Sebagai ciri-ciri negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, UUD NRI Tahun 1945 telah menegaskan bahwa penyelengggaran pemilu di Indonesia berlangsung secara periodik dengan jabatan yang bersifat tetap. Merujuk pada pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dapat diketahui bahwa Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia meliputi Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selaras, Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga menjelaskan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan secara langsung. Sehingga penyelenggaraan pemilu pun dianggap sebagai manifestasi supremasi demokrasi.
Penyelenggaraan pemilu perlu memperhatikan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan terselenggaranya pemilu yang selaras dan senafas dengan esensi pemilu yakni sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat dan ruang demokrasi rakyat. Secara historis, prinsip-prinsip pemilu yang demokratis telah disinggung dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang menyebutkan beberapa asas yang menjadi prinsip pemilu yang demokratis. Keduanya menjelaskan diberlakukannya asas berkala, jujur, menjamin hak pilih, umum, berkesamaan, jujur dan adil (Isra and Fahmi 2019, 13).
Perbedaan antara keduanya terletak pada penjelasan UUDS 1950 yang lebih detail dibandingkan dengan Konstitusi RIS 1949. Kemudian, semenjak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menghendaki pemberlakuan kembali lagi UUD 1945, menyebabkan ketiadaan penjelasan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dalam taraf konstitusi. Mengingat, UUD 1945 tidak menjelaskan secara implisit maupun eksplisit perihal rinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Penjelasan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dalam taraf konstitusi tertuang kembali setelah memasuki masa reformasi melalui Amandemen UUD NRI Tahun 1945.
Namun, kehadiran prinsip-prinsip pemilu yang demokratis tidak dapat memastikan secara mutlak ketiadaan problematika dan hambatan pemilu dalam tataran praktik. Dalam praktiknya telah ditemukan berbagai hal yang dianggap menjadi sebuah hambatan salah satunya yaitu ambang batas pencalonan presiden. Penerapan ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Pemilu digadang-gadang berimplikasi terhadap sikap partai politik maupun gabungan partai politik dalam mencalonkan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dilansir dari CNN Indonesia Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas memberikan pendapat mengenai ambang batas pencalonan presiden. Ketentuan yang ada dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu ini menurutnya terdapat unsur kapitalisasi pemilu. Ketentuan ini menggugurkan moralitas demokrasi yang menjadi sendi negara hukum (Sutari 2018).
Proses dan mekanisme penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 2/2011 tentang Perubahan Atas UU 2/2008 tentang Partai Politik. Lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu menjelaskan bahwa Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan. Kemudian Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 menjelaskan bahwa rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan bakal calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan.
Mencermati beberapa ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang tidak mengatur secara spesifik proses dan tahapan penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden. Dengan kata lain, beberapa ketentuan tersebut telah senafas dan sepakat bahwa proses dan tahapan tersebut merupakan wewenang internal atau otonomi partai politik.
Namun, dalam praktiknya, wewenang tersebut sangat disayangkan. Dalam publikasi kompas.com, pegiat pemilu, Titi Anggraini berpendapat bahwa yang dipertontonkan partai politik dalam hal rekrutmen seorang presiden hanya diambil dari keputusan dari segelintir elite di partai politik semata. Lebih lanjut bahwa pola rekrutmen yang hanya dikuasai elite partai menurutnya akan berdampak pada kerapuhan koalisi partai politik yang dibentuk nantinya (Belarminus 2018).
Hal itu bisa ketahui dengan berkaca pada AD dan ART berbagai partai politik. Mayoritas partai politik tidak menjelaskan skema atau mekanisme yang jelas, tegas, serta mencerimkan sisi demokratis dan terbuka partai politik dalam menentukan calon presiden dan/atau wakil presiden. Ini ditandai dengan penjelasan pada AD dan ART beberapa partai politik yang memberikan kewenangan tersebut kepada Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pertimbangan Partai, maupun Majelis Syura (Mahardika 2019, 127).
Mencermati kenyataan tersebut, maka eksistensi partai politik dewasa ini jauh dari harapan perbaikan. Partai politik hendaknya menjadi bagian dari upaya mengembangkan kehidupan demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Menanggapi kenyataan tersebut, penulis berpendapat bahwa dominasi elite partai dalam menentukan calon presiden dan/atau wakil presiden disebabkan oleh kehadiran ambang batas pencalonan presiden. Ketentuan ini menjadi titik checkpoint pertama bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Akibatnya, partai politik akan mengabaikan proses dan tahapan yang demokratis dan terbuka serta cenderung mengambil cara instant dengan mencalonkan elite partai.
Maka, penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden melalui primary election merupakan salah satu upaya yang signifikan bisa memperkaiki. Jika partai politik menerapkannya, ini jadi langkah konkret yang mampu memanifestasikan pemilu yang lebih demokratis. Primary election yang dimaksud yakni pemilihan yang menyertakan pembentukan sistem penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat pusat.
Dengan primary election di tiap partai politik, harapannya akan mampu memaksimalkan partisipasi masyarakat secara luas. Secara spesifik, ini berfungsi untuk membuka ruang bagi semua kader dan pengurus partai politik.
Melalui primary election, kita tidak akan terjebak pada pilihan calon presiden yang itu itu saja. Adanya pemilihan pendahuluan di tiap partai politik pun akan menghindari polarisasi kontestasi dan massa pendukung/pemilih yang cenderung menjadi dua pilihan saja. Primary election bukan hanya menguatkan partisipasi berdemokrasi tapi juga tetap menjamin wewenang otonom yang melekat pada partai politik. []
Rahmat Bijak Setiawan Sapii
Mahasiswa Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta