August 8, 2024

Potensi Re-Militerisasi Pengisian Kepala Daerah 2022 dan 2023

Sebelum Pemilu 2024, ada ratusan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir tanpa menyertakan pilkada. Pada 2022 ada 101 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir. Sedangkan pada 2023 ada 170 daerah.

Sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 pelaksanaan pilkada harus tertunda satu hingga dua tahun. Pasca-Pilkada Serentak 2020, pilkada edisi selanjutnya akan diselenggarakan secara serentak pada tahun 2024 terhadap berbagai daerah di Indonesia termasuk yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada tahun 2022 dan 2023. Oleh karena itu, tidak dapat dimungkiri akan terjadi suatu kekosongan jabatan kepala daerah pada beberapa daerah dalam kurun waktu satu sampai dengan dua tahun ke depan.

Dalam menyikapi situasi tersebut Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 menghendaki bahwa akan dilakukan pengangkatan pejabat kepala daerah yang akan menjalankan tugas kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala daerah periode berikutnya berdasarkan hasil Pilkada 2024.  Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016, jabatan kepala daerah dapat diisi dengan terpenuhinya kriteria atau kualifikasi. Seperti untuk Pejabat Gubernur dan Walikota/Bupati yang masing-masing harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan jabatan pimpinan tinggi pratama. Mengingat cukup banyak kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2022 dan 2023, tidak menutup kemungkinan terdapat pula potensi kurangnya kandidat yang dianggap memenuhi kualifikasi untuk menjadi pejabat kepala daerah.

Ditambah belakangan ini, mencuat kembali di khalayak umum perihal adanya wacana jabatan pejabat kepala daerah yang dapat dijabat oleh anggota aktif TNI-POLRI. Seperti yang dinyatakan oleh Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irawan. Menurutnya, apabila diperkenankan oleh UU, tidak menutup kemungkinan Kemendagri dapat mengambil langkah penunjukan anggota aktif TNI-POLRI untuk mengisi kekosongan jabatan pejabat kepala daerah (CNN Indonesia 2021).

Hal tersebut menimbulkan pro dan kontra. Wacana tersebut dianggap bertentangan dengan semangat dan tuntutan Reformasi yang menghendaki tertutupnya ruang bagi anggota aktif TNI-POLRI untuk melakukan intervensi dalam pemerintahan dengan menduduki posisi jabatan sipil. Di mana seperti yang dikatakan oleh pakar otonomi daerah Djohermasyah Djohan yakni kekosongan jabatan kepala daerah seyogyanya diisi oleh ASN, apabila jabatan tersebut diisi oleh anggota TNI-POLRI akan berimplikasi terhadap munculnya pandangan kembalinya Dwifungsi ABRI di masyarakat (CNN Indonesia 2021).

Pada dasarnya berdasarkan Pasal 204 ayat (2) UU 5/2014 dapat diketahui bahwa JPT dapat diisi oleh TNI-POLRI dengan memastikan bahwa anggota TNI-POLRI yang bersangkutan telah mengundurkan diri dari dinas aktif serta memiliki kesesuaian kompetensi. Pengaturan tersebut selaras dengan Pasal 47 ayat (1) UU 34/2004 dan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang menghendaki bahwa Anggota aktif TNI-POLRI dapat menduduki jabatan sipil dan di luar lembaga tersebut setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Lebih lanjut, Pasal 47 ayat (2) UU No 34/2004 menerangkan bahwasanya Anggota TNI aktif diperkenankan untuk menduduki jabatan sipil. Perlu diingat, ini bersifat limitatif di antaranya beberapa posisi jabatan dalam lembaga sipil yang merupakan bagian dari bidang politik dan keamanan negara. Namun, apabila mencermati lebih jauh potensi pengisian pejabat kepala daerah oleh anggota TNI-POLRI, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) PP 11/2017 dapat dipastikan bahwa anggota TNI-POLRI diperkenankan untuk mengisi jabatan ASN tertentu yang berada di instansi pusat dengan catatan sesuai pada UU TNI dan UU POLRI.

Kemudian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 157 ayat (1) PP 11/2017 diterangkan pula bahwa Anggota TNI-POLRI dapat mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di antaranya yakni JPT utama, madya, dan pratama pada instansi pemerintah selain Instansi pusat. Oleh karena itu, dapat dipastikan terdapatnya celah hukum bagi anggota aktif TNI-POLRI untuk menduduki jabatan Pejabat Gubernur maupun Pejabat Bupati/WaliKota.

Hal tersebut terbukti dengan berkaca pada beberapa tahun silam, saat terdapat anggota aktif TNI-POLRI yang diangkat sebagai pejabat kepala daerah. Di antaranya yakni Komjen Mochamad Iriawan, Irjen Carlo Brix Tewu, Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo yang masing-masing diangkat menjadi Pejabat Gubernur Jawa Barat, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan (Marsyukrilla 2022).

Pengangkatan tersebut didasarkan atas beberapa alasan di antaranya yakni keterbatasan pejabat dalam Kemendagri untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur pada 2017 sampai dengan pelaksanaan Pilkada 2018. Di samping itu, Mendagri tidak menghendaki penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pejabat kepala daerah, sebab dianggap berpotensi akan memobilisasi PNS untuk turut serta memihak salah satu pasangan calon dalam penyelenggaraan Pilkada (Pranata dan Makawi 2020, 272).

Menyikapi hal tersebut, Yati Andriyani berpendapat bahwa pelibatan TNI-POLRI dalam politik praktis bertentangan dengan semangat reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil dalam politik (Razaq 2020, 263). Selaras dengan pendapat tersebut Peneliti Puskapol UI Hurriyah menegaskan bahwa penunjukan TNI-POLRI sebagai bentuk ancaman terhadap esensi demokrasi. Dalam membatasi ruang beberapa kepala daerah yang potensial, pemerintah hendak melibatkan TNI-POLRI dalam jabatan sipil (Taher 2021).

Oleh karena itu, adanya celah hukum bagi anggota aktif TNI-POLRI untuk menduduki jabatan kepala daerah telah mengisyaratkan terdapatnya potensi remiliterisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga diperlukannya political will yang konkret dan cermat dari pemerintah dalam mengatasi problematika pengisian kekosongan jabatan kepala daerah sebagaimana konsekuensi penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 dengan tanpa melakukan pelibatan anggota aktif TNI-POLRI yang akan mencederai semangat Reformasi. []

RAHMAT BIJAK SETIAWAN SAPII

Mahasiswa Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta