Dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) merupakan salah satu prioritas yang mesti dituntaskan oleh DPR bersama Pemerintah. Revisi UU Pemilu mendesak dilakukan menyusul berbagai evaluasi atas penyelenggaraan pemilu serentak lima surat suara pada 2019 lalu.
Banyak pihak merekomendasikan pembuat UU meninjau kembali pola keserentakan yang diatur dalam UU Pemilu. Pemilu serentak lalu dianggap sangat membebani penyelenggara yang membuat lebih dari 500 petugas TPS meninggal dunia akibat kelelahan mengerjakan pemungutan dan pemungutan suara secara nonstop lebih dari 24 jam. Pemilu serentak juga dianggap membuat pemilu legislatif menjadi anak tiri dibanding pemilu presiden. Hal itu diperkuat data tingginya suara tidak sah untuk pemilu anggota DPR dan pemilu anggota DPD.
Tercatat 17.503.953 (11,12%) suara tidak sah untuk pemilu anggota DPR 2019. Jumlah ini bahkan lebih banyak dari total pemilih pemilu Australia 2019 lalu yang berjumlah 16 jutaan. Sedangkan suara tidak sah pemilu DPD lebih fantastis. Sebanyak 29.710.175 suara pemilih pemilu DPD adalah tidak sah. Setara 19,02% dari total pemilih yang datang ke TPS. Merupakan anomali bagi demokrasi prosedural Indonesia, mengingat surat suara DPD relatif lebih sederhana karena menyertakan foto dan nomor urut kontestan. Kecenderungannya, lebih mudah bagi pemilih untuk menggunakan surat suara DPD dibandingkan surat suara pemilu DPR yang memuat daftar nama calon dengan tanpa foto.
Belum lagi percampuran isu antara lokal dan nasional yang membuat kampanye kurang berorientasi pada visi, misi, dan program peserta pemilu. Membuat politik identitas serta politisasi SARA menjadi jalan pintas yang dipilih untuk memenangi suara rakyat. Polarisasi politik makin meruncing akibat militansi politik yang didominasi emosi ketimbang diskursus politik yang sehat. Bisa dibilang Pemilu 2019 adalah bertemunya kompleksitas teknis dengan kompetisi politik yang membelah masyarakat. Pemilu 2019 menjadi pemilu yang melelahkan bagi pemilih, penyelenggara, maupun peserta pemilu.
Meski demikian, ternyata keterpilihan perempuan menunjukkan adanya perbaikan. Sepanjang sejarah elektoral Indonesai, Pemilu 2019 menghantarkan paling banyak perempuan menjadi anggota DPR RI. Tercatat 120 caleg perempuan berhasil duduk di DPR RI dari total 575 kursi yang diperebutkan. Setara 20,87%, naik dari semula 17,32% (97 caleg perempuan terpilih dari 560 kursi) pada Pemilu 2014.
Pada level daerah, dari total 2.207 kursi DPRD provinsi yang diperebutkan, ada 391 (17,72%) kursi yang berhasil diperoleh caleg perempuan. Sisanya 1.816 ( 82,28%) kursi dimenangi caleg laki-laki. Sedangkan untuk DPRD kabupaten/kota terdapat 2.645 (15,25%) caleg perempuan terpilih dari total 17.340 kursi yang diperebutkan. Baik di provinsi maupun kabupaten/kota mengalami peningkatan keterpilihan caleg perempuan bila dibandingkan Pemilu 2014 lalu.
Kenaikan keterpilihan perempuan di parlemen tidak lepas pula dari berbagai tantangan yang dihadapi bagi penguatan keterwakilan perempuan di Indonesia. Bila dielaborasi lebih lanjut, keterpilihan perempuan ini meski mengalami kemajuan, tapi masih di bawah target untuk mewujudkan planet 50/50 yang dicanangkan pemerintah bisa terwujud pada 2030. Dimana Indonesia menjadi salah satu dari sepuluh Kepala Negara di dunia yang menjadi Champion World Leader dalam kampanye global He for She Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam kajian Perludem masih ditemui asal comot dalam pencalegan perempuan. Ketentuan UU yang mewajibkan partai politik menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon di setiap daerah pemilihan membuat beberapa parpol asal saja dalam memasukkan caleg perempuan untuk memenuhi kuota maksimal daftar calon yang mereka usung. Hal ini tidak terlepas akibat kaderisasi dan rekrutmen politik terhadap perempuan politik berjalan tidak berkesinambungan dan cenderung mepet waktu (injury time) dengan tenggat pencalonan pemilu (Perludem, 2014).
Meski pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional daftar terbuka (open list proportional), namun tingkat keterpilihan caleg tetap didominasi oleh mereka yang berada di nomor urut atas (top list). Berdasar data yang diolah Perludem dari KPU, tercatat 63% lebih caleg DPR RI terpilih adalah caleg yang berada di nomor urut 1 (satu). Dari total 120 caleg perempuan terpilih DPR RI, 57 orang (47,5%) diantaranya berada di nomor urut 1. Kompleksitas sistem pemilu, alokasi kursi dapil yang besar, penetrasi penjangkauan pemilih yang kurang maksimal membuat pemilih masih mengaggap nomor urut atas (kecil) sebagai prioritas pilihan.
Terlalu cairnya proses rekrutmen caleg membuat politisi perempuan, yang notabene kader organik partai yang sudah megabdi dan berjuang untuk membesarkan dan menjaga ideologi partai, kesulitan bersaing dengan para diaspora politik. Mereka para pendatang baru di partai yang mayoritas punya kekuatan modal dan popularitas lebih baik. Ini juga menjadi penghambat bagi perempuan politik kader organik partai untuk memenangi kontestasi pemilu.
Untuk itu, sejumlah agenda penguatan keterwakilan perempuan mendesak untuk didorong melalui momentum revisi UU Pemilu. Pertama, pengaturan agar caleg perempuan bukan hanya memenuhi kuota minimal 30% di daftar calon, tapi juga ditempatkan pada nomor urut 1 di sekurang-kurangnya 30% daerah pemilihan. Kedua, penguatan persyaratan pencalonan berupa caleg harus sudah menjadi anggota partai sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebelum pendaftaran calon dilakukan. Ketiga, memberikan insentif dana kampanye dari negara untuk caleg perempuan yang ditempatkan pada nomor urut 1. Dan keempat, kewajiban mengalokasikan paling sedikit 30% dari dana negara yang diterima parpol (bantuan keuangan parpol) untuk aktivitas kaderisasi dan rekrutmen perempuan politik di partai. []
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Tulisan ini dimuat di harian cetak Media Indonesia (25 Februari 2020)