Ekonomi kerakyatan itu bukan pasar rakyat. Juga bukan ekonomi sapu lidi, ekonomi bambu-bambu yang belakangan disebut ekonomi kreatif itu. Ekonomi rakyat itu mengharuskan negara menguasai kekayaan alamnya sendiri untuk kemakmuran rakyat, bukan diserahkan kepada pasar (liberal). Demikian disampaikan pengamat ekonomi politik dari Institute Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng.
Daeng, panggilan akrabnya, mengkritisi visi dan misi, rekam jejak, dan kualitas debat di bidang ekonomi dari kedua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu 2014 ini. Berikut wawancara khusus rumahpemilu.org dengan Salamuddin Daeng yang menjabat Program Officer Study and Publication di IGJ itu.
Apa yang menjadi tantangan presiden terpilih nanti dalam menjalankan kebijakan ekonomi Indonesia yang berjalan sampai saat ini?
Kondisi objektif ekonomi Indonesia saat ini sudah hampir seratus persen terjerat gurita ekonomi politik liberal. Sistem ekonomi liberal/kapitalis dalam sejarahnya kemudian mewujud menjadi neoliberalisme, mengandalkan pengelolaan ekonomi diatur kekuatan pasar. Sistem ekonomi ini menghendaki kebebasan individu melakukan kegiatan ekonomi. Mereka bebas bersaing. Di lain pihak, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi.
Sejak krisis moneter 1998, pemerintah Indonesia aktif melakukan reformasi sistem ekonomi dan politik agar sejalan dengan rezim ekonomi internasional. Sejalan dengan itu, pemerintah telah menandatangani berbagai perjanjian internasional yang berkaitan dengan liberalisasi perdagangan.
Prinsip-prinsip yang diatur dalam rezim perdagangan internasional, seperti World Trade Organization (WTO) diadopsi ke dalam undang-undang. Begitupun dengan hasil perjanjian internasional, seperti Free Trade Agreement (FTA), Bilateral Investment Treaties (BIT), dan rezim keuangan lainnya. Setidaknya, ada 67 produk perjanjian investasi internasional yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia.
Belum lagi perjanjian antara Indonesia-European Union (EU) yang disebut CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement). Perjanjian ini meliputi isu investasi, perdagangan, jasa, dan Intelectual Property Right (IPR). Bagi IGJ, perjanjian ini bentuk penyerahan kedaulatan Indonesia kepada rezim internasional yang melegalisasi penyelesaian konflik akibat ketidakadilan ekonomi yang terjadi pada keputusan hukum internasional.
Infiltrasi peraturan ekonomi internasional ke dalam UUD dan peraturan perundang-undangan di Indonesia melibatkan perusahaan multinasional (TNC/MNC), lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia), dan negara-negara maju. Dukungan semua aktor internasional itu bersifat langsung dalam bentuk dukungan anggaran dan utang. Dukungan tidak langsung dalam bentuk komitmen investasi dan perdagangan.
Siapapun presiden terpilih akan berhadapan dengan sistem ekonomi liberal ini. Pertanyaannya, apa pemerintahan baru nanti tetap menjalankan agenda ekonomi politik internasional atau banting setir menjalankan ekonomi kerakyatan sebagaimana slogan kampanye kedua calon presiden (capres) yang berkontestasi di Pemilu 2014 ini?
Apa konsekuensinya mengadopsi ekonomi liberal yang akan dihadapi pemerintahan baru nanti?
Dengan menandatangani berbagai penjanjian ekonomi internasional, Indonesia tidak mudah lepas dari isi perjanjian itu. Jika terjadi sengketa antara perusahaan asing yang menguasai sumber daya alam dengan pemerintah, penyelesaiannya harus melalui arbitrasi internasional, ke pengadilan sengketa internasional. Kekuatan hukum itu mengikat kita. Kedudukannya setara dengan seluruh produk perundang-undangan di Indonesia.
Kita sudah mengamandemen UUD sebanyak empat kali. Amandemen itu mengarahkan ekonomi dan politik kita menjadi liberal. Pasal-pasal yang diamandemen itu menjadi jantungnya masalah ekonomi. Termasuk, pasal mengenai kewenangan lembaga negara, seperti pasal yang mengatur kewenangan Bank Indonesia.
Kita tak lagi memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai koridor pembangunan yang dijalankan pemerintah. GBHN ini sebenarnya turunan dari Pancasila dan UUD 1945 yang memproteksi sumber kekayaan alam negara kita. Sebaliknya, sampai saat ini, pemerintah terus saja memperpanjang kontrak perusahaan asing atas penguasaan sumber daya alam dalam jangka panjang. Terjadi sejak dari hulu (kontrak karya), kontrak produsen migas, kehutanan, hingga hilir (industrinya).
Kita sulit keluar dari sistem ekonomi politik liberal saat konstitusi kita, undang-undang, dan seluruh peraturan pelaksanaannya sudah didesain sejalan dengan liberalisasi. Hal itu membuat kekuasaan perusahaan multinasional begitu besar karena memiliki dokumen kontrak dan seringkali kita tidak dapat membatalkannya karena akan berujung pada sengketa.
Mencermati visi dan misi, rekam jejak, dan kualitas debat capres soal kebijakan ekonomi Indonesia, bagaimana menurut anda?
Tidak ada yang luar biasa dari visi dan misi serta penampilan debat mereka di bidang ekonomi. Isu yang diangkat masalah umum, normatif, keduanya tidak jauh beda. Yang satu mengusung ekonomi kerakyatan, satunya ekonomi berdikari. Mestinya, mereka merespon kondisi ekonomi liberal yang berpengaruh besar pada kehidupan keseharian rakyat. Ada tiga hal pokok yang harus diuji komitmen mereka saat berhadapan dengan perjanjian internasional.
Pertama, bagaimana para kandidat memandang perjanjian internasional, akan membatalkan atau mengevaluasinya? Kedua, apa yang akan dilakukan atas undang-undang yang pro liberal, akan membatalkan atau mengevaluasinya? Terakhir, soal kontrak-kontrak Indonesia dengan pihak luar, seperti kontrak investasi sumber daya alam, kontrak kerja pertambangan batu bara, Hak Penguasaan Hutan, dan kontrak penjualan sumber daya alam ke luar negeri, apa yang akan dilakukan para capres?
Di dalam debat di bidang ekonomi, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak nampak. Slogan nasionalisasi dan normalisasi aset yang terlihat dalam visi dan misi kedua kubu, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, terkesan janji manis belaka. Tidak ada yang konkret mengarah ke kebijakan ekonomi strategis ke depan. Mereka dan orang-orang di sekitarnya para pebisnis, paham betul soal ini. Tinggal mau atau tidak mengedepankan kepentingan bangsa.
Kita cermati satu per satu secara objektif. Prabowo pernah mengusung nasionalisasi dalam bentuk penyelamatan kebocoran hasil kekayaan ke luar negeri dan renegoisasi kontrak sumber daya alam terhadap perusahaan asing. Kedua hal itu tidak cukup, juga tidak konkret. Masih bersifat moderat. Tidak mencerminkan tujuan dari nasionalisasi itu sendiri.
Tantangan berat akan dihadapi Prabowo dan Hatta menjalankan penyelamatan kebocoran dan renegoisasi. Langkah mereka akan berbenturan dengan perjanjian internasional, undang-undang penanaman modal, dan banyak peraturan lainnya. Sekalipun, Hatta Rajasa pernah berperan mengeluarkan UU Minerba (mineral dan batu bara).
UU Minerba ini cukup membuat panas dunia internasional. Jika dijalankan dengan baik, undang-undang ini mewajibkan perusahaan asing membangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian) dan membayar bea ekspor tinggi. Hal itu membuat rezim ekonomi internasional sempat mengatakan, ‘Indonesia menuju kepada Proteksionisme dan Nasionalisme’.
Meski demikian, saat menjabat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa mengeluarkan kebijakan MP3I (Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia). MP3I ini bentuk kamuflase kapitalisme, dimana gerak modal akan mengalir deras ke Indonesia atas nama percepatan pembangunan, terutama daerah-daerah yang dirasa masih tertinggal. Banyak kebijakan lainnya yang pro ekonomi pasar.
Selain itu, Prabowo sempat mengatakan akan membuka lebar investasi asing. Hal itu sah-sah saja. Asal hanya untuk sektor yang tidak bisa kita lakukan. Misalnya, di sektor yang membutuhkan teknologi tinggi dan science, seperti tenaga nuklir. Tetapi, terhadap sektor-sektor lain yang bisa kita jalankan, harus menggunakan modal, perusahaan, infrastruktur, dan tenaga kerja nasional.Â
Bagaimana dengan visi dan misi ekonomi Joko Widodo dan Jusuf Kalla?
Soal nasionalisasi, kubu Jokowi-JK punya dosa masa lalu. PDIP, partai pengusung utama Jokowi, saat dulu berkuasa, menjual gas murah ke Cina. Lebih dari itu, penguasaannya tidak lagi dikuasai negara, tetapi jatuh ke tangan Britis Petroleum, konsorsium dengan Cina. Belum lagi, saat Presiden Megawati berkuasa saat itu, privatisasi BUMN dilakukan. Salah satunya menjual Indosat ke asing. Hal itu kontraproduktif dengan nasionalisme.
Banyaknya kontrak-kontrak sumber daya alam yang dilakukan Presiden Megawati saat itu, didiamkan saja oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak ada inisiatif renegoisasi hingga saat ini. Jika, PDIP kembali berkuasa, mereka harus membeli Indosat kembali. Istilahnya mengaku dosa. Lalu, mengubah orientasi berkuasa mereka ke nasionalisme yang sesungguhnya.
Jokowi tidak berdiri sendiri. Ada Jusuf Kalla di sampingnya. Sama seperti Jokowi yang melakoni bisnis sejak muda, Jusuf Kalla ini tipikal pedagang. Ia juga bagian dari masa lalu saat mendampingi SBY. Ia pendukung keras kenaikan harga BBM. Lingkaran bisnisnya begitu luas. Ia melakukan bisnis listrik dan gas, berpotensi menjadi insider trading. Jika terpilih nanti, ia kembali menjadi wakil presiden yang memiliki akses terhadap proyek-proyek negara untuk yang bisa saja meluaskan bisnisnya.
Jusuf Kalla tidak pernah punya perspektif nasionalisme. Kita objektif saja. Saya tidak pernah dengar gagasan nasionalisme, seperti kita akan menasionalisasi semua perusahaan asing. Murni berorientasi bisnis.
Kesimpulannya, dalam nasionalisasi dan normalisasi aset, keduanya tidak memiliki gagasan kuat soal kedua itu. Mereka juga belum memahami benar soal ancaman ekonomi liberal dan langkah apa yang dibutuhkan dalam menjalankan ekonomi kerakyatan sebagai penangkalnya. Bahaya jika mereka hanya berorientasi pada kekuasaan, bukan kemerdekaan seperti para pendiri negara kita.
Bicara nasionalisme dalam kebijakan ekonomi, tidak ada satupun capres dan cawapres yang berani mengusung akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang menguasai kekayaan alam kita. Janji kampanye itu harus jelas dan dapat diukur. Misalnya, renegoisasi dengan Freeport dan Newmont dalam rangka menguasai 50 persen sahamnya.
Ukuran nasionalisme semestinya sampai pada tahap itu. Hanya dengan itu, distribusi hasil kekayaan alam kita dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Selain sumber daya alam kita terjaga.
Konsep ekonomi kerakyatan atau berdikari menjadi janji manis mereka ke rakyat. Bagaimana anda menyoroti konsep ekonomi kerakyatan dari kedua capres ini?
Mereka kurang memahami konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi berdikari atau apapun istilah yang mereka gunakan. Ekonomi kerakyatan itu sejalan dengan nasionalisme. Langkah ekonomi yang membutuhkan orientasi dan kebijakan strategis dimana kedaulatan ekonomi ada di tangan Indonesia sendiri.
Pemaparan visi dan misi serta jejak rekam mereka belum ada yang memenuhi konsep ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan itu bukan pasar rakyat. Pemerintah akan membangun pasar-pasar tradisional untuk rakyat. Cek pasar-pasar kita sekarang, semua barang buatan China. Mestinya, mengakomodir produksi UKM dan BUMN kita.
Juga bukan membangun infrastruktur bersifat sosial, seperti pembuatan kartu sehat dan pintar, E Government, dan pembangunan tol laut. Hal itu mudah dilaksanakan. Kapitalis juga membangun infrastruktur seperti itu, tetapi belum tentu berorientasi pada kesejahteraan, kemanusiaan, dan nasionalisme.
Lagipula, program-program sosial merupakan konsep cash transfer Bank Dunia sama seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai). Program semacam itu tidak membangun produktivitas rakyat. Apalagi, semua dana yang digunakan bersifat utang. Sama halnya dengan program normalisasi seluruh sungai di Jakarta, biayanya bersifat utang dari Bank Dunia.
Bagaimana kita mengukur ekonomi rakyat, jika mega proyek kota-kota besar saja tidak pernah menyerap sumber daya nasional. Ambil contoh tiga mega proyek di DKI Jakarta, yakni transportasi massal Trans Jakarta, monorail, dan MRT (Mass Rapid Transit). Tiga proyek itu tidak mencerminkan nasionalisme dan ekonomi kerakyatan.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo mengimpor 4.000 unit bus Trans Jakarta dari China. Dilihat dari sudut pandang nasionalisme, impor itu salah. Sejumlah 4.000 unit itu banyak sekali. Meski mahal sedikit, buatan dalam negeri itu tidak masalah karena dapat menyerap banyak tenaga kerja, membangun industrinya, ada pabriknya, dan menghidupi banyak warga.
Kedua, proyek monorail juga dikerjakan seratus persen oleh China, mulai dari bahan baku, barang modal, sampai tenaga ahli. Begitupun, mega proyek MRT, seratus persen dikerjakan oleh perusahaan Jepang. Hal itu menunjukan orientasi manajemen pedagang, bukan orientasi ekonomi strategis. Menjadi pembelajaran penting bagi kita membangun infrastruktur dari negeri sendiri.
Bagaimana membangun ekonomi kerakyatan?
Dasar pembangunan ekonomi kita awalnya ekonomi kerakyatan, tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Ketika Pancasila dan UUD 1945 itu dibubarkan, hilanglah ekonomi karakyatan itu. Tertera jelas di dalam Pasal 33 UUD 1945, bunyinya, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Ini konsepsi ekonomi kerakyatan.
Dilanjutkan dalam pasal itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup hajat orang banyak dikuasai negara. Kemudian ayat berikutnya, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sudah terlihat jelas dasar negara kita mengadopsi ekonomi kerakyatan.
Jadi, konsep ekonomi kerakyatan itu mengharuskan negara menguasai cabang-cabang produksi dan kekayaan alam. Bukan, melepas dan menjualnya ke swasta dan perusahaan asing. Setelah negara menguasainya, produksi nasional digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Caranya, nasionalisasi perusahaan asing, upah buruh yang tinggi, produktivitas tinggi di sektor pertanian, dan pembangunan industri dimana-mana yang ditopang azas kekeluargaan.
Ada singgungan ekonomi kreatif dalam pemaparan visi dan misi mereka, apa itu konsep baru dalam ekonomi?
Semua kegiatan ekonomi sejak dulu memang harus kreatif. Tidak ada hal yang baru. Ada kreatifitas dalam produksi, tetapi bukan konsepsi ekonomi kreatif. Tidak bisa menyerderhanakan ekonomi kreatif itu dengan ekonomi sapu lidi, bambu-bambu, berupa kerajinan tangan, kemudian menjadikannya konsep ekonomi mainstream.
Pemerintah memang perlu mendorong kreatifitas warga. Sehingga, mereka punya partisipasi di segala bidang. Tetapi, bukan bentuk politik tidak ada rotan akar pun jadi, politik orang menyerah. Karena tidak bisa menguasai tambang yang sudah dikuasai asing, ya sudahlah kita bangun ekonomi yang kreatif-kreatif saja.
Salah satu yang membuat Indonesia tidak berdaulat di bidang ekonomi karena jerat utang internasional yang begitu besar. Bagaimana mengkritisi pandangan mereka soal utang ini?
Pernyataan kedua kubu itu tak pernah jelas soal utang. Sumir. Kalau dari pengalaman, ketiga proyek besar di Jakarta itu dan proyek lainnya didapat dari utang Bank Dunia dan negara-negara lain. Jumlah utang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat Jokowi menjadi Gubernur sampai saat ini sebesar 35 triliun rupiah.
Bahkan, Pemprov DKI telah menetapkan Rencana Induk Metropolitan Priority Area hingga tahun 2020 sebesar 3,4 triliun yen atau 394 triliun rupiah. Modal pinjaman itu bersumber dari International Cooperation Agency (JICA) yang dikemas dengan Public Private Partnership.
Begitupun proyek sosial, seperti Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, penyelesaian banjir, dan pengerukan sungai-sungai di Jakarta. Semua proyek asing ada di Jakarta. Jakarta sudah tergadai pada asing.
Sementara utang Indonesia di pemerintahan SBY, dimana Hatta Rasaja sebagai Menko Perekonomian, pada tahun 2013 ini saja mencapai 2.015 triliun rupiah. Sebanyak, 808,76 triliun rupiah utang berasal dari dalam negeri dan sebesar 1.206 triliun rupiah utang dari luar negeri. Hal itu membuat ekonomi Indonesia terancam bangkrut.
Demi kesejahteraan dan keadilan sosial, tren ke depan, apa kedua capres ini berani lepas dari kebijakan ekonomi liberal?
Jika melihat konstruksi undang-undang sekarang, mereka akan ikut di atas jalur itu. Lembaga eksekutif itu ibarat supir yang harus mengendarai model kendaraan yang sudah ditentukan berbentuk liberal. Jika mereka harus belok, mereka akan banting stir, mereka harus mendorong kembalinya konstitusi awal dan undang-undang lainnya terlebih dahulu. Inisiatif itu bisa dilakukan presiden maupun para legislator atau koalisinya.
Tidak mudah jalan nasionalisme yang ditempuh pemerintah ke depan. Tantangan terberat berasal dari dunia internasional. Mereka tidak pernah membiarkan pemerintahan itu berlangsung lama. Pemerintah yang mengedepankan ekonomi rakyat harus berani menghadapi segala tantangan itu.
Kecenderungan adanya polarisasi dukung mendukung, bahkan dari kelompok masyarakat sipil yang dulu mengkritis banyak kebijakan publik. Bagaimana anda melihatnya?
Mereka menunjukan gejala dukungan emosional-subjektif. Tidak bisa diubah dengan hadapan logika. Dukungan mereka sangat ditentukan subjektifitasnya, hanya like dan dislike. Tidak mau lihat fakta-fakta lain. Pokoknya si anu presidenku. Tidak mau dipengaruhi. Tidak ada kritik dan otokritik.
Kedua, emosional, berkaitan dengan hubungan emosi di antara orang-orang, dipengaruhi faktor kedekatan. Situasi emosional menentukan dukungannya. Bukan rasional. Di negara-negara maju, masyarakatnya cenderung relatif rasional dalam menentukan kandidat pilihannya dalam pemilu. Sebaliknya, di sini lebih irasional. Mereka tidak melihat secara kritis orientasi yang menjadi latar belakang visi dan misi, jejak rekam, dan konsep visi dan misi capres dan cawapres itu.
Dalam situasi dukungan emosional-subjektif ini, muncul potensi konflik besar. Yang kalah pasti tidak akan bisa menerima kekalahannya. Yang menang pasti akan menggunakan akses kekuasaaan dan kapasitas sumber daya untuk memperbesar kekuatan kelompoknya. Tidak ada yang mengedepankan kepentingan negara.
Kita mengharapkan pemimpin yang ikhlas menjalankan pemerintahannya. Pemimpin yang berani mengedepankan kepentingan bangsanya sekalipun mengancam raganya. Sekalipun mungkin usia pemerintahannya tidak lebih dari satu tahun karena diserang oleh kekuatan internasional. [HS]