Pemenang-pemenang Pilkada 2017 tak muncul dari koalisi partai yang tersekat dikotomi pendukung pemerintah dan oposisi. Koalisi begitu cair. Tak ada keselarasan koalisi dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Kita tak bisa berharap banyak pada hasil pilkada. Meskipun penyelenggaraannya semakin demokratis, hasil pemerintahannya akan tetap buruk. Visi, misi, dan program yang diusung jadi janji kampanye kepala daerh hanya akan tinggal janji. Sulit melunasi janji tersebut jadi aksi nyata di lapangan.
“Proses penyelenggaraan pilkada serentak memang lebih berkualitas, tetapi hasilnya tidak menjamin bagi terbentuknya pemerintahan efektif,” kata Didik Supriyanto, pakar pemilu, sebagaimana tercantum pada pengantar buku Prospek Pemerintahan Hasil Pilkada 2015 (Perludem: 2015).
Pemerintahan efektif yang ia maksud berhubungan dengan governability—stabilitas pemerintahan dan kemampuannya memerintah. Di negeri ini, efektivitas pemerintahan mencakup dua dimensi: horizontal dan vertikal. Efektivitas pemerintahan vertikal jadi masalah karena antara presiden, gubernur dan bupati/walikota tidak berasal dari partai politik atau koalisi partai politik yang sama, sehingga kebijakan presiden sering tidak nyambung dengan kebijakan gubernur dan bupati/walikota, dan kebijakan gubernur tidak sejalan dengan kebijakan bupati/walikota.
“Padahal Indonesia menganut negara kesatuan, bukan federal. Dalam situasi seperti ini, garis-garis hirarki dan koordinasi pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah tidak berjalan baik, sehingga pemerintahan tidak efektif. Hal itu tidak hanya menciptakan pemborosan anggaran tetapi juga membuka peluang penyalahgunaan anggaran,” kata Didik.
Prediksinya soal pemerintahan yang tak efektif berpotensi benar. Sebab, dari satu aspek efektivitas pemerintahan vertikal, tak ada perbaikan signifikan. Pemenang-pemenang Pilkada 2017 berasal dari koalisi yang tak selaras dengan pusat. Ia tak muncul dari koalisi partai pendukung pemerintah maupun koalisi partai nonpemerintah.
Koalisi belang-bentong
Di pusat, koalisi yang terbentuk hanya ada dua saja. Partai pendukung pemerintah yang terdiri atas partai PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, Hanura, PAN, dan serta partai nonpemerintah yang digawangi Gerindra, PKS, Demokrat, dan PBB.
Namun sekat koalisi itu tak serta-merta membuat koalisi di daerah selaras dengan koalisi di pusat. Pembentukan koalisi begitu cair. Tak ada keselarasan koalisi dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Harian Kompas menyebutnya dengan pasangan calon dari koalisi campuran—diusung koalisi partai yang berasal dari kubu partai pendukung pemerintah maupun oposisi pemerintah. Ada 66,67 persen kepala daerah pemenang Pilkada 2017 yang berasal dari koalisi campuran.
Rumah Pemilu menganalisis secara sederhana pembentukan koalisi di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada provinsi serentak dengan pilkada kabupaten/kota. Di level pilkada provinsi, Papua Barat jadi satu-satunya daerah (dari tujuh daerah yang melaksanakan pilkada) yang dimenangkan oleh koalisi yang selaras dengan koalisi pendukung pemerintahan. Dominggus Mandacan dan Mohamad Lakotani didukung NasDem, PDIP, dan PAN yang merupakan partai anggota koalisi pemerintahan Jokowi-JK.
Jika merujuk lebih lanjut pada hasil pilkada di kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada serentak dengan pilkada provinsi, keselarasan koalisi makin kabur. Tak ada satupun kabupaten/kota yang dimenangkan oleh bupati dengan dukungan partai yang selaras dengan partai pendukung gubernur. Namun, ada beberapa daerah yang dimenangkan oleh kepala daerah yang didukung oleh partai yang selaras dengan koalisi di pusat. Daerah tersebut di antaranya adalah Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Lhokseumawe (selaras dengan oposisi), dan Kabupaten Sorong.
Sebagai contoh, Partai Nasional Aceh bisa berkoalisi dengan Partai Damai Aceh (juga Demokrat, PKB, dan PDIP) mengusung Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah di pilkada provinsi; tapi pada pilkada kabupaten/kota di tingkat bawahnya, mereka jadi rival. Di Bener Meriah, Partai Nasional Aceh yang mengusung Rusli Saleh dan Islah mesti berhadapan dengan Partai Damai Aceh yang mengusung Ahmadi dan Tgk. Sarkawi.
Atau di Papua Barat, PDIP (bersama NasDem dan PAN) yang mengusung Dominggus Mandacan-Mohamad Lakotani berhadapan dengan PKS (bersama Hanura, PPP, dan PKB) yang mendukung Irene Manibuy dan Abdullah Manaray. Tapi di kabupaten di bawahnya, di Tambrauw dan Kota Sorong, PDIP dan PKS ada di satu koalisi yang sama.
Problem klasik relasi pusat-daerah
Ketidakselarasan koalisi di pusat dan daerah ini tentu berpengaruh pada relasi pusat-daerah. UU 9/2015 telah membagi urusan-urusan pemerintahan pusat dengan daerah: urusan pemerintahan absolut yang jadi kekuasaan penuh pusat; urusan pemerintahan konkuren; dan urusan pemerintahan umum yang jadi kewenangan presiden. Bab IV Pasal 9 ayat (3) menyebut urusan pemerintahan konkuren sebagai urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 14 UU 9/2015 merinci urusan-urusan pemerintahan konkuren yang dikelola bersama oleh pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral–yang sebelumnya berada di kabupaten–kini dibagi antara pemerintah pusat dan provinsi. Pusat punya wewenang menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Sementara daerah, dalam menetapkan kebijakan daerah soal wewenang konkuren tersebut, wajib berpedoman pada ketetapan pusat.
Dari ketentuan ini, pemerintahan provinsi akan banyak berhubungan dengan pemerintah pusat dalam pengambilan kebijakan strategis seperti izin eksplorasi hayati, energi, mineral sampai dengan relasi distribusi anggaran atau transfer pusat ke provinsi.
“Jika koalisi provinsi tidak selaras dengan pusat, kemandekan hubungan pusat-daerah kemungkinan terjadi,” kata Heroik M. Pratama, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
UU 9/2015 juga dianggap menampilkan corak rezim sanksi yang menghadirkan lingkungan persoalan baru pada relasi pusat-daerah. Sebelumnya, fasilitasi lebih dominan ketimbang sanksi, ke depan berbagai instrumen fiskal, kendali politik, dan tata administrasi akan menjadi instrumen penertiban daerah.
“Sosok rezim sanksi kian terasa, lewat instrumen fiskal ataupun administrasi,” kata Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Pasal 68 UU 9/2015, misalnya, menegaskan sanksi administratif dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap sebagai kepala daerah jika tidak melaksanakan program strategis nasional. Pasal 252 ayat (5) UU 9/2015, memuat sanksi dengan instrument fiskal bagi daerah yang memberlakukan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh menteri atau gubernur. Sanksi tersebut adalah penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH. Sanksi juga diterapkan untuk keterlambatan menetapkan APBD
Sanksi diakui pemerintah digunakan untuk menguatkan peran pusat di daerah. Sanksi tidak hanya bisa dijatuhkan oleh pusat, tetapi juga oleh gubernur kepada bupati dan walikota untuk memperkuat peran gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah.
Ia menilai, desain rezim sanksi ini lebih berorientasi kepada akuntabilitas prosedural ketimbang akuntabilitas subtantif terkait capaian kerja. Selain itu, karakter rezim itu juga berpotensi meminggirkan partisipasi publik.
“Tantangan makro kepemerintahan di daerah akan menjadi lapisan masalah pelik jika dari kepala daerah, lingkaran kekuasaan, dan birokrasi lokal tak berhenti memproduksi segala faktor negatif—seperti inefisiensi dan korupsi,” tandas Robert Endi Jaweng.
Pemilu serentak daerah dan mekanisme reward-punishment
Relasi pusat-daerah tak semestinya didasarkan hanya pada instruksi pusat disertai ancaman sanksi bagi yang tak patuh dan taat. Konsolidasi politik juga diperlukan.
“Pusat harus cermat melakukan kombinasi antara penegakan sanksi dengan negosiasi dan fasilitas yang kuat kepada pemda agar pemda lebih kapabel dalam membuat kebijakan, disiplin menegakkan hirarki pemerintahan, dan akuntabel terhadap kewenangan otonom yang dimiliki,” ujar Robert Endi Jaweng.
Namun, konsolidasi politik pusat ke daerah ini diprediksi sulit karena kondisi koalisi pemerintah di pusat yang tak bersinergi dengan koalisi pada tingkat lokal. Rezim sanksi jadi jalan pintas untuk menancapkan kuasa pusat di daerah.
Kondisi ini juga jadi sinyal bahwa desain pemilu belum mampu menciptakan kondisi ideal pemerintahan yang kongruen dari pusat hingga daerah. Untuk itu, rekayasa sistem pemilu menjadi relevan dan mendesak untuk dilakukan. “Salah satu elemen dari sistem pemilu yang dapat mempengaruhi hal tersebut ialah waktu penyelenggaraan pemilu, khususnya penyerentakkan pemilu,” kata Heroik.
Ringkasan eksekutif berjudul “Pemilu Nasional Serentak 2019” keluaran Electoral Research Institute Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mendedah beberapa varian pemilu serentak. Untuk konteks Indonesia, terdapat setidaknya enam model pemilu serentak. Yang paling ideal untuk menguatkan pemerintahan daerah dalam kerangka relasi pusat-daerah yang baik adalah model concurrent election with mid-term election. Dalam model ini, pemilu anggota DPR dan DPD dibarengkan pelaksanaannya dengan pemilu presiden (pemilu nasional). Sementara pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota dibarengkan pelaksanaannya dengan pemilihan gubernur dan bupati/walikota (pemilu daerah). Pemilu daerah biasanya dilakukan dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional.
“Selain keserentakkan yang berasumsi menghasilkan pemerintahan kongruen, tentu adalah momen evaluasi. Pemilu lokal nantinya jadi evaluasi hasil pemilu nasional. Begitu sebaliknya,” kata Syamsudin Haris, peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI yang juga menjadi kontributor riset “Pemilu Nasional Serentak 2019.”
Rekayasa pemilu ini akan mewujudkan blok poltitik yang tercipta dari hasil pemilu eksekutif dan legislatif di nasional selaras dengan blok politik di daerah. Semakin baik kinerja presiden dan anggota legislatif di pusat, maka pemilih juga akan memilih pasangan kepala daerah dan caleg DPRD yang berasal dari partai-partai di pusat. Sebaliknya, kinerja kepala daerah dan DPRD yang buruk akan membuat pemilih menghukummnya di pemilu nasional.
Dengan rekayasa ini, pemerintahan tak akan terputus—relasi pusat-daerah berjalan baik karena ada sinergisitas koalisi. Pemerintah pusat tak perlu lagi menggunakan rezim sanksi untuk memastikan daerah tak bandel. Daerah juga tak perlu melakukan lobi-lobi, yang kadang berujung transaksi, ke pusat untuk menjalankan kepentingan daerah. Pemerintahan justru akan fokus menjalankan kebijakan publik untuk menggaet pemilih yang kian rasional dalam persaingan pemilu yang lebih tertata.