Penggunaan electronic voting atau yang lebih dikenal dengan istilah e-voting dianggap sebagai konsekuensi logis dari perkembangan revolusi industri 4.0. Efisiensi tata kelola penyelenggaraan pemilu dan efisiensi anggaran, disebut-sebut menjadi keuntungan utama dari penggunaan e-voting. Jika memang demikian, pertanyaanya apakah e-voting menjadi suatu keniscayaan yang wajib digunakan? Apakah terdapat implikasi lain yang ditimbulkan dari revolusi industri 4.0 terhadap tata kelola pemilu di Indonesia? Tulisan ini bermaksud untuk menjawab dua pertanyaan tersebut.
Teknologi sebagai instrumen
Pemilu dalam konteks revolusi industri 4.0 tidak bisa dimaknai secara sempit sebagai peralihan metode pemungutan dan penghitungan suara secara manual ke penggunaan teknologi informasi e-voting. Penggunaan teknologi di pemilu tidak bisa disamakan penggunaanya dalam konteks industri yang mengalihkan campur tangan manusia ke mesin secara drastis dan massif. Teknologi informasi dalam arena pemilu lebih banyak ditempatkan sebagai seperangkat instrumen pelengkap yang boleh digunakan atau tidak. Kalaupun digunakan, pemanfaatannya perlu ditempatkan sebagai sarana untuk mencapai pemilu yang bebas dan adil, serta berintegritas.
Jerman misalnya, sebagai salah satu negara yang mempelopori revolusi industri tetapi kembali ke pemungutan suara manual yang sebelumnya menggunakan e-voting. Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi Jerman menilai e-voting membuat pemilih tidak mengetahui bagaimana suaranya diproses dalam sistem e-voting atau tidak transparan. Begitu pula dengan Perancis yang juga menjadi pencetus revolusi industri memutuskan untuk tidak menggunakan e-voting bagi pemilih di luar negeri pada Pemilu 2017 karena, hawatir adanya potensi ancaman peretasan yang dapat mengganggu integritas pemilu.
Di Indonesia wacana penggunaan e-voting dilandasi tiga latar belakang utama: meringankan beban kerja penyelenggara, meminimalisir manipulasi, dan mempercepat proses rekapitulasi suara. Meminimalisir manipulasi sesungguhanya tidak bisa dijadikan latar belakang. Sekalipun menggunakan e-voting potensi manipulasi masih bisa terjadi melalui peretasan. Beban kerja berat yang dihadapi oleh penyelenggara bukanlah pada tahap pemungutan suara melainkan pada tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara.
Pada tahapan pemungutan suara KPPS bertugas untuk mendaftar pemilih, menyiapkan surat suara, dan mempersilahkan pemilih memberikan suaranya di bilik suara. Sedangkan pada tahapan penghitungan suara, petugas KPPS melalukan penghitungan manual dengan membuka surat suara satu persatu untuk ditulis dan dihitung ke dalam C1 Plano. Mekansime ini disebut-sebut sebagai tahapan paling demokratis karena pemilih, peserta pemilu, pemantau pemilu, bahkan publik secara umum dapat menyaksikan penghitungan suara terbuka tersebut. Secara tidak langsung, penghitungan suara manual yang disaksikan banyak mata ini menjadi arena pengawasan partisipatif yang tidak disadari oleh publik untuk menjamin akurasi hasil pemilu.
Persoalannya, beban kerja KPPS menjadi berat ketika surat suara yang dihitung banyak seperti Pemilu Serentak 2019 lalu dengan lima jenis surat suara (Pemilu Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Konsekuensinya, banyak petugas KPPS yang baru selesai melakukan penghitungan suara dini hari atau keesokan paginya. Situasi ini terus berlanjut di level kecamatan yang bertugas untuk merekapitulasi hasil penghitungan suara di seluruh TPS di kecamatan terkait. Banyaknya surat suara yang dihitung dan direkapitulasi inilah yang kemudian berdampak pada tingginya beban kerja.
Penataan jadwal keserentakan pemilu dengan memisahkan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal dapat dijadikan alternatif pilihan untuk meringankan beban kerja tersebut. Pada pemilu nasional hanya terdapat tiga surat yang dihitung: pemilu presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan pemilu lokal yang waktunya diselenggarakan dua tahun setelah pemilu nasional terdiri dari empat surat suara: pemilu kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pilihan ini dapat dijadikan solusi tanpa harus menggunakan e-voting yang dapat menghilangkan mekanisme pengawasan partisipatif publik di TPS dengan penghitungan suara secara terbuka.
Pergeseran arena kompetisi
Konsekuensi sesungguhnya dari revolusi industri 4.0 jika merujuk pada pemilu sebelumnya adalah pergeseran arena kompetisi dari konvensional ke virtual. Peserta pemilu lebih banyak memanfaatkan ruang publik virtual untuk berkampanye untuk meraih suara terbanyak. Meskipun alat peraga kampanye seperti sepanduk, baliho, dan poster masih dipergunakan, akan tetapi konten-konten kampanye lebih banyak bertebaran secara masif di media sosial yang mampu menjangkau pemilih dalam sekala banyak.
Microtargeting yang ditawarkan teknologi informasi seperti media sosial, dianggap lebih murah dan tepat sasaran bagi peserta pemilu untuk menjaring konstituen yang berasal dari daerah pemilihannya secara langsung. Hal ini tentunya berbeda dengan kampanye di media massa cetak atau elektronik yang lebih bersifat umum. Terlebih lagi jika merujuk pada data We Are Social sebanyak 64% penduduk Indonesia sudah terkoneksi ke internet dan sebanyak dan 59% diantaranya aktif di media sosial. Situsi ini mendorong adanya tukar pikiran untuk mendiskusikan pilihan politik dan mengeksprisikan dukungan politik terhadap calon/partai politik tertentu lebih banyak terjadi pada ruang publik virtual media sosial. Sekalipun dialog secara konvensional dengan tatap muka masih tetap terjadi.
Situasi ini memiliki dampak positif sekaligus negatif dalam pemilu. Dampak positif yang ditimbulkan ialah dapat meningkatkan demokrasi deliberatif dengan menempatkan teknologi informasi sebagai jembatan penghubung komunikasi dua arah antara calon wakil rakyat dengan rakyatnya. Sebagai contoh, penerapan sistem pemilu proposional daftar terbuka dalam pemilu legislatif yang mendorong kedekatan pemilih dengan calonnya, idealnya dapat semakin mudah dan diperkuat hubungannya dengan kehadiran media sosial yang tidak terbatas pada ruang dan waktu.
Begitu pula dengan pemilihan kepala daerah di mana programatik politik dimana penyampaian visi-misi dan program dapat dengan mudah diterima dalam membangun political linkage. Sehingga fenomena broken linkage atau keterputusan hubungan antara pemilih dengan wakilnya tidak harus terjadi di tengah revolusi industri 4.0 melalui komunikasi digital.
Dimensi negatif muncul ketika ruang publik virtual dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Hoax, fake news, black campaign, disinformasi, dan ujuran kebencian banyak bertebaran dibandingkan dengan politik gagasan yang membuka ruang deliberasi positif antara pemilih dengan peserta pemilu di media sosial. Situasi ini semakin di perparah ketika penetrasi internet digunakan sebagai sarana menghadirkan konten-konten politik identitas yang berujung pada polarisasi masyarakat.
Dengan ini nampak bahwa, aspek krusial pemilu di era revolusi industri 4.0 bukan soal pilihan penggunaan teknologi pada tahapan pemungutan dan penghitungan. Lebih jauh bagaimana memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk meningkatkan demokrasi deliberatif, melalui programatik politik dengan diskusi dua arah antara pemilih dan peserta pemilu untuk semakin mendekatkan hubungan representasi politik. []
HEROIK M. PRATAMA
Peneliti Politik Perludem