Di salah satu Debat Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat 2018, Pasangan Calon Sudrajat-Ahmad Syaikhu mengkampanyekan tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden. Aksi paslon Nomor Urut 3 ini lahirkan pertanyaan, apa relevansinya pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan pemilu presiden (Pilpres)?
Tagar itu kemungkinan lebih sebagai upaya peningkatan elektabilitas Asyik (Ajat-Syaikhu). Karena kita tahu, elektabilitas Prabowo Subianto berskala nasional. Sangat mungkin, seluruh warga Jabar tahu Prabowo tapi warga Kota Bekasi, tempat Ajat jadi Walikota, pasti ada yang tak tahu Ajat.
Memang ada coattail effect dalam Pilpres. Elektabilitas calon presiden punya efek meningkatkan elektabilitas partai politik pengusungnya. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memaknai atau mengharapkan, Prabowo sebagai calon presiden Pemilu 2019 punya efek meningkatkan elektabilitas terhadap Asyik di Pilkada 2018.
Tetapi #2019GantiPresiden, dengan menyingkirkan sentimentil kita, relevan dalam Pilkada Serentak 2018. Bukan hanya di Jabar tapi juga amat mungkin di seluruh daerah penyelenggara Pikada 2018.
Pemilu lokal=evaluasi presidensial
Pemilu lokal yang diselenggarakan di tengah periode pemerintahan nasional punya fungsi mengevaluasi sistem pemerintahan presidensial. Yang paling diinginkan elite politik adalah kursi kekuasaan. Yang paling ditakutkannya adalah tak mendapatkan atau kehilangan kursi kekuasaan.
Setelah Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi Presiden-Wakil Presiden Indonesia melalui Pilpres 2014, setiap pergantian tahun pasti ada evaluasi dari banyak pihak. Ada akademisi, peneliti, pegiat organisasi non-pemerintah, hingga politisi. Tapi dari evaluasi itu, tak akan serius sangat untuk ditanggapi.
Karena evaluasi itu semua tak ada insentif dan hukuman yang signifikan bagi elite politik. Apakah jika hasil evaluasinya bagus, Jokowi dan partai politik pengusungnya mendapat tambahan kursi kekuasaan? Dan jika hasil evaluasinya buruk, apakah Jokowi dan parpol pengusung akan kehilangan kursi? Jawabannya, tidak.
Tak ada evaluasi sistemik merupakan kekurangan dari sistem presidensial. Sistem pemerintahan ini mempunyai periode pasti, yaitu dimulai dari satu pemilu lalu ditutup pemilu berikutnya. Presidensial berbeda dengan sistem parlementer yang pemerintahannya amat mungkin diganti sebelum pemilu berikutnya tiba.
Di satu sisi, sistem presidensial menjawab masalah gonta-ganti pemerintah di parlementer. Tapi di sisi lain, sistem presidensial tak punya evaluasi sistemik. Harus menunggu pemilu berikutnya. Tak ada apresiasi kekuasaan jika disimpulkan baik dan tak ada hukuman kekuasaan jika disimpulkan buruk.
Pemilu lokal bisa menjadi fungsi evaluasi sistem presidensial. Apalagi dengan pemilu lokal yang diserentakan. Presiden serta parpol pengusungnya secara sistemik akan senang/takut dengan penambahan/pengurangan kekuasaan di daerah melalui pemilu lokal.
Idealnya, pemilu serentak lokal berupa penggabungan pilkada dengan Pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Dengan ini, insentif dan hukuman bagi parpol lebih signifikan. Parpol pun berkepentingan mengusung calon kepala daerahnya masing-masing untuk kepentingan membantu meningkatkan elektabilitas parpol.
Tapi dengan penyerentakan di 2018 ini pun fungsi evaluasi cukup signifikan. Dibanding dua gelombang sebelumnya (2015 dan 2017), Pilkada Serentak 2018 merupakan pesta demokrasi lokal terbesar dari segi pemilih. 171 daerah Pilkada 2018 jika dirinci ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Ada 152.057.054 pemilih tetap, atau 81,58% dari daftar pemilih sementara Pemilu Nasional 2019, 186.379.878 pemilih.
Pilkada serentak gelombang tiga paling banyak menyelenggarakan pilkada provinsi. Dari 34 provinsi di Indonesia, setengahnya melakukan pemilihan gubernur-wakil gubernur di 2018. Dan provinsi ini banyak yang merupakan daerah tingkat II amat banyak pemilih. Selain Jabar (31.730.039) dan Sumut (9.050.622), ada Jawa Tengah (27.068.495), Jawa Timur (30.153.558), Sulawesi Selatan (6.019.616), dan Lampung (5.765.359).
Politisi dan rakyat sebagai pemilih penting menyadari banyaknya angka itu. Betapa signifikan jumlah daerah dan banyaknya pemilih di Pilkada 2018 menjadi momen evaluasi sistemik presidensialisme Jokowi.
Jika rakyat menyimpulkan Jokowi bekerja-kerja-kerja baik, maka rakyat mengapresiasi dengan memilih kepala daerah yang diusung parpol pengusung Jokowi. Sebaliknya, jika rakyat menyimpulkan Jokowi tak bekerja baik, maka rakyat akan menghukum dengan memilih kepala daerah yang diusung parpol oposisi Jokowi.
Para elite pun menjadikan Pilkada Serentak 2018 sebagai setengah pemenangan Pemilu 2019. Keterpilihan gubernur di sejumlah provinsi serta bupati/walikota di sejumlah kabupaten/kota menjadi bentuk kekuasaan yang akan jadi modal meraih sejumlah kursi di Pemilu 2019, khususnya kursi presiden-wakil presiden.
Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara kuat menggambarkan itu. Di Jabar, Joko Widodo-Jusuf Kalla kalah suara signifikan dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Parpol pengusung dan yang cenderung mengusung Jokowi atau Prabowo pun kuat berupaya menang di Sumut untuk memastikan keterpilihan Presiden-Wakil Presiden 2019-2024.
Kewenangan petahana gubernur sangat strategis. Kepala daerah provinsi ini mungkin mengkondisikan aparatur sipil negara (ASN) dan warga daerahnya untuk pilihan politik dalam pemilu. Sebagai perpanjangan tangan pemerintahan pusat, gubernur dengan anggaran, luasan, dan fasilitas daerah bisa mengkoordinasikan sejumlah bupati dan walikota di bawah struktur pemerintahannya.
Pada 2014, provinsi yang dimenangkan Jokowi ada 23. Rinciannya: Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat.
Sedangkan provinsi yang dimenangkan Prabowo pada Pilpres 2014 ada 10. Rinciannya: Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Maluku Utara.
Jadi, hasil Pilkada 2018 bisa memprediksi suara untuk Jokowi di Pemilu 2019. Semakin banyak kepala daerah yang diusung parpol pengusung Jokowi, semakin banyak dan terjamin suara untuk kemenangan Jokowi di 2019. Sebaliknya, jika banyak kepala daerah terpilih adalah yang diusung parpol oposisi Jokowi, keterpilihan Jokowi di 2019 jadi lebih terjal. []
USEP HASAN SADIKIN