Hampir di setiap pemilu, eksistensi Rhoma Irama menjadi perhatian. Kontestasi pesta demokrasi yang mencari suara terbanyak menempatkan Rhoma sebagai hal yang diperhitungkan, baik sebagai juru kampanye, caleg, bahkan capres. Terakhir “efek Rhoma†atau “efek Irama†dinilai pakar survei berpengaruh meningkatkan suara salah satu partai.
Rumahpemilu.org menempatkan Rhoma Irama sebagai orang yang lama terlibat di pemilu. Di masa awal Orde Baru, ia sempat menjadi maskot oposisi di pemilu dan pemerintahan. Rhoma pun pada 1993 terpilih menjadi anggota dewan (MPR) yang ditunjuk Pemerintah sebagai Utusan Golongan, mewakili seniman dan artis. Bagaimana Rhoma beserta pengalamannya di pemilu menilai pesta demokrasi, berikut hasil wawancara rumahpemilu.org di Banda Aceh (15/3):
Anda punya penilaian apa di pemilu sekarang?
Sangat luar biasa. Pemilu sekarang makin demokratis. Kita adalah negara demokrasi tersukses setelah India. Dari segi kontestasi, saya kira sudah berimbang. Saat ini semua partai punya peluang mendapatkan suara rakyat. “One man one vote†pun bisa diterapkan untuk memilih siapa saja dengan banyak pilihan.
Bagaimana dengan kualitas penyelenggaranya? KPU dan pengawas pemilu?
Pemilu sekarang jauh lebih baik. Pasca-Reformasi ini yang keempat. Banyak perubahan yang berasal dari pelajaran pemilu sebelumnya. Misalnya, saya melihat ajakan antigolput sekarang sudah menyatu dengan ajakan antitransaksional. Antipolitik uang. Ini berdampak pada rakyat yang makin cerdas. Tidak bersikap pragmatis. Jadi tingkat partisipasi yang diupayakan penyelenggara pemilu tak hanya baik dari segi kuantitas tapi juga kualitas.
Anda punya pengalaman menjadi caleg dan anggota dewan. Dengan sistem pemilu sekarang yang memilih orang dalam satu partai, apakah ini akan lebih menguatkan ikatan anggota dewan kepada pemilih atau rakyat dan mengurangi ikatan partai?
Tetap dominasi partai di DPR kuat. Karena mereka tetap ada dalam dominasi fraksi. Sistem sekarang lebih demokratis dari segi pemilih. Rakyat bebas memilih secara langsung kandidat mana yang lebih baik. Rakyat lebih berdaulat dalam pemilihan.
Bagaimana dengan ideologi? Anda masih menilai penting dan berpengaruhkah ideologi di sistem pemilu sekarang?
Apa pendapat anda dengan ideologi partai Islam? Saya rasa akan ada koalisi partai Islam. Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan adalah dambaan semua umat. Kalau sudah terwujud, maka ada ukhuwah wathoniyah atau persaudaraan setanah air. Obsesi saya ukhuwah itu terwujud. Islam memerintahkan itu.
Anda sekarang dekat dengan PKB. Apa karena alasan ideologi Islam?
Salah satunya itu. Tapi PKB yang lebih dulu meminang saya bergabung.
Mayoritas fans anda, mayoritas muslim. Bagaimana anda menempatkan diri di tengah Indonesia yang bhineka?
Islam itu rahmatan lil alamiin. Rahmat (kebaikan) bagi seluruh alam. Saya pernah membuat paper untuk Pittsburgh University. Saya menekankan,music is media for information, for dakwah. Di sana saya katakan, secara eksplisit Islam itu menghormati umat beragama lain. Sebagaimana dalam Al Quran: jangan kau melaknat Tuhan-Tuhan mereka yang disembah orang lain. Diperintahkan antarbangsa agar saling mengenal. Islam mengkondisikan ini. Saat saya diwawancarai Washington Post, saya bilang Islam itu rahmatan lil alamin. Islam bukan rasis. Saya mau membuktikan ini.
Beberapa lembaga survei menempatkan anda tak lagi sebagai calon presiden, tapi calon wakil presiden. Penilaian anda?
Lembaga survei saat ini diciderai hal-hal tak sportif. Misalnya saat Pilkada DKI Jakarta. Katanya, elektabilitas Foke tak terkejar Jokowi. Ternyata hasilnya sebaliknya. Ini satu hal.
Hal kedua, banyak lembaga survei sekarang sudah pesanan. Sudah tak kredibel. Sebagaimana, informasi dari orang-orang dekat atau fans saya. Nama saya tak pernah ada di daftar calon Presiden 2014. Saat mereka tanya kepada orang yang mensurvei, jawabnya oh memang pilihan dari sananya seperti itu. Lembaga survei saat ini banyak yang menjadi pesanan pihak tertentu.
Lalu bagaimana dengan pers yang menjadi sumber informasi masyarakat dalam pemilu dan demokrasi?
Pers sudah bagus. Misalnya, pemberantasan korupsi bisa lebih aktif karena ada kontrol dari pers. Trias-politika berjalan di mana pers sebagai kontrol demokrasi berperan. Di konteks pemilu ini mejadi lebih penting karena kita tak ingin partai atau orang yang terpilih adalah pihak yang banyak terkait kasus korupsi.
Di era Orde Baru anda dicekal, tak bisa tampil di media saat itu karena mendukung partai oposisi. Anda punya penilaian apa terhadap kampanye atau penilaian yang mengatakan zaman Orde Baru lebih enak dibanding sekarang?
Di zaman demokrasi  keadaan tak stabil. Kalau pada zaman diktator keadaan stabil. Kalau demokrasi kan bebas. Bebas demonstrasi, bebas melakukan apa saja. Mungkin rakyat lebih melihat sisi lainnya. Pertempuran antarwarga, pembakaran gedung pemerintahan. Lalu suasana politik. Ada yang saling caci-maki dan lainnya. Mungkin ini yang dirasakan masyarakat. []