August 8, 2024

Sengkarut Jadwal Pilkada

DPR akhirnya mengesahkan UU Pilkada hasil revisi kebut dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Pengaturan jadwal yang diusulkan pemerintah jadi bopeng bagi upaya menata sistem dan penyelenggaraan pemilu kita.

Senyum Tjahjo Kumolo merekah usai lobi panjang sehari semalam itu berbuah hasil. Pada Sabtu (14/2) menjelang magrib, DPR setuju usul pemerintah soal jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Desember 2015. “DPR menghargai kalau pemerintah bertahan pada opsinya,” kata Menteri Dalam Negeri itu.

Pengaturan jadwal yang dibahas dalam rapat panitia kerja itu kemudian benar-benar tertuang pada UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU No. 1/2015). Undang-undang yang pada akhirnya disahkan 17 Februari itu mengatur jadwal Pilkada serentak sebagaimana diusulkan pemerintah: dilakukan dalam tiga gelombang.

Pertama, Pilkada di Desember 2015 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir di tahun 2015 dan semester pertama 2016. Kedua, Pilkada di Februari 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir di tahun 2017 dan semester kedua 2016. Ketiga, Pilkada di Juni 2018 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir di tahun 2018 dan 2019. Sementara Pilkada serentak nasional digelar tahun 2027.

Jadwal itu tentu bertele-tele dan tak selaras dengan mimpi menata siklus pemilu lokal serentak yang berjarak dua tahun dengan pemilu nasional serentak. Jarak dua tahun hingga dua setengah tahun antardua pemilu ini sebetulnya adalah yang paling pas: pemilih tak jenuh dan lebih rasional menilai kinerja partai.

Upaya ini sebetulnya bisa dicapai dengan menyelenggarakan Pilkada serentak nasional pada tahun 2021, dua tahun usai pemilu serentak 2019. Sementara penyelenggaraan Pilkada 2016 bisa jadi embrio bagi pengaturan jadwal yang diyakini mampu mengatasi pemerintahan terbelah secara horizontal dan pemerintahan terputus secara vertikal.

Pemerintah ngotot

Pemerintah memang gencar menggalang dukungan untuk merealisasikan pengaturan jadwal di 2015. Tak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi meminta Pilkada serentak digelar September 2015. Hal itu disampaikan Menteri Tjahjo usai menghadap presiden di Istana, Rabu (4/2).

Keinginan presiden, yang sama sekali tak dikoreksi Tjahjo, ini menyiratkan menyusupnya kepentingan partai untuk memenangkan Pilkada serentak nanti. Kemenangan Jokowi di Pilpres diyakini akan berefek pada kemenangan kepala daerah yang diusung PDIP. Jadwal di 2015 dipilih untuk tidak melunturkan pengaruh positif ini.

Presiden Jokowi juga memanggil jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Istana (10/2). Jokowi menyampaikan keinginannya menggelar Pilkada di 2015. Gayung bersambut, KPU mengiyakan saja pinta presiden yang terasa janggal di tengah usulan banyak pihak untuk mengundur jadwal Pilkada serentak ke 2016. “Kami siap menjadi penyelenggara Pilkada serentak. Pemilihan nasional saja siap, apalagi yang daerah,” tutur Husni Kamil Manik, Ketua KPU, usai rapat itu.

Tak henti di situ, Fraksi PDIP juga terekam getol menyuarakan pengaturan jadwal ini di DPR. Di rapat maraton panitia kerja UU Pilkada, Tjahjo tetap ngotot mempertahankan Pilkada serentak 2015 tak dihapus. “Boleh lah Pilkada di 2016, asal Pilkada 2015 tak dihilangkan. Tjahjo keukeuh meminta itu. Ngotot banget,” kata A. Malik Haramain, anggota Komisi II dari PKB, saat ditemui usai rapat paripurna (17/2).

KPU kena batunya

Sikap KPU, yang selalu percaya diri dengan bilang siap kapanpun Pilkada digelar, terasa abai pada kompleksitas penyelenggaraan Pilkada serentak. KPU mestinya sadar akan mepetnya waktu dalam mempersiapkan pengalaman pertama menyelenggarakan Pilkada serentak. Butuh waktu untuk penyusunan peraturan teknis, perencanaan, penganggaran, dan persiapan operasional lain.

Pilkada yang dilaksanakan Desember memunculkan konsekuensi jadwal tahapan yang mesti dimulai sejak Juli. Praktis, KPU hanya punya waktu mepet empat bulan dalam membuat peraturan KPU dan mensosialisasikan materi baru yang diatur undang-undang. “Untuk sosialisasi aturan dalam Pileg saja dibutuhkan waktu setahun. KPU hanya punya waktu dari Maret hingga Juni,” tegas Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

KPU juga mesti berhadapan dengan kendala distribusi logistik di musim hujan dan gelombang tinggi di laut. Cuaca ekstrim bulan Desember memaksa KPU untuk bekerja lebih keras. Gelombang 3-4 meter di laut akan memaksa perahu untuk tak berlayar. Karena ini, datangnya logistik berpotensi telat sampai tujuan.

Pemungutan suara di Desember juga tidak ramah bagi pemeluk agama Kristen dan Katolik. Pemungutan suara akan berbenturan dengan ibadah. Di beberapa daerah di timur Indonesia, ibadah Natal sudah dimulai sejak awal bulan hingga puncaknya 25 Desember.

Belum lagi, di beberapa daerah, anggaran untuk Pilkada belum pasti mendapat biaya yang cukup. Di beberapa daerah pemekaran, KPU juga belum terbentuk. Deteksi soal ini akan menambah beban berat KPU.

Jika KPU sadar akan kompleksitas ini, ia tentu akan memilih waktu yang lebih luang untuk mempersiapkan dan merencanakan kesuksesan Pilkada serentak pertama di Indonesia. Jika KPU juga menyertakan perspektif yang peka terhadap perkembangan demokrasi, ia tentu akan memilih jadwal yang tepat bagi siklus pemilu ideal dan rekayasa sistem pemerintahan efektif.

KPU sebetulnya memegang peran penting dalam penentuan jadwal pilkada serentak ini—lebih dari sekadar penyelenggara. []

MAHARDDHIKA
pegiat rumahpemilu.org