Satu lagi fraksi partai di Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) mendukung pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hanya tinggal PDIP, Hanura, dan PKB yang mempertahankan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), Sulastio membaca ini sebagai pragmatisme partai politik di DPR. Dalam konteks RUU Pilkada, yang dilakukan partai di parlemen hanyalah hitung-menghitung bagaimana mendapatkan kekuatan politik. Kedaulatan rakyat, dalam hal melegitimasi kepala daerah, dikesampingkan. Pemilihan oleh DPRD justru ia nilai rawan. Tagih janji dari anggota DPRD—bisa juga partai di belakangnya—kepada kepala daerah bisa menyebabkan kepala daerah tersandera. Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan Sulastio melalui telepon (4/9).
Bagaimana Anda menilai DPR yang mengusulkan pergantian mekanisme pilkada langsung menjadi pilkada oleh DPRD?
Saya melihat putusan DPR, misalnya sidang UU MD3 kemarin hingga soal RUU Pilkada saat ini, sarat nuansa politis kepentingan kelompok maupun orang per orang. Tidak lagi memutus atas nama rakyat atau sebagai representasi masyarakat. Mereka kehilangan ruh dari sumpah mereka sebagai wakil rakyat. Ini yang harus jadi perhatian bersama dan jadi perhatian pimpinan.
Di pilpres, publik punya harapan yang luar biasa. Tiba-tiba dia dibalikkan oleh akrobatik beberapa orang yang mengatasnamakan anggota dewan. Karena punya kuasa, kemudian kuasanya ini digunakan sewenang-wenang untuk membuat kebijakan. Ini jauh lebih jahat atau sama jahatnya dengan koruptor. Mereka bisa merugikan rakyat luar biasa karena dia menggunakan gagasannya untuk kesewenang-wenangan.
Beberapa fraksi di DPR berbalik mendukung pilkada tak langsung. Apa tanggapan Anda atas dinamika ini?
Dugaan saya, apa yang terjadi di DPR sekarang tidak lepas dari apa yang terjadi di pilpres kemarin. Saya kira ini semakin jelas. Polarisasi yang terjadi di pilpres, berimbas juga di pilkada. Perubahan peta politik yang sangat tiba-tiba ini sangat sarat kepentingan politik pragmatis.
Tentu mereka sudah berhitung di pilkada 2015 itu provinsi dan kabupaten mana saja yang akan melaksanakan pilkada dan kekuatan mereka ada di mana saja. Hitung-hitungan politik ini soal jumlah kursi di DPRD karena jumlah kursi menentukan. Bukan hanya kursi partai tapi termasuk juga kursi sekutu. Kalau saya punya sekutu, saya akan hitung juga kursi sekutu. Dengan demikian deal politik akan terjadi.
Mengapa partai perlu menghitung ini?
Partai di Indonesia harus punya kekuatan dari orang yang duduk di jabatan politis DPR, DPRD, kepala daerah, dan sebagainya. Mereka harus punya itu. Tanpa itu mesin partai tidak akan jalan. Bagaimana kekuatan bisa didapatkan dari situ. Mereka kemudian menghitung. Ini bukan soal pemilihan langsung prorakyat dan yang tidak mendukung tidak prorakyat. Tapi lebih ke hitung-hitungaan praktis saja.
Adakah kemungkinan efektivitas kerja pemerintahan daerah jadi terganggu jika dipilih DPRD?
Kepala daerah yang dipilih DPRD dia merasa berhutang budi dengan DPRD. Ini justru kemudian rawan disalahgunakan. DPRD, entah karena kepentingan partai atau dia pribadi dengan konstituennya, akan menagih hutang begitu kepala daerah. Ini yang bisa menyebabkan kepala daerah tersandera kepentingan tadi. Kalau pada sisi dukungan politik betul.
Dampaknya justru yang paling mengkhawatirkan adalah hutang budi kepala daerah kepada DPRD. Ini rawan tagih janji dari anggota DPRD—bisa juga partai di belakangnya—kepada kepala daerah yang bisa menyebabkan kepala daerah tersandera. Apalagi kalau kepala daerah tidak mau serta merta mengikuti deal dengan DPRD ini. Atau kemudian ingkar dengan deal-deal. Justru bahayanya di sini.
Apakah kerja DPR atau DPRD terganggu jika kepala daerah tak separtai? Misalnya dalam hal membuat kebijakan atau anggaran…
Di level daerah kebijakan itu masih banyak dari eksekutif. Sangat jarang—bahkan mungkin sedikit—DPRD yang punya inisiatif. Ada, tapi tidak banyak. Praktis DPR itu lebih kepada sisi persetujuan anggaran dan perda. Sebetulnya inisiatif lebih banyak dari eksekutif. Posisi DPRD ada dalam posisi persetujuan, bukan posisi mengusulkan. Memang yang harusnya bisa menjaga kepentingan adalah kepala daerahnya karena praktis kepala daerah yang banyak berhubungan dengan DPRD dalam konteks meminta persetujuan.
Walaupun di banyak daerah misalnya kepala daerah dan ketua DPRD berseberangan partai, tidak juga serta merta kemudian kepala daerah secara ekstrim menghambat anggaran DPRD. DPRD ini kolektif kolegial, pasti juga ada orang kepala daerah. Tidak mungkin dia hambat karena yang akan dirugikan temannya juga. Saya kira akan sangat kecil kemungkinan ketergantungan DPRD kepada kepala daerah. Justru sebaliknya, kepala daerah lebih potensial menggantungkan kepentingannya.
Bagaimana kecenderungannya jika kepala daerah tidak dipilih melalui pilkada langsung?
Jika yang satu dipilih rakyat dan satu tidak, kecenderungannya bisa diprediksi. Apakah dia lebih cenderung mengikuti keinginan DPRD atau publik? Dugaan saya malah justru publik jadi terlupakan. Ini yang tidak bisa diadopsi dari pemilihan langsung. Soal legitimasi dan trust dari publik hilang.
Ini sangat bertentangan dengan semangat hasil pilpres sekarang ini. Publik itu begitu besar harapannya karena memang ya publik merasakan betul bahwa ini adalah pilihan rakyat. Harus dibayangkan kemudian harapan publik besar ini dipangkas oleh dewan. Apalagi dewan punya masa periode. Dewan yang memilih anggota DPRD itu ternyata adalah periode yang berbeda dengan rakyat yang menaruh harapan.
Apa rekomendasi IPC atas perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah ini?
Saya kira publik harus mencermati ini karena kita yang kemudian akan kena getahnya. Sementara kita tidak punya akses untuk pembuatan kebijakan itu. Apa yang kita inginkan berbeda dengan pembuat kebijakan. Anggota dewan semaunya saja menentukan arah kebijakan pilkada tak langsung.
Ini yang harus kita kritisi bersama. Kalau tidak, ini bisa bahaya. Kita kembali ke masa dimana memang publik tidak punya kontrol lagi. Eranya kan sudah berubah. Publik punya kontrol. Publik yang berdaulat di negara ini. Itu yang harusnya dilakukan bukan kemudian kita kembali kepada kesewenang-wenangan yang kebetulan mereka memegang jabatan publik sebagai anggota DPR. []