Undang-undang yang mengatur pilkada langsung disahkan pada Oktober 2004. Pertama kali diterapkan dalam pemilihan Bupati Kutai Kartanegara (Juni 2005). Artinya, rakyat Indonesia baru merasakan pengalaman pilkada langsung di masing-masing wilayahnya tidak lebih dari 2 kali. Di sisi lain, pengalaman pilkada melalui DPRD di era reformasi (1998-2004) juga baru 1-2 kali dialami masing-masing daerah.
Dengan pengalaman yang masih sangat terbatas tersebut sebenarnya menjadi terlalu dini untuk menilai sejauh mana pengaruh pilkada langsug terhadap kemajuan demokrasi Indonesia. Jika kita hanya melihat berdasarkan hak warga negara untuk memilih pemimpinnya secara langsung, tentunya kembali pada pilkada melalui DPRD merupakan sebuah kemunduran. Namun kemajuan serta kualitas demokrasi tak bisa diukur semata-mata hanya dari memilih langsung/tak langsung itu.
Dari berbagai metode yang dilakukan untuk mengukur demokrasi (Indeks Demokrasi Indonesia, Global Democracy Ranking, dan Freedom in the World), mekanisme pilkada hanya merupakan satu indikator dari puluhan indikator demokrasi. Jadi, selain terlalu dini dan sumir untuk melakukan semacam evaluasi terhadap perkembangan demokrasi Indonesia berdasarkan mekanisme pilkada. Ada aspek lain yang lebih relevan dalam memandang transisi demokrasi ini.
Menurut Jeffrey Winters dalam “Oligark†(2011), selain transisi dari kediktatoran ke demokrasi, ada transisi lain yang tidak kalah penting, yaitu transisi dari oligarki sultanistik yang dijinakkan oleh Soeharto menjadi oligarki kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak Soeharto jatuh. Oligarki yang dijalankan oleh kaum oligark inilah yang menguasai perpolitikan Indonesia di era reformasi. Secara langsung maupun tidak langsung, mereka telah mendominasi lembaga- lembaga politik yang dibangun dengan tujuan awal untuk memperkuat demokrasi.
Apakah oligark ini? Oligark adalah individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material, yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya. Sedangkan oligarki adalah politik pertahanan kekayaan dari kaum oligark.
Postur oligarki Indonesia tergambar dari fakta bahwa jumlah kekayaan dari 40 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2010 merupakan 10,3% dari GDP, dengan rata-rata kekayaan mereka mencapai Rp 21,36 trilyun. Jika dibandingkan rata-rata kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura, Indonesia berada di posisi paling tinggi.
Satu hal yang membedakan antara oligark Indonesia dengan kaum oligark dalam rumusan teori oligarki Winters adalah oligark Indonesia tidak menggunakan (apalagi mengupayakan) rule of lawdalam mempertahankan/meningkatkan kekayaan mereka. Oligark Indonesia memanfaatkan absennya rule of law untuk, bukan semata-mata mempertahankan kekayaan, namun juga untuk mengakumulasi kekayaan yang lebih besar dengan cara yang melanggar hukum.
Cara-cara yang biasa dilakukan kaum oligark dengan mempengaruhi perumusan kebijakan, seperti UU Penanaman Modal, UU Pajak, UU Minerba, UU Perseroan Terbatas, dan lainnya. Semuanya demi mempertahankan kekayaannya yang sudah merupakan sebuah bentuk penyalahgunaan kekuasaan, meskipun dengan cara yang bisa dikatakan “halusâ€Â dan canggih.
Melalui UU dan kebijakan tersebut mereka berhasil mempertahankan kekayaan dengan perlindungan legal dari peraturan perundang-undangan. Ternyata cara itupun masih belum mencukupi bagi sebagian oligark Indonesia, sehingga kemudian cara-cara “kasar†pun dilakukan dengan mengambil proyek-proyek pembangunan untuk bisa dijalankan oleh perusahaan yang mereka miliki.
Menghadapi cara kasar kaum oligark, kita bisa berharap pada institusi penegakan hukum, khususnya KPK. Namun menghadapi oligarki yang menggunakan instrument demokrasi dalam mempertahankan kepentingan privat mereka itulah yang menurut Winters menjadi problem penting bangsa ini. Uang dan kekayaan memang bisa menghasilkan kekuasaan, namun di Indonesia kemampuan itu menjadi berlipat ganda karena tidak adanya hambatan (berupa aturan, dll.) bagi penggunaan uang untuk kepentingan kekuasaan.
Menurut Rahman Tolleng (2014), konsolidasi kaum oligark pasca-Orde Baru sudah membajak demokrasi yang dicita-citakan pada tahun 1998, dan “membekukan†masyarakat. Politik secara perlahan diambil alih dan dikuasai kembali oleh mereka. Kali ini tanpa adanya lagi kediktatoran Soeharto yang membatasi ruang gerak oligark. Arena pertarungan politik dibuat sedemikian rupa sehingga hanya dengan restu dan campur tangan mereka, politik bisa berjalan.
Politik hanya bisa berjalan dengan biaya besar. Biaya besar ini bukan hanya dalam kerangka kontestasi di pemilu. Dari awal untuk bisa masuk dalam ruang kontestasi pemilu saja sebuah partai harus menyiapkan biaya minimal Rp 35-60 miliar. Itu belum termasuk biaya kampanye, sehingga juga belum menjamin partai yang bersangkutan bisa memperoleh suara yang signifikan.
Penguasaan oligark terhadap partai membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan “leadingâ€, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualism oligark, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung.
Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah sebagai demos yang kratos melalui direct-one-man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya sekejap ketika mereka berada di dalam bilik suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses sama sekali terhadap kekuasaan. Jarak antara publik dengan partai diperlebar, baik atas hasil rekayasa oligark, maupun reaksi publik sendiri berdasarkan pengalaman traumatik mereka terhadap partai.
Problem kegagalan fungsi representasi partai politik, dan ketidakpercayaan publik terhadap partai tidak ada kaitan langsung, dan tidak akan bisa diselesaikan melalui model pemilihan kepala daerah secara langsung. Akar dari kedua problem tersebut yaitu oligarki. Ini sekalipun, tidak bisa diselesaikan dengan pilkada secara langsung.
Winter menegaskan bahwa penjinakan terhadap oligark tidak ada hubungannya dengan kebebasan ataupun partisipasi politik masyarakat. Penjinakan terhadap oligark hanya dapat dilakukan melalui rule of law, dan harus disadari bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan rule of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa rule of law, sehingga disebut Winters sebagai “criminal democracyâ€; berbanding terbalik dengan Singapura yang dia sebut  sebagai “authoritarian legalism†(Winters 2011).
Kita berada dalam situasi di mana politik elektoral sudah diberlakukan, namun partai dikuasai oleh oligark sementara publik mengambil sikap anti terhadap (partai) politik. Dengan kesediaan untuk menjadi demos hanya sekejap dalam bilik suara, kecenderungan publik adalah berpolitik sebagai kumpulan gerombolan tanpa isi kepala.
Padahal kita membutuhkan publik dengan kualitas demos yang permanen sehingga benar-benar bisa memegang kratos secara permanen pula. Institusi-institusi yang dianggap sebagai pilar demokrasi, terutama partai politik dan pers, sudah menjadi bagian dari oligarki yang alih- alih menjalankan fungsi pendidikan politik, malah menjejali publik dengan segala jenis survei dan kampanye personalisasi politik.
Pendalaman demokrasi membutuhkan peran aktif warga negara dalam politik. Peran aktif ini harus lebih dari sekedar aktif mengikuti isu politik di media massa atau media sosial, kemudian mengambil sikap (juga melalui media sosial) berdasarkan informasi-informasi dangkal yang diterima dari media massa.
Politik harus mulai dipahami dan disikapi bukan berdasarkan figur ataupun hasil polling, namun berdasarkan gagasan dan platform dari aktor politik. Rekayasa politik diperlukan untuk mengubah pemahaman tersebut, dan mau tidak mau diawali dengan kesadaran bahwa segala hiruk pikuk politik yang terjadi selama ini tidak lain merupakan pertarungan antar oligark dalam memanfaatkan serta memperebutkan kendali atas institusi-institusi demokrasi.
Agenda untuk melahirkan kewarganegaraan yang aktif memerlukan rekayasa melalui pendidikan. Pemilihan secara langsung tentunya juga bisa dianggap sebagai suatu bentuk pembelajaran politik, learning by doing. Asumsinya pengalaman adalah guru yang terbaik, publik akan belajar dari kesalahan maupun keberhasilan yang mereka peroleh ketika terlibat langsung dalam proses voting.
Namun ada resiko ketika momentum belajar yang hanya sekali dalam lima tahun itu kalah cepat dengan proses pengambilalihan institusi demokrasi oleh kaum oligark. Instrumen hukum yang merupakan alat utama untuk menjinakkan kaum oligark akan semakin sulit diciptakan dengan makin kuatnya cengkraman oligarki.
Pemilihan kepala daerah secara langsung maupun melalui DPRD tidak berpengaruh terhadap fenomena oligarki politik. Bahkan pertarungan wacana mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah bisa jadi menguntungkan oligark karena masih jauh dari subtansi yang diperlukan untuk menjinakkan mereka.
Menjinakkan oligark sangatlah sulit, namun jauh lebih sulit lagi untuk bisa menghancurkan mereka melalui pemecahan konsentrasi kekayaan. Meskipun sulit, namun cengeraman oligarki memang hanya bisa diatasi dengan aturan hukum (rule of law).
Menurut Winters, hal itu harus dimulai dengan masyarakat mempunyai organisasi dan pemimpin di luar struktur yang dikuasai para oligark dan elite. Organisasi dan pemimpin politik inilah yang akan menjadi agen dan alat dalam menantang oligarki. Oleh karena itu, jauh lebih penting untuk mendorong kewarganegaraan yang aktif dengan keterlibatan langsung warga negara di institusi-institusi demokrasi, dimulai dengan partai. Contoh pilihan sederhananya: Masuk partai yang sudah ada dan melawan oligarki dari dalam; atau membuat partai baru yang terbebas dari kaum oligark. []
DONNY ARDYANTO
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)