Tafsir konstitusi yang menyimpulkan “pilkada bukan pemilu” sering jadi alasan untuk menolak gagasan penyerentakan pilkada dengan pemilu DPRD. Padahal, selain banyak tafsir terhadap pasal pemilu dan pilkada yang terpisah, ada pasal-pasal lain yang menyimpulkan pilkada juga adalah pemilu.
“Pilkada dalam konstitusi secara ketatanegaraan ya adalah pemilu juga,” kata akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi di Jakarta (8/8).
Menurut Fajri, Pasal 18 dalam Bab Pemerintahan Daerah pada konstitusi yang menuliskan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis adalah soal cara pemilihannya. Penekanan aspek hukum administrasi negara (HAN) dalam pasal ini jangan kemudian menyimpulkan pilkada bukan pemilu.
Fajri pun menjelaskan, terpisahnya pasal pilkada dalam Bab Pemilihan Umum pada konstitusi lebih karena adanya kesadaran daerah-daerah tertentu yang punya keistimewaan sehingga kepala daerahnya tidak dipilih secara langsung. Selebihnya, pilkada maknanya adalah pemilu.
“Asasnya Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) juga sesuai Pasal 22E. Yang menyelenggarakan pilkada juga KPU sama halnya pemilu lainnya,” jelas Fajri.
Berdasar argumen ini, pilkada bisa diserentakan dengan pemilu DPRD. Pilkada adalah pemilu, sama halnya dengan pemilihan anggota DPRD. Menolak pilkada sebagai pemilu tak punya argumen konstitusioinal yang lebih baik. []