Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, draf revisi undang-undang pemilu telah selesai dikerjakan (16/4). Informasi ini menimbulkan banyak perhatian, salah satunya mempertanyakan pilihan sistem pemilu legislatif. Para pemerhati sistem pemilu berharap apa yang dievaluasi dari Pemilu 2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi dipertimbangkan undang-undang prioritas 2020 ini.
“Draft-nya sudah ada tapi tentu saja masih bisa berubah,” kata pemerhati sitem pemilu, Didik Supriyanto sebagai narasumber dalam Kelas Virtual Pemilu Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) pada 17 April.
Sebelumnya, dalam kuliah bertema “Sejarah Pemilu Indonesia” itu, Didik menjelaskan, sejak Pemilu 1955 sampai 2024, Indonesia selalu menerapkan sistem pemilu proporsional. Sesekali memang ada keinginan mengubah sistem pemilu menjadi sistem pluralitas/mayoritas (biasa disebut sistem distrik) seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, tapi keinginan ini selalu kalah dengan realitas politik Indonesia yang majemuk.
“Pilihannya akan kembali, mau proporsional terbuka atau tertutup?” tanya Didik.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil yang juga sebagai narasumber kelas virtual mengingatkan, sistem pemilu dalam dinamika sejarah berkaitan dengan sistem pemerintahan. Menurut Manajer Program Perludem ini, kemajukan ideologi partai politik pasca-Pemilu 1955 sebetulnya coba difasilitasi sistem parlementer tapi sayangnya Soekarno mengubah capaian ini dengan Demokrasi Terpimpin.
Saat Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial, pilihan sistem pemilu proporsional menghadapi tantangan lebih besar. Sistem pemilu proporsional dengan besaran daerah pemilihan lebih dari enam kursi selama ini membuat presiden terpilih sulit bekerja efektif merealisasikan janji pemilunya. Apalagi dengan perpaduan proporsional daftar terbuka yang diterapkan selama ini.
Peneliti pemilu, Jennifer Frentasia mengingatkan, pilihan sistem proporsional terbuka dengan pilihan caleg yang sangat banyak akan berdampak pada surat suara amat kompleks yang membingungkan pemilih. Bagi kandidat Ph.D dari Department of Political Science, University of Michigan (US) ini, sebaiknya rekaya sistem pemilu mempertimbangkan ini karena juga mendorong partai politik banyak mengisi daftar caleg meskipun kecil peluang meraih kursi.
“Saya sedikit penasaran kenapa tiap partai harus banyak calonnya, sedangkan kemungkinan menang kursinya sebenarnya cuma satu atau dua kursi per dapil. Terlalu banyak calon ‘fillers’ yang sebenarnya tidak ada potensial utk menang, tapi menjadi distraksi di kertas suara,” jelas Jennifer Frentasia.
Peneliti dinasti politik, Yoes C. Kenawas mengingatkan keadaan penerapan sistem proporsional terbuka dengan politik dinasti. Kandidat Ph.D dari Northwestern University (US) ini membandingkan penerapan sistem proporsional tertutup saat Orde Baru dengan proporsional terbuka pasca-Reformasi yang menyertakan fenomena menguatkan politik dinasti.
Dahulu, sistem proporsional tertutup pemilihannya sering disebut “membeli kucing dalam karung”. Jika masalah sistem proporsional tertutup adalah ini, bisa diatasi dengan partai politik yang menyampaikan daftar calegnya ke publik melalui sosialisasi atau kampanye.
Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini menduga pilihan sistem pemilu akan berlarut-larut. Biasanya ini membentuk kutub proporsional terbuka dan kutub proporsional tertutup. Yang setuju proporsional tertutup harus menyadari oligarki, dinasti politik, dan buruk kaderisasi masih jadi kritik kuat. Yang setuju proporsional terbuka pun harus menyadari kalau kursi banyak per dapil berdampak pada kompleksitas teknis bagi penyelenggara dan pemilih serta gagalnya tujuan penyederhanaan partai parlemen dalam sistem presidensial.
“3-6, 3-5, atau 2-5 kursi per dapel bisa jadi pilihan. Terlalu banyak calon, kasihan bagi pemilih,” kata Titi. []
USEP HASAN SADIKIN
*Unduh dokumen resume RUU Pemilu: