August 8, 2024

Perubahan Metode Seleksi Penyelenggara Pemilu Mesti untuk Tingkatkan Keterwakilan Perempuan

Kamis(26/9), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merilis buku “Perlindungan Hak Memilih Warga Negara di Pemilu 2019 dan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu”. Berdasarkan hasil riset yang dituangkan di dalam buku, ada dua temuan terkait keterwakilan perempuan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Satu, adanya ketidakselarasan aturan mengenai keterwakilan perempuan 30 persen di lembaga penyelenggara pemilu. Norma “memperhatikan  keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen” di Undang-Undang (UU) Pemilu berbeda pemberlakuannya untuk KPU dan Bawaslu. Jika norma tersebut berlaku untuk petugas KPU hingga tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), untuk petugas Bawaslu hanya sampai pada tingkat Bawaslu Kabupaten/Kota.

“Di bab khusus KPU, di UU Pemilu, dia mengatur sampai ad hoc. Tapi Bawaslu, hanya sampai kabupaten/kota,” kata Peneliti Perludem, Heroik Pratama, pada acara diskusi peluncuran buku di Hotel Milenium, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Ketidakselarasan itu terbawa hingga pada pengaturan teknis di Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu). Pada Perbawaslu, mekanisme seleksi anggota hanya menyebutkan ketentuan nondiskriminasi. Sementara di PKPU, aturan menyatakan bahwa jika perempuan tidak lolos passing grade, maka yang tertinggilah yang masuk ke tahapan berikutnya.

“Jadi, di Perbawaslu, dia tidak menyebutkan mekanisme seleksi memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan. Tapi menyebutkan nondiskriminasi. Sedangkan KPU, dia memberlakukan ketentuan, bagi mereka yang tidak lolos passing grade, angka tertinggilah yang dimasukkan ke tahap berikutnya. Memang PKPU lebih rigid. Kalau Bawaslu menyerahkan ke timsel (tim seleksi)-nya,” terang Heroik.

Temuan kedua, masih ada lembaga penyelenggara pemilu yang tidak menghadirkan afirmasi perempuan. Di jajaran Bawaslu, dari 1.594 anggota Bawaslu kabupaten/kota, hanya 320 perempuan anggota atau sebanyak 20 persen. Di jajaran KPU, pada tingkat provinsi, 40 dari 190 anggota merupakan perempuan. Angka ini setara dengan 21 persen. Di tingkat kabupaten/kota, 469 dari 2.565 anggota adalah perempuan, atau 18,28 persen.

“Sebetulnya angkanya tidak sesuai harapan. Di tingkat nasional saja, baik di KPU maupun Bawaslu, hanya ada 1 orang perempuan anggota,” ujar Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil.

Rekomendasi perubahan

Atas temuan tersebut, Perludem merekomendasikan tiga hal. Pertama, aturan teknis untuk meyertakan 30 persen perempuan di setiap tingkatan lembaga penyelenggara pemilu. Kedua, menghadirkan perempuan di setiap tahapan seleksi. Ketiga, dilakukannya pemetaan holistik potensi perempuan calon penyelenggara pemilu di tiap daerah.

“Mestinya, untuk menghadirkan perempuan dalam proses seleksinya, dihadirkan dalam setiap tahapan seleksi. Misal, tahap tes psikologi, ada perempuan. Lalu tahap wawancara, itu dihadirkan juga,” kata Fadli.

Menambahkan Fadli, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Endang Sulastri menyatakan bersyukur PKPU No.7/2018 tentang seleksi anggota KPU telah dirubah dengan PKPU No.2/2019. Pasalnya, pengalaman menjadi timsel di beberapa daerah, hanya sedikit yang lolos passing grade dengan skor 60. Sekarang, dengan PKPU No.2/2019, siapapun dengan nilai skor tertinggi dapat lolos ke tahap selanjutnya.

“Tes CAT, harus memenuhi angka 60. Di Kaltara (Kalimantan Utara), yang mencapai angka 60 itu hanya dua orang. Dia harus lanjut sampai tahap wawacara. Dan itu laki-laki semua. Jadi, ini anggaran negara yang besar, tapi hanya 2 orang yang memenuhi syarat di tes. Kalau Bawaslu, tidak pakai ambang batas, tapi pakai peringkat. Menurut saya ini lebih logis,” ujar Endang.

Endang merekomendasikan agar peringkat calon anggota KPU dan Bawaslu dipisah antara perempuan calon dengan laki-laki calon. Hal ini dilakukan agar perempuan selalu mendapat tempat di setiap tahapan seleksi. Ia juga menyarankan agar ada pelibatan perempuan lebih masif sebagai penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc, sosialisasi pentingnya perempuan di penyelenggara pemilu di kampus-kampus dan organisasi perempuan, dan pelibatan perempuan di lembaga-lembaga pemantau.

“Kalau pandangan saya, di setiap tahapan seleksi, harus ada 30 persen perempuan.  Jadi, rangking untuk laki-laki sendiri, untuk perempuan sendiri,” tandas Endang.