Apakah sistem politik yang demokratis ”ramah” dengan perilaku korup? Dalam kasus Indonesia, pertanyaan ini bisa dijawab dengan melihat cara pandang hukum dan perlakuan masyarakat terhadap perilaku dan pelaku korupsi.
Jika merujuk pada konstitusi, hanya ada empat jabatan yang jelas menyebutkan syarat tentang pentingnya memiliki nilai antikorupsi dan integritas, yaitu jabatan presiden/wakil presiden, anggota Komisi Yudisial (KY), hakim agung, dan hakim konstitusi.
Seorang calon presiden/wakil presiden haruslah orang yang tidak pernah mengkhianati negara. Kalau dalam masa jabatannya presiden/wakil presiden melanggar hukum—misal mengkhianati negara, korupsi, menyuap, dan tindak pidana berat lainnya—presiden/wakil dapat diberhentikan.
Begitu pula dengan anggota KY, hakim agung, dan hakim konstitusi sebagai jabatan yang berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Ada pesan tegas tentang pentingnya memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Lalu apakah nilai antikorupsi ini juga berlaku terhadap jabatan publik atau jabatan politik lainnya?
Hukum pemilu
Selain presiden/wakil presiden, ada beberapa jabatan lain yang diisi melalui proses pemilu, yaitu kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Jika merujuk pada undang-undang, muncul anomali tentang prinsip antikorupsi dalam syarat untuk menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Padahal, dalam politik hukum pidana, korupsi dinilai sebagai kejahatan luar biasa, memenuhi kriteria sebagai kejahatan yang serius, dan terorganisasi sehingga ada regulasi dan kelembagaan khusus untuk memberantas kejahatan itu.
Hal yang sama berlaku bagi kejahatan-kejahatan sejenis, seperti penyalahgunaan obat dan narkotika, terorisme, perdagangan orang, dan seterusnya.
Lalu bagaimana hukum pemilu memperlakukan para koruptor?
Belakangan muncul beberapa inisiatif untuk memperketat persyaratan bagi para peserta pemilu, misalnya tentang larangan bagi bekas narapidana korupsi ikut serta dalam kontestasi pemilu, termasuk syarat tentang pelaporan LHKPN. Sepintas ide ini memiliki semangat cukup kuat guna merespons banyaknya pejabat publik yang terpilih melalui pemilu, tetapi berakhir dalam jeruji penjara karena korupsi.
Namun, gagasan ini tidak sepenuhnya didukung oleh regulasi dan politik hukum pemilu. Di sinilah anomali itu muncul. Semua bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan bekas narapidana (termasuk narapidana korupsi) ikut serta dalam proses pemilu kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) hanya dengan syarat mengaku kepada publik bahwa dirinya adalah bekas terpidana.
Imbas putusan Mahkamah Konstitusi ini berpengaruh terhadap penyusunan undang-undang tentang pemilu legislatif (UU Nomor 7 Tahun 2017). Bekas narapidana (termasuk narapidana korupsi) diperbolehkan mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana (Pasal 182 Huruf g, Pasal 240 Ayat 1 Huruf g).
Artinya, politik hukum pidana korupsi tidak berdampak pada politik hukum pemilu. Korupsi yang dinilai sebagai kejahatan luar biasa bisa dikesampingkan cukup dengan pengakuan kepada publik.
Maka, masyarakat kembali disuguhi calon-calon pejabat publik dengan problem integritas. Pada situasi inilah korupsi politik secara terus-menerus mengalami metamorfosis sembari membangun impunitas politik. Sebab, sistem pemilu sebagai bagian dari sistem politik masih menjadi alat bagi para politisi korup untuk kembali menduduki jabatan publik.
Jangan pilih koruptor
Ada perkembangan pemidanaan terhadap pelaku korupsi yang tidak direspons secara baik oleh kekuasaan pembentuk undang-undang dan MK. Pencabutan hak politik koruptor melalui putusan pengadilan khususnya terhadap jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilu seyogianya menjadi pertimbangan dalam penyusunan undang-undang pemilu dan proses uji materi di MK.
Ada frase yang cukup epik terkait hal ini, ”bahwa putusan untuk mencabut hak politik (hak untuk dipilih) ditujukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terpilihnya kembali seseorang dalam jabatan publik yang selayaknya tidak berperilaku koruptif”.
Untuk merespons situasi ini, ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, terhadap semua pelaku korupsi yang sedang dalam proses hukum, khususnya bagi pejabat yang dipilih melalui prosesi pemilu, seyogianya dimintakan putusan untuk dicabut hak politiknya. Ini adalah langkah yang paling mungkin dilakukan di tengah situasi politik hukum pemilu yang masih memberikan ruang bagi para koruptor.
Lindungi hak publik
Kedua, pembentuk UU (pemerintah dan DPR) dan MK ke depan harus melihat perkembangan pemidanaan ini dalam perspektif hak asasi publik yang harus dilindungi oleh negara, bukan hanya hak asasi pribadi koruptor sehingga politik hukum pemilu seharusnya berelasi dengan praktik pemidanaan terhadap pelaku korupsi.
Ketiga, ketika regulasi pemilu masih memperbolehkan koruptor untuk mencalonkan diri dalam proses pemilu, penyelenggara pemilu perlu memastikan bahwa informasi tentang latar belakang calon pejabat publik yang korup tersebut harus langsung diketahui oleh publik. Sebab, penyelenggara pemilu juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak pilih publik agar tersalurkan dengan cara yang benar.
Terakhir, pilihannya dikembalikan kepada publik. Ketika publik mengetahui bahwa yang mencalonkan diri adalah bekas narapidana korupsi, pilihan itulah yang akan menggambarkan bagaimana respons publik pemilih terhadap perilaku dan pelaku korupsi.
Kalau koruptor sampai memenangi kontestasi pemilu, itulah cermin dari perilaku politik publik. []
REZA SYAWAWI,
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Artikel ini dipublikasikan di Harian Kompas, 12 April 2018