Pada simulasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) di Kota Depok, Jawa Barat Komisi Pemilihan Umum melakukan simulasi rekapitulasi elektronik mulai proses pengambilan foto Form C1 Plano oleh petugas KPPS hingga proses tabulasi suara. Simak selengkapnya wawancara rumahpemilu.org kepada salah satu pakar teknologi informasi yang membangun aplikasi Sirekap, yakni Riza Satria Perdana (24/9).
Apa yang berbeda di simulasi Sirekap keempat ini?
Kalau sebelumnya itu hanya sampai pada proses pembacaan OMR (Optical Mark Recognition) dan OCR (Optical Character Recognition) terhadap foto yang diambil oleh petugas KPPS, nah, di simulasi ini, proses yang disimulasikan sampai pada pengumpulan data dari seluruh TPS di KPU kabupaten/kota.
Bagaimana proses rekapitulasi elektronik di KPU kabupaten/kota?
Kami adakan verifikator untuk memverifikasi foto dengan hasil yang dideteksi. Kalau verifikator oke, sudah sesuai, maka informasi ini akan langsung tayang ke info publik.
Teknologi yang digunakan dalam Sirekap adalah gabungan OCR dan OMR. Kenapa digunakan kombinasi dua teknologi ini?
Agar saling melengkapi, agar lebih akurat pembacaannya. OCR itu membaca yang angka dan tulisan, OMR itu yang tanda bulat. Sebetulnya, yang lebih presisi itu OMR.
Di Form C1, hanya ada satu lembar formulir yang terdapat pola bulatan. Pola ini diperuntukkan bagi teknologi OMR. Kenapa tidak semua formulir C1 Plano ada pola ini?
Nanti formulirnya jadi besar sekali. Jadi, yang kita buat yang data hasilnya saja karena itu data sensitif.
Apa yang disempurnakan dari simulasi kedua dan diperbaiki di uji coba ini?
Sebetulnya kami selalu mengukur erornya itu berapa dari setiap uji coba. Nah, kita sedang mencoba agar keakuratannya itu ditingkatkan lagi.
Nah, di uji coba 2 dan 3, tidak berubah sebetulnya. Yang berubah adalah fitur, setelah verifikator memverifikasi, berarti datanya sudah sesuai dengan data yang ada di foto. Kalau semua sudah sesuai, artinya siap untuk melakukan proses verifikasi.
Apakah bisa publik mengakses C1 plano?
Ya, begitu KPPS selesai foto, dia cek, apakah sesuai atau tidak sesuai. Lalu di-submit, berikutnya, KPPS men-share data ini dengan memberikan barcode ke saksi dan pengawas TPS. Dari situ, saksi bisa berikan ke calon atau tim kampanye mereka.
Publik di luar tim kampanye bisa mengakses data dari barcode itu?
Sebetulnya saya tidak anjurkan data ini diakses pemilih di TPS, karena data itu kan masih ada salahnya. Manti kalau sudah diverifikasi oleh verifikator di KPU kabupaten/kota, baru dibenerin. Kalau sudah benar, baru tayang ke publik. Masyarakat bisa lihat hasilnya.
Masyarakat bisa unduh aplikasi Sirekap untuk melihat hasil rekapitulasi elektronik?
Tidak. Aplikasi hanya untuk KPPS. Saksi juga tidak perlu instal aplikasinya. Yang perlu instal juga hanya pengawas saja.
Saksi kan nanti akan scan barcode, muncul url. Nanti akan muncul semua yang tadi difoto, hasilnya. Setelah muncul, dia punya hak juga untuk menyebutkan sesuai atau tidak.
Tapi jika masyarakat mau memoto Form C1 Plano diperbolehkan?
Boleh. Justru itu yang diharapkan, masyarakat akan punya pembandingnya sehingga nanti ketika masyarakat akses infopemilu, dia lihat TPS-nya, keluarlah data itu. Baik datanya atau fotonya.
Berapa lama proses memoto Form C1 Plano hingga dapat dilihat datanya oleh saksi dan pengawas TPS?
Tak sampai 1 jam tadi. Motret paling 5 atau 10 menit. Lalu dikirim ke server. Nah, ini tergantung internetnya. Kalau cepat, langsung bisa dideteksi angka sekian, lalu dia lihat, sesuai atau tidak sesuai. Harusnya malah tidak sampai 1 jam.
Jadi, kapan data e-rekap bisa terkumpul semua?
Nah, ini, misal di TPS tidak ada internet. KPPS sudah harus menginstal aplikasinya sebelum hari H-nya. Memang pada saat itu dia tak bisa kirim data ini ke server, tapi foto itu masih tersimpan di aplikasinya. Nanti begitu handphone ini dapat internet, langsung akan dikirim.
Level rekap hanya ada di kabupaten/kota dan provinsi ya, Pak?
Iya, dan sudah tidak ada lagi sekian rangkap formulir. Hanya salinan digital dari barcode ini.
Sirekap diharapkan dapat menghasilkan hasil rekapitulasi yang cepat. Situng di 2019 hasilnya lambat. Mengapa terjadi demikian dan agar Sirekap tidak mengalami hal yang sama?
Kalau di 2019 itu, C1 yang datang dari TPS ini dikumpulkan semua di KPU kabupaten/kota. Padahal, pada waktu itu kan ada Pileg dan Pilpres. Nah, berkasnya kan banyak. Jumlah TPS juga banyak. Pengiriman dari TPS ke KPU kabupaten/kota sendiri sudah butuh waktu, kemudian di situ, dia harus di-scan dan dientri. Nah ini yang sekarang dihilangkan prosesnya. Yang dilakukan di KPU kabupaten/kota bukan entri, tapi hanya verifikasi.
2019 dulu juga operator kabupaten/kota jumlahnya tidak sepadan dengan beban kerja. Makanya, upload keluar di infopublik itu lambat.
Kita sendiri tidak punya permasalahan apakah aplikasinya dieretas atau tidak. Aplikasi kita tidak pernah down.
Lalu bandwith. Upload formulir dari KPU kabupaten.kota itu kan berbarengan. Kebutuhan bandwith juga luar biasa muncul antrean. Dalam satu hari itu, kapasitasnya hanya bisa menampung sekian.
Baik. Berarti berapa lama waktu yang diharapkan agar hasil rekapitulasi suara bisa selesai dan ditampilkan dalma info publik?
Harusnya di TPS itu kira-kira selesai jam 2 atau jam 3. Orang lalu sudah bisa mulai motret. Harapan kami, di hari itu, semua pemotretan beres lah dan sudah bisa ter-uplaod kecuali beberapa daerah yang memang sulit. Lalu operator KPU kabupaten/kota juga sudah bisa bertugas verifikasi dan koreksi. Itu di hari yang sama.
Kami juga membagi beberapa step proses verifikasinya. Pertama, foto dari TPS. Begitu sudah difoto, masuk ke server. Server bisa deteksi itu foto C1 Plano. Foto itu sudah siap tayang di infopublik.
Kedua, halaman ketiga yang ada bulat-bulatnya. Halaman ketiga itu akan diproses duluan. Jadi, verifikator dan operator akan diminta menyelesaikan kerjaan yang belakangan ini duluan. Sehingga publik akan segera bisa dapat. Harapan kami, besoknya sudah beres untuk step kedua.
Ketiga, yang halaman agak banyak, ada jumlah pemilih dan sebagainya, itu mungkin kalau bisa diselesaikan besoknya ya oke, perlu waktu sehari lagi.
Jadi, hasil suara nasional sudah bisa didapatkan paling lambat 2 hari.
Bisa tetap dua hari jika internet di suatu daerah kurang bagus?
Kalau internet bagus, idealnya dua hari.
Untuk keamanan siber sendiri bagaimana?
Kita memang sangat hati-hati soal keamanan. Petugas KPPS yang mengoperasikan Sirekap harus dipastikan dia orang yang benar. Kan ada login. Mereka harus diregistrasi dulu di KPU agar bisa akses aplikasi.
Lalu, kalau dari sisi saksi, kami relatif loose. Karena nanti KPPS yang akan mendaftar identitasnya di lapangan. Bisa saja saksi beda di hari H. Yang penting dia datang, ada surat tugas yang kemudian diregistrasi.
Lalu, yang di KPU kabupaten/kota, karena di situlah data akan dipastikan apakah data itu benar, makanya kami, kalau di jaringannya diamankan, dari sisi orang juga. User-nya harus benar-benar yang punya hak untuk melakukan itu, baik operator, verifikator, maupun komisioner.
Lalu server ada pengalaman berlapis juga. Pertama, di garda depan, yang anti DoS (Denial of Service)-nya. Jangan sampai ada orang yang menyerang secara sengaja untuk membuat down sehingga tidak bisa diakses pihak lain. Nanti KPU akan menyiapkan, jadi bukan kami ya, WAF (Web Application Firewall)-nya. Itu akan mencegah orang-orang yang sengaja mau membuat aplikaisi ini jadi down, dicegat duluan di depan.
Berikutnya, kita punya sebuah VPN (Virtual Privacy Network) sehingga jaringan di KPU kabupaten/kota itu benar-benar aman sampai ke KPU pusat. Jangan sampai ada orang luar masuk ke jaringan VPN-nya KPU.
Kemudian, di sisi yang lain, dari sisi pengaturan servernya sendiri, kita sudah mengantisipasi. Info publik misalnya, kita taroh di depan, yang sebenarnya dia tidak punya akses langsung ke database. Jadi, dalam kondisi yang paling beresiko, infopublik berhasil dimasuki, dia tak bisa ubah apa-apa. Paling ya citranya KPU yang akan jadi problem. Tapi database-nya tetap aman. Database-nya kita taruh di sisi paling belakang yang jauh dari publik.
Kemudian juga, kan banyak lembaga yang mencoba untuk melakukan tabulasi sendiri. Misalnya Kawal Pemilu. Kami itu sekarang sedang bicara dengan KPU, bahwa kami mengusulkan KPU memperkenalkan kode TPS. Kode TPS itu unik di seluruh Indonesia. Sehingga ketika Kawal Pemilu punya data juga, bisa langsung gampang dipanggil dan disandingkan, sehingga bisa kelihatan ini loh data kami, datanya KPU.
Jadi, antara data yang dimiliki KPU dan data-data lain itu bisa langsung disandingkan. Kalau KPU ada data yang salah menurut versi mereka begini, oke, TPS nomor berapa. Kalau jaman dulu, harus periksa dulu, TPS-nya di provinsi mana, kabupaten/kota mana, TPS mana, repot.
Jadi, Sirekap bisa diterapkan sebagai pilot project di Pilkada Serentak 2020?
Sebetulnya, data Sirekap itu dijadikan sebagai data pembanding atau data resmi, buat kami itu kayak tak ada bedanya. Karena, data dari TPS ini masuk ke sistem. Kemudian ada proses rekapitulasi.
Persoalannya adalah proses rekap manual itu akan menggunakan data ini sebagai acuan atau menggunakan data kertas? Pada ujungnya nanti akan satu, dia akan membandingkan apa yang ada di kertas dia dengan yang ada di sistem. Kalau ada perbedaan, pasti akan dilakukan koreksi.
Dari beberapa kali uji coba, petugas yang mencoba itu sebetulnya tak terjadi masalah. Membedakan antara rekap elektronik yang sekarang dengan Situng bukan terletak pada aplikasi handphone-nya itu, tapi setelah proses itu. Nah, kalau Sirekap menjadi data pembanding rekap berjenjang, proses rekap di kecamatan itu bukan ranah kami. Itu ranah petugas penyelenggara pemilu. []