August 8, 2024

Pilkada Langsung Rentan Korupsi Politik Perusakan Lingkungan?

International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dalam buku “Pendanaan Partai Politik dan Kampanye Pemilu” menyimpulkan, permasalahan berat dalam politik Indonesia adalah makin menguatnya kekuasaan politik dengan sektor bisnis. Keadaan politik Indonesia seperti yang terjadi di negara-negara Afrika, korupsi politik berkelindan dengan bisnis sumber daya alam seperti tambang. Kontestasi pemilu dikuasai segelintir orang yang memiliki/kuat terhubung oleh mega bisnis tambang. “Dari, oleh, dan untuk rakyat” yang bebas dan adil makin jauh panggang dari api.

Meuthia Ganie-Rochman dan Rochman Achwan dalam “Sosiologi Korupsi: Isu, Konsep, dan Perdebatan” (2015) menjelaskan, korupsi politik secara konvensional adalah penyalahgunaan yang terjadi di lembaga-lembaga politik seperti partai politik, parlemen, lembaga pemilihan umum, badan perencanaan pembangunan, dan lainnya. Korupsi politik dalam sistem demokrasi adalah penyalahgunaan sumber daya publik untuk memperkuat posisi dalam kekuasaan institusi kenegaraan. Sumber daya publik di sini dapat berupa finansial, wewenang, jaringan, atau kekuatan massa.

Korupsi politik berbeda konsep politik uang yang biasa jadi perhatian luas. Edward Aspinall misalnya, dalam “Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage, and Clientelism at the Grassroots” (2016) biasa menjelaskan konsep politik uang dalam tiga bentuk: vote buying (pemberian uang tunai langsung), club goods (pemberian barang pengikat), dan pork barrel (pemberian fasilitas publik). Tujuan dari semua bentuk ini adalah agar si penerima memilih peserta pemilu si pemberi.

Dari penjelasan tersebut, konsep korupsi politik dan politik uang jelaslah berbeda. Politik uang sebatas urusan pemberian ke pemilih yang keinginan si pemberinya amat mungkin tak diikuti. Sedangkan korupsi politik mutlak merupakan kejahatan karena wujud penyelewengan kekuasaan dan anggaran negara untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan politik. Kepastian yang ditopang kekuasaan negara dan bisnis amat besar ini bukan hanya mempengaruhi pemilu tapi juga mengintervensi pemerintahan yang berjalan hingga pemilu berikutnya.

Greenpeace Indonesia, Jatam, ICW, dan Auriga dalam “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara” melaporkan kelindan pilkada, korupsi politik, dan perusakan lingkungan. Di antaranya ada Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari dan Bupati Samarinda, Achmad Amins mengeluarkan amat banyak izin tambang bermasalah. Rita menerbitkan 254 izin usaha pertambangan batu bara. Amins menerbitkan 63 izin tanpa melakukan Amdal yang sesuai dalam masa kampanyenya tahun 2009. Kasus yang lebih anyar ada Bupati Kotawaringin Timur 2010-2015, Supian Hadi yang menyelewengkan kewenangan untuk izin tiga perusahaan bauksit.

Di tingkat provinsi ada kasus, Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Kasus korupsi politiknya dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 4,3 triliun. Nur Alam menyelewengkan kewenangannya untuk mengizinkan pertambangan nikel.

Akses informasi serta tak transparan dan akuntabel menjadi sebab korupsi politik. Kewenangan besar kepala daerah dalam pemberian izin usaha dan izin lingkungan menjadi amat mungkin diselewengkan.

Pilkada Langsung?

Sebagian dari kita ada yang menilai, pilkada langsung jadi salah satu pendukung korupsi politik di daerah yang berdampak pada perusakan lingkungan. Pilkada langsung dengan syarat keterpilihan suara terbanyak terpilih untuk satu kursi kekuasaan, merupakan sistem pemilu yang amat kompetitif. Karena tinggi kompetisi, peserta pemilu beserta partai politik dan tim suksesnya cenderung mengeluarkan banyak uang sehingga biaya politik menjadi amat tinggi.

Politik biaya tinggi ini membuat calon kepala daerah cenderung setuju tawaran uang amat banyak dari perusahaan tambang. Tak ada makan siang gratis di sini.

Lokadata Beritagar.id memaparkan, setidaknya ada 906 sebaran perizinan tambang atas 17 provinsi penyelenggara Pilkada 2018. Sejumlah perizinan ini habis masa berlakunya dalam rentang 2017-2022. Diduga, sebagian kontestan berpengaruh dalam pilkada memanfaatkan momentum ini melalui korupsi politik. Para petahana yang mencalonkan atau tokoh yang baru mencalonkan meminta/menerima dana kampanye dari perusahaan tambang dengan menjanjikan izin tambang.

Data itu bisa dibanding dengan data Greenpeace Indonesia mengenai Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Saat Pilkada 2010, tiba-tiba Bupati mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan baru. Jumlahnya sangat signifikan yaitu 191 izin. Jumlah yang berbeda jauh dibanding tahun sebelumnya yang hanya 93 izin.

Di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur terbilang sama. Pada Pilkada 2010, Bupati mengeluarkan izin tambang berjumlah 54. Padashal pada 2009 hanya ada 7 izin tambang di kabupaten ini.

Studi KPK berjudul “Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015” menemukan, para calon bupati/walikota menghabiskan uang Rp 20-30 miliar sedangkan calon gubernur hingga Rp 100 miliar. Data ini dibandingkan dengan laporan harta kekayaan para calon yang ada di angka rataan Rp 6,7 miliar. Dari mana para calon menutupi kekurangan belanja kampanyenya?

Politik murah, inklusif, dan transparan

Mengubah pilkada langsung menjadi tak langsung dijamin konstitusi dengan terma “pemilihan demokratis” tapi tak menjamin korupsi izin usaha karena perusahaan tambang pun bisa mengkondisikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Pilkada langsung dinilai sebagai sistem pemilihan yang mendorong politik berbiaya tinggi tapi memindahkannya ke DPRD pun kita mengetahui para dewan yang mewakili fraksi partai politik pun terpilih dari sistem pemilu legislatif yang berbiaya amat tinggi.

Membongkar korupsi politik perusakan lingkungan adalah dengan cara menciptakan politik murah, inklusif, dan transparan. Selama ini korupsi politik perusakan lingkungan bisa marak karena hidup dalam ekosistem politik yang mahal dan tertutup. Yang perlu kita lakukan adalah tetap mempertahankan pilkada langsung tapi dengan biaya murah dan transparan. Sehingga, penting kita memetakan aturan mana saja yang selama ini membuat pilkada bersifat diskriminatif, amat mahal, dan tak transparan.

Pertama, menghapus syarat ambang batas pencalonan kepala daerah 20% kursi DPRD atau 25% suara pemilu DPRD sebelumnya. Syarat ini membuat pencalonan menjadi diskriminatif dan amat mahal. Hanya partai politik DPRD yang bisa mencalonkan padahal konstitusi menjamin hak politik warganya (dipilih/memilih). Karena ada syarat ambang batas pencalonan berupa kursi DPRD, terjadi jual beli dukungan partai politik sebagai perahu penghantar pencalonan di pilkada sehingga biaya politik pilkada amat mahal. Menghapus syarat ambang batas pencalonan, membuat semua partai politik (dalam dan luar DPRD) bisa mengusung calon di pilkada.

Kedua, mempermudah pencalonan jalur perseorangan. Syarat jalur perseorangan dalam UU Pilkada saat ini amat berat sehingga cenderung diikuti oleh warga bermodal finansial tinggi atau punya dukungan perusahaan tambang. Sebagai gambaran amat berat syarat jalur perseorangan, sosok Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama saja sulit untuk memilih jalur perseorangan.

Ketiga, melarang kampanye di frekuensi publik (televisi dan radio). Frekuensi publik adalah milik negara sehingga tak bisa dikuasai termasuk atas nama kemampuan finansial membayar. Negara melalui undang-undang dan peraturan teknis pemilu seharusnya menjamin dan memberikan ruang dan waktu kampanye yang setara dan adil kepada semua peserta pemilu. Aturan inklusif ini akan memungkin keterpilihan bukan berdasarkan tinggi finansial melainkan kualitas kepemimpinan dan keberpihakan kepada rakyat.

Keempat, mensyaratkan tranparansi keuangan bakal calon dan kelembagaan partai politik yang mengusung. Bakal calon wajib melaporkan harta kekayaannya. Partai politik pengusung wajib melaporkan keuangan tahunan lembaganya. Tanpa ini, penyelenggara pemilu tak melanjutkan status bakal calon menjadi calon. Syarat ini jadu lebih berdaya jika menyertakan sanksi administrasi tegas berupa penolakan kepesertaan atau diskualifikasi.

Empat perbaikan ketentuan pilkada tersebut tentu tak melupakan perbaikan regulasi politik lainnya. Di antaranya adalah mengubah syarat pembentukan partai politik dan kepesertaannya di pemilu tapi sekaligus menguatkan syarat tranparansi dan akuntabilitas keuangan lembaga dan kampanye partai politik.

Politik dalam pilkada yang inklusif, murah, dan tranparan akan menjamin pemilu bebas dan adil. Semakin banyak calon dengan berbagai macam identitas dan kelas, semakin mungkin warga berkualitas mencalonkan dan terpilih karena kualitasnya. Dalam keadaan ini, politisi dan perusahaan tambang amat sulit membajak pilkada dengan melakukan korupsi politik perusakan lingkungan. []

USEP HASAN SADIKIN