Di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017, 23 dari 44 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan merupakan mantan anggota legislatif. Hal tersebut memunculkan kesimpulan sementara bahwa partai cenderung berorientasi pada aspek elektabilitas calon. Dengan kata lain, partai hanya memilih calon yang berpeluang besar utuk terpilih, bukan kader partai yang memiliki kualitas baik.
“Perempuan dengan latar belakang legislator atau petahana itu telah mengumpulkan kekuatan politik sejak menjadi anggota legislatif. Jadi, ketika mecalonkan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, mereka punya elektabilitas yang tinggi. Mereka inilah yang mendapat dukungan partai,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada diskusi “Perempuan di Pilkada 2017 dan Politik Afirmasi UU Pemilu” di Gandaria, Jakarta Selatan (28/11).
Memilih calon berdasarkan elektabilitas semata-mata dinilai menutup kesempatan kader perempuan partai untuk berkontesasi. Partai seharusnya menciptakan sistem perekrutan dan kaderisasi yang inklusif dan terbuka untuk mempersiapkan kader perempuan berkompetisi dalam pemilu.
“Harus dipahami bahwa perempuan tidak mengambil jalan langsung untuk menjadi kepala daerah. Perempuan membutuhkan waktu untuk meyakinkan diri, meraih dukungan elit partai, dan merebut kepercayaan pemilih daerah. Ini berat. Kalau partai hanya melihat elektabilitas, kebanyakan elektabilitas dimiliki laki-laki,” tegas Titi.
Partai diharapkan mampu meningkatkan partisipasi perempuan di dalam kepengurusan partai serta memberikan pendidikan politik inklusif. Partai perlu menciptakan citra perempuan politisi yang baik dan berkualitas agar pemilih bersimpati pada kepemimpinan perempuan.