Efisiensi anggaran, efisiensi sosial, efektivias pemerintahan menjadi salah satu landasan lima dari enam fraksi di Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah. DPR mengusulkan kepala daerah kembali dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sri Budi Eko Wardani, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, tak menemukan titik kuat di antara alasan tadi. Ia justru berpendapat pilkada oleh DPRD tak mengubah apa-apa, kecuali merenggut partisipasi politik masyarakat di daerah. Berikut petikan wawancara rumahpemilu.org dengan Sri Budi Eko Wardani melalui telepon, Kamis (4/9).
Bagaimana Anda menilai pergantian mekanisme pilkada langsung menjadi pilkada oleh DPRD?
Kita tak melihat alasan kuat di balik kemungkinan DPR untuk mencabut pemilihan langsung dan diganti oleh DPRD. Membuat kebijakan tidak bisa asal untuk kepentingan jangka pendek atau kepentingan politik tertentu. Kita sudah memastikan atau memberikan kebijakan di tahun 2004 dengan pilkada langsung lalu infrastrukturny sudah diatur. Lalu sekarang, dikatakan gagal atau bagaimana? Sehingga kemudian DPR atau pansus punya usul untuk mengembalikan supaya DPRD yang memilih seperti yang berlaku di tahun 1999. Kita harus lihat dulu akar masalahnya hingga mereka ingin memindahkan pemililhan ke DPRD. Itu yang harus clear dulu.
Maraknya konflik sosial akibat pilkada langsung jadi salah satu pertimbangan…
Selama 2005 sampai sekarang, berapa persen terjadi kekerasan atau konflik disebabkan pilkada langsung? Saya pikir sangat kecil. Karena umumnya berlangsung dengan baik pelaksanaannya. Sedikit konflik antar pendukung sehingga menyebabkan kerusuhan. Dari sisi itu, rakyat sudah bisa memilih dengan damai.
DPR juga menganggap pilkada oleh DPRD lebih efisien. Tanggapan Anda?
Kalau biaya ini, kita harus lihat dulu. Biaya yang mana? Ada biaya yang dikeluarkan oleh anggaran daerah untuk pelaksanaan dan juga biaya dari si kandidat. Harus dipisahkan ini biaya penyelenggaraan dengan biaya kandidat.
Di antara kedua itu, biaya mana yang tak efisien?
Yang disebut biaya tinggi itu biaya yang dikeluarkan kandidat untuk bisa dicalonkan sebagai bakal calon kepala daerah. Biaya untuk mendapatkan koalisi partai dan rekomendasi partai yang sekarang dikatakan sewa perahu. Ini yang banyak dikeluhkan sebetulnya. Misalnya beberapa kepala daerah yang masuk penjara itu memang umumnya karena mereka katakan biaya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah itu sangat besar.
Apakah pilkada oleh DPRD bisa mengefisienkan biaya “sewa perahu†tadi?
Biaya yang dikeluarkan kandidat untuk pencalonan itu, mau dipindah ke DPRD pun itu tetap tinggi juga. Biaya itu menjadi biaya yang menjadi bebannya kandidat. Kalau ditanya berapa biaya dikeluarkan kandidat, mereka bisa katakan puluhan milyar rupiah. Ini jadi tidak masuk akal. Kalau ini tidak dibereskan dalam rekrutmen oleh partainya, dipindahkan ke DPRD kan sama saja persoalannya. Di DPRD juga akan terjadi biaya tinggi dalam hal kandidat transaksi dengan anggota dewan untuk pencalonannya dia.
Solusinya?
Yang penting sekarang sebetulnya kembali lagi kepada partai politik dalam melakukan proses rekrutmen untuk bakal calon ini. Kalau masih transaksional dan tidak memerhatikan kinerja, ya begitu akhirnya. Biaya tinggi itu tetap ada.
Selain efisiensi pembiayaan dan sosial, efektivitas pemerintahan jadi landasan perubahan mekanisme pilkada ini…
Sebetulnya, kita punya pengalaman tahun 1999 sampai 2000, kalau itu menjadi acuan kita. Kepala daerah dipilih DPRD. Yang terjadi adalah kepala daerah tidak juga bisa bekerja efektif karena diganggu juga oleh DPRD. Relasi kekuasaan DPRD dengan kepala daerah menjadi tidak seimbang. Karena DPRD bisa sewaktu-waktu saja memberhentikan atau menggangu kepala daerah yang sumber kekuasaannya berasal dari DPRD. Kita coba buka waktu 1999 sampai 2000, berapa banyak terjadi konflik antarlembaga, DPRD, ketua DPRD dengan kepala daerah terkait dengan kepentingan politik. Sama saja.
Berarti, pilkada oleh DPRD tak menjamin efektivitas pemerintahan bisa berubah?
Saya tak tahu nanti desainnya bagaimana. UU pilkada dan UU Pemda kan jadi beda nanti. UU Pemda sekarang yang berlaku kan DPRD tidak bisa memecat kepala daerah. Kepala daerah itu posisinya setara dengan DPRD. Dalam konteks DPRD dengan kepala daerah sebetulnya ya hubungannya hanya koordinasi.
Peran pusat dalam mengevaluasi Perda sangat besar. Sekalipun satu draft perda disahkan DPRD, Perda itu harus dievaluasi oleh pemerintahan di atasnya. Kita bangunannya sistem kesatuan. Jadi lagi-lagi sebetulnya sifatnya hanya koordinasi saja. Tidak menjamin efektivitas itu. Data selama ini menunjukkan bahwa mayoritas usulan Perda itu berasal dari pemerintah daerah. Jadi, kepentingan pemerintah daerah eksekutif sangat dominan dalam pembahasan rancangan Perda, termasuk APBD. Saya belum melihat bagaimana itu bisa menggangu efektivitas kalau bangunannya seperti yang ada sekarang.
Dengan adanya kewenangan DPRD memilih kepala daerah, ada anggapan ia juga berwenang memberhentikan. Tanggapan Anda?
Ini kan masih rancu semuanya. Kalau bangunannya kembali ke yang mengangkat DPRD dan yang bisa memberhentikan juga DPRD, ini bisa digunakan untuk kepentingan jangka pendek. Ini yang bisa dianggap merecoki. Kepala daerah lebih banyak akan menjalin lobi-lobi dengan DPRD bahkan bisa menggangu juga efektivitas pemerintahan. Peta politik di daerah beda-beda kepentingannya. Belum lagi kita berpikir soal kapasitas dewan. Kapasitas legislasi, pengawasan, dan anggaran mereka yang juga masih dinamis sekali. Masih susah.
Dengan pilkada langsung, keuntungan apa yang bisa dirasakan masyarakat?
Di pilkada langsung, ada kesempatan untuk kandidat turun ke masyarakat. Ketika dia masa kampanye, dia bisa turun ke bawah. Di sisi lain, rakyat selama ini sudah mulai belajar untuk menilai rekam jejak kandidat. Sekarang kita sudah pelan-pelan, rakyat sebagai pemilih bisa belajar bagaimana mengevaluasi rekam jejak sebelum dia memilih. Ada tidak peluang itu kalau dia dipilih DPRD. Peluang bagi publik menilai rekam jejak itu bagaimana? Partisipasi publik itu menjadi hilang.
Adakah partisipasi publik lain yang hilang jika pikada oleh DPRD diberlakukan?
Harus kita lihat sekarang demokratisasi ini kan berjalan by process. Dalam proses 16 tahun ini, akses partisipasi masyarakat di tingkat lokal untuk bisa memilih calon pemimpin di tingkat daerah itu sudah dibuka dengan calon independen dan sebagainya. Kalau di DPRD, bagaimana dengan calon independen? Padahal calon independen itu adalah mekanisme partisipasi masyarakat untuk bisa ikut untuk menjadi pemimpin yang selama ini sebagai alternatif dari pasangan yang diusung parpol. Apa bisa calon independen itu bersaing dengan calon yang dipilih DPRD?
Apa rekomendasi Puskapol atas perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah ini?
Kita tetap mendorong pilkada langsung tetapi dengan perbaikan di sisi uji publik yang lebih panjang. Kalau analoginya seperti caleg DPR dan DPRD, antara DCS, DCT, dan pemilunya ada jarak cukup lama. Sehingga, ketika jadi DCT, kampanye, lalu dipilih itu ada cukup ruang untuk rakyat menilai. Ini juga bisa harusnya untuk uji publik di daerah.
Partai atau siapapun yang ingin maju menjadi bakal calon kepala daerah itu harus sudah mendeklarasikan 12 bulan sebelum masa kampanye atau pendaftaran. Sehingga rakyat sudah bisa melihat siapa saja orang yang didorong. Incumbent juga harus sudah bilang jika ingin maju lagi jauh-jauh hari. Supaya kita bisa tahu dia menggunakan fasilitas negara apa tidak. Bansos itu bagaimana dimanfaatkannya.
Kita juga mendorong adanya mekanisme rekrutmen bakal calon yang terbuka. Biaya tinggi dari para kandidat itu karena keputusan partai dari koalisi itu tidak jelas. Kita mendorong perbaikan rekrutmen ini. Hal ini bisa mengurangi politik transaksional yang menghasilkan biaya tinggi untuk kandidat.