Sistem pemilu terbuka terbatas, jika ditetapkan jadi pasal dalam UU Pemilu, berpotensi dibatalkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Substansi formula penetapan calon terpilih pada sistem terbuka terbatas sama dengan sistem yang pernah dibatalkan oleh MK.
“Itu substansinya sama dengan apa yang dibatalkan oleh MK. Buat saya, ini kalau di-judicial review, kira-kira sama dengan yang diputusan MK sebelumnya,” kata Fandi Utomo, anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Demokrat pada saat diskusi di Jakarta (12/5).
Pada Desember 2008, MK mengeluarkan putusan No. 22—24/PUU-VI/2008 terhadap uji materi Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008. Putusan menegaskan, pasal tersebut inkonstitusional karena memuat standar ganda penetapan calon terpilih. Ketentuan pasal tersebut menyebut dua formula penetapan calon terpilih: berdasarkan nomor urut atau suara terbanyak.
Jika calon memperoleh suara 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP), penetapan calon terpilih dilakukan dengan melihat suara terbanyak. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Substansi sistem yang dibatalkan ini dinilai serupa dengan sistem terbuka terbatas yang sedang digodok di Pansus. Dalam sistem terbuka terbatas, jika pemilih di daerah pemilihan lebih banyak memilih lambang partai, pemenang pileg ditetapkan lewat nomor urut caleg (sistem tertutup). Namun, kalau yang lebih banyak dipilih adalah caleg, yang mendapatkan kursi di dapil itu adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak itu (sistem terbuka).
“Kalau mau terbuka tidak usah dibatasi 30 persen (dari BPP), komparasi suara partai dengan caleg,” tandas Fandi.