersamaan justru banyak yang tak memilih Partai Pekerja. Penyebabnya, pilihan pemilu partai terlalu banyak karena masing-masing partai bisa menampilkan puluhan nama caleg.

Itu mirip dengan Joko Widodo yang diusung PDIP. Efek Jokowi tak optimal bukan hanya karena pemilu presiden dan partai dipisah tapi juga karena di pemilu partai pemilih ditawarkan pilihan caleg. Efek Joko Widodo dalam survei prapemilu memang menarik elektabilitas PDIP 30-an% tapi angka ini berdasar pada pertanyaan “pilih partai apa di pemilu (bukan pilih caleg siapa)?”. Kenyataannya, PDIP hanya meriah suara 18%. Jika 2014 pemilu serentak, Jokowi efek tetap tak optimal jika menggunakan pemilu proporsional daftar terbuka.

Pilpres dua putaran

Ketaksesuaian ketiga, Brasil menerapkan sistem pemilu presiden majority run off. Pemilu presiden dua putaran ini dalam pemilu serentak cenderung mengurangi kemungkinan munculnya partai mayoritas di parlemen. Harapan koalisi partai terjadi lebih awal dan permanen pun tertunda karena partai dan calon presiden lebih terfokus pada bagaimana maju ke putaran kedua.

Felipe Nunes dan Michael F. Theis (UCLA 2013) memaparkan ENPP 34 negara pada 1997. Pemilu serentak  berpilpres dua putaran berpotensi menghasilkan fragmentasi sistem kepartaian yang tetap tinggi. Sedangkan pemilu serentak berpilpres satu putaran bisa signifikan mengurangi fragmentasi sistem kepartaian.

Partai-partai peserta pemilu serentak cenderung mengajukan calon presiden masing-masing. Jika kecenderungan tak disertakan pilpres satu putaran, pemilu serentak tak membantu banyak menguatkan sistem presidensial multipartai. Fragmentasi parlemen tetap banyak sehingga kinerja presiden tetap tak didukung partai-partai secara kondusif.

Sayangnya pemilu presiden Indonesia yang mendorong dua putaran ketentuannya berdasar konstitusi. UUD 1945 Pasal 6 (A) ayat (3) mengharuskan, presiden bisa terpilih jika bersuara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Keadaan hukum ini perlu disikapi amandemen konstitusi atau membuat undang-undang pemilu yang mengharuskan pemilu presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

Tragedi presidensial Brasil penting dipelajari Indonesia yang sedang merancang pemilu serentak pertama pada 2019. Sekitar satu dekade pemilu serentak di sejumlah negara Amerika Selatan dirujuk sebagai solusi mengatasi pemerintahan presidensial terbelah. Tapi yang terjadi di Brasil seperti antiklimaks. Jika salah menyimpulkan pengalaman Brasil, Indonesia bisa mengulang kesalahan merancang pemilu serentak sehingga pemilu cuma berubah menjadi lebih kompleks. []

USEP HASAN SADIKIN