August 8, 2024

Saan Mustopa: Isu-Isu Krusial di RUU Pemilu

Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai NasDem, Saan Mustopa memaparkan sejumlah isu krusial yang ada di dalam Rancangan Undang-Undang (UU) Pemilu pada diskusi “Kemana Arah RUU Pemilu?” (7/6). Simak selengkapnya dalam format wawancara.

Pemilu selanjutnya akan dilaksanakan pada 2024, namun RUU Pemilu telah mulai dibahas di 2020. Mengapa?

Untuk memberikan kepastian, tidak hanya untuk kelompok kepentingan yang berkepentingan seperti partai, tapi untuk mensonsialisasikan ke masyarakat. Agar ada rentang waktu yang cukup. Karena pengalaman sebelumnya, RUU Pemilu selalu dibahas menjelang dekat-dekat ke pemilu. Kita tidak mau ini kembali terulang.

Kami juga ingin ada waktu yang cukup panjang bagi penyelenggara pemilu untuk menyiapkan turunan dari UU ini. Karena kan banyak hal teknis dan hal teknis juga berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan pemilu.

Memang di 2020 ini kami ada dua prioritas, yaitu RUU Pemilu dan RUU Pertanahan. Kenapa RUU Pemilu jadi prioritas, karena RUU ini akan menggambarkan sistem politik dan demokrasi kita ke depan. Bagaimana sistem politik memberikan transparansi, akuntabilitas, dan memberikan ruang kepada publik yang lebih besar.

Baik. Apa saja yang diatur di RUU Pemilu? Bagaimana desain keserentakkan pemilu pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2020?

Satu hal yang menjadi concern hampir semua fraksi di DPR, tidak ingin memisahkan pemilihan DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Jadi, dari putusan MK itu, pilihannya adalah memilih presiden, DPR, DPD dan DPRD serentak. Baru setelahnya itu, dilakukan pemilihan lokal untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati. Jadi, seperti 2019 lalu. Nah, agar tidak terjadi korban, nanti ada upaya-upaya untuk memperbaikinya.

Sebetulnya, teman-teman di DPR ingin pemilu seperti 2014, pilpres dan pileg dipisah, tapi karena sudah ada Putusna MK, tentu tidak bisa berkreasi di luar itu.

Pilkada, sebagian besar kita ingin pilkada dinormalisais kembali. Misalnya, 2020 tetap ada pilkada, nanti 2025 pilkada lagi. 2022 ada Pilkada, sesai jadwal yang ada. Nanti pilkada juga di 2027. Dan 2023, tetap ada pilkada dan pilkada lagi di 2028. Kalaupun nanti akan diserentakkan di satu hari bersamaan, tidak di 2024, tapi di 2027.

Kenapa di 2027?

Supaya tidak ada masa jabatan kepala daerah yang berkurang. Kita ingi tetap seluruh masa jabatan kepala daerah adalah 5 tahun.

Bagaimana dengan sisttem pemilu pemilihan anggota DPR dan DPRD? Benarkah akan diubah ke proprosional tertutup?

Alternatif masih terbuka, ada beberapa fraksi yang ingin tertutup. PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sudah jelas pengen tertutup. Golkar (Golongan Karya) tertutup, tapi ada ruang untuk menggabungkan sistem varian lain. Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) belum menentukan sikap. Pendukung terbuka, di rapat terakhir tanggal 6 Mei, secara verbal, NasDem, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Demokrat, dan saya yakin PAN (Partai Amanat Nasional).

Kenapa di draf RUU Pemilu 6 Mei tertulis proporsional tertutup?

Draf RUU 6 Mei ini bukan draf final. Draf finalnya nanti, karena kita masih memberikan kesempatan kepada fraksi untuk memberikan sikap resminya melalui pandangan fraksi secara tertulis. Itu akan dimasukkan ke Komisi II tanggal 8 Juni besok. Itu yang akan disesuaikan dengan draf yang sudah ada, dan akan dikirim ke Badan Legislasi untuk diharmonisasi.

Jadi, kemungkinan di draf akan ditulis dua alternatif, terbuka dan tertutup. Kenapa terbuka? MK pada 2009, kan gabungan. Caleg yang mencapai 30 persen BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan), maka dia tidak mengacu nomor urut. Tapi kalau tidak ada calon yang memenuhi BPP, maka ditentukan berdasarkan nomor urut. Nah ini di-judicial review, akhirnya menjadi sistem proporsional terbuka seperti hari ini. Itu salah satu alasan, selain kita ingin menghindari oligarki partai dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengekspresikan kedaulatannya untuk memilih claon-claon terbaik yang diyakini pemilih.

Kalau tertutup, alasannya, salah satunya, memang dalam sistem terbuka, elit partai yang sudah bekerja, dia diberikan nomor urut satu oleh partai, tapi ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh di daerah, mereka kalah. Dan juga ingin memperkuat posisi partai politik.

Berarti masih belum final ya, Pak. Kalau ambang batas parlemen, sudah final dinaikkan menjadi 7 persen?

Belum juga. Ada tiga alternatif. Pertama, 7 persen, berlaku nasional dan daerah. Artinya, jika partai lolos ambang batas parlemen 7 persen di nasional, otomatis di daerah juga lolos.  Alternatif pertama didukung secara verbal, sikap resmi fraksi NasDem dan Golkar.

Kedua, 5 persen untuk DPR RI, 4 persen untuk DPRD provinsi, dan 3 persen untuk DPRD kabupaten/kota. Ini diusulkan oleh PDIP.

Ketiga, 4 persen untuk DPR RI dan 0 persen untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Ini diusung oleh PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PAN, dan PKS.

Apa argumentasi NasDem mendukung ambang batas parlemen 7 persen?

Ya, dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kita kan multipartai ekstrim sehinga proses-proses pengambilan keputusannya menjadi lebih ribet. Yang muncul adalah negosiasi-negosiasi, yang kadang juga dihadapkan pada pilihan-pilihan pragmatis.

Jadi, 7 persen itu upaya untuk melakukan penyederhanaan parpol. Walaupun saya meyakini yang efektif itu bukan melalui parliamentary threshold (PT), tapi melalui besaran dapil (daerah pemilihan). Kalau 3-8, maksimal partai di parlemen ada 7. Jadi, 3-8 itu lebih efektif menyederhanakan partai.

Pilihan besaran dapil 3-8 disetujui semua fraksi?

Tidak, ada dua alternatif. Ada yang masing ingin 3-10, dan ada yang ingin 3-8 untuk DPR RI dan 3-10 untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. 3-8 itu diusung oleh Golkar. PDIP saya rasa tidak keberatan.

Secara politik, sebenarnya NasDem juga tidak keberatan dengan 3-8.Tapi, sikap akhir NasDem besaran dapil seperti hari ini, 3-10 kursi, dan DPRD provinsi juga kabupaten/kota 3-12.

Konversi suara tetap Sainte Lague?

Betul. Tapi angka pembagi pertama, ada yang ingin berubah, dimulai dari 1,5. Ada juga yang maish ingin tetap 1.

Baik. Beralih ke pemilihan presiden. Apakah kemungkinan besar tetap akan diberlakukan ambang batas pencalonan presiden?

Ada yang ingin tetap 20 persen kursi parlemen. Ada juga yang ingin berubah, minimal 10 persen kursi parlemen atau suara sekitar 15 persenan. Semuanya ingin ada threshold.

Pencalonan kepala daerah di RUU Pemilu ditarik ke kursi di DPR RI. Apakah besarannya 20 persen atau dikurangi?

Mungkin saja syarat pencalonan kepala daerah dikurangi. Karena, kalau syarat 20 persen kursi parlemen, itu kadang jadi beban kepala daerah. Karena situasi politik yang prgamatis, tidak gampang Semakin banyak kursi yang diutuhkan untuk mencalonkan, makin banyak juga yang harus dia keluarkan. Jadi, mahar itu masih tetap ada. Jadi, kalau di daerah bisa diturunkan dukungannya, tidak 20 persen. Bisa 10 sampai 15 persen.

Beralih ke desain lembaga penyelenggara pemilu, Pak. Banyak yang mengusulkan badan peradilan pemilu. Bagaimana kemungkinannya?

Ini, waktu Pemilu 2014, saya anggota pansus (panitia khusus) RUU Pemilu. Kita sudah usul peradilan khusus pemilu. Tapi waktu itu MA (Mahkamah Agung) masih belum mau, masih keberatan. Akhirnya diberikan ke Bawaslu. Mungkin untuk 2024, kita akan coba lagi.

Untuk DKPP?

DKPP belum kita diskusikan. Nanti akan kita diskusikan, kita undang DKPP.

KPU, apakah ada modernisasi?

Ada itu. Melakukan modernisasi di dalam pemilu, kita masukkan soal informasi teknologi di RUU Pemilu. Tentang e-rekap, sebagian besar memang ingin itu dimasukkan ke dalam RUU Pemilu.

Terakhir Pak, soal keterwakilan perempuan. Kawan-kawan perempuan mengusulkan 30 persen perempuan ditempatkan di nomor urut 1. Apakah akan dikabulkan?

Affirmative action tetap jadi concern kita. Cuma begini, mungkin untuk DPR RI, walaupun ada kesusahan untuk memenuhi kuota 30 persen di setiap dapil dan ditempatkan di nomor urut 1 atau di nomor urut jadi, tapi untuk level level DPRD provinsi dan kabupaten/kota, itu susah sekali mencari perempuan. Akhirnya, banyak yang memilih yang penting ada. Untuk Pemilu 2009 yang lalu, untuk cari perempuan di 6 dapil di Kabupaten Karawang, sudah kita publikasikan secara terbuka agar perempuan bisa mendaftar, itu susah sekali. Pengalaman  2019 lalu, untuk isi 15 dapil di Jawa Barat susahnya setengah mati juga.

KPU kan kemarin menarik 30 persen perempuan di dapil dengan pembulatan ke atas. Misal, alokasi 7 kursi. Perempuan harusnya 2, tapi jadi 3 karena ditarik ke atas. Itu mencarinya tidka gampang.

Tapi, tetap affirmative action jadi komitmen partai untuk memberikan ruang seluas-luasnya bagi perepuan untuk terlibat dalam proses politik.