Parlemen disuplai dari masyarakat melalui pemilu. Kualitas parlemen hasil pemilu sebelumnya sangat mungkin menentukan partisipasi dan kecenderungan pilihan kita di pemilu berikutnya. Dari pemilu pertama pasca-Reformasi (99) hingga pemilu ketiga di 2009, masyarakat menyimpulkan anggota dewan terpilih semakin buruk. Menurunnya kualitas parlemen berdampak pada partisipasi memilih yang menurun sekitar 10 persen di pemilu berikutnya.
Bagi kita yang berhak pilih, dibutuhkan penjelasan keterkaitan parlemen, pemilu, dan lembaga penyelenggara pemilu. Untuk apa kita memilih jika kecenderungannya parlemen hasil pemilu tak lebih baik. Kalau pun kita memang sebaiknya memilih, bagaimana kita bisa menghukum anggota dewan yang buruk. Berikut wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Ania Safitri dengan Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Center (IPC), Sulastio di Tebet, Jakarta Selatan (21/11).
Apakah ada keterkaitan langsung antara tingginya partisipasi pemilih dengan parlemen yang baik?
Saya kira tak ada hubungannya partisipasi pemilih tinggi dengan pemerintahan hasil pemilu yang lebih baik. Kalau partisipasi pemilih tinggi berpengaruh atau dipengaruhi kualitas pemilu itu bisa iya. Tapi, kalau pemerintah terpilih akan baik, belum ada yang membuktikan korelasinya dengan partisipasi pemilih yang tinggi. Pemerintah yang baik dihasilkan dari pemerintah yang memegang amanah publik.
Jika saya boleh kasih contoh, kurang besar apa suara SBY di Pemilu 2009. Sekarang, orang malah merasa justru dia lebih buruk di pemerintahan 2009-2014. Pemerintahan 2004-2009 malah lebih baik. Ya, memang ada masalah di 2004 tapi tak sebesar 2009. Partisipasi pemilih dan kualitas pemerintahan, menurut saya tak ada hubungannya. Justru kontrol publik setelah pemilu yang bisa membuat itu.
Artinya begini, pemilu memang sarana, dan kita berharap publik menggunakan sarana ini. Tapi memaksa publik juga bukan sesuatu yang tepat. Saya yakin publik akan merasa manfaat ikut pemilu apabila pemilu makin baik, hasilnya dirasa bermanfaat. Sekarang publik tak pernah merasakan manfaat pemilu. Jumlah pemilih cenderung semakin menurun.
Berarti kualitas penyelenggara (KPU, Bawaslu, dan DKKPP di) yang berkaitan dengan kualitas pemilu?
Menurut saya, ini terkait. Pemilu eksekutif maupun legislatif merupakan kompetisi. Pemilu yang baik hasil dari orang-orang atau lembaga penyelenggara pemilu yang juga baik. Tak mungkin pemilunya bersih, kalau penyelenggaranya tak bersih. Tak mungkin pemilunya jujur kalau penyelenggara pemilunya tak jujur. Bahkan tak mungkin pilihan pemilih bisa dijamin keterpilihannya jika tak ada jaminan dari penyelenggara. Jadi, semuanya satu rangkaian.
Jika orang terpilih tak sesuai harapan, hukumanya apa, dan bagaimana caranya?
Ini memang harus dipikirkan mekanisme atau sistem pemilunya. Saat ini memang tak memungkinkan para pemilih menghukum mereka di tengah jalan. Menghukumnya dengan mengupayakan tak terpilih di lima tahun berikutnya. Lima tahun waktu yang sangat panjang. Konstituen tak sabar.
Saya mendukung pemilu serentak yang kemudian ada pemilu serentak lokal dan pemilu serentak nasional. Taruhlah selang pemilu nasional dan lokal dua tahun. Ini waktu yang tepat untuk menghukum dipemilihan selanjutnya. Tak hanya menghukum para anggota parlemen tapi juga partai asalnya. Harapannya mereka tak main-main melainkan serius mempertanggunjawabkan suara yang sudah membawa mereka ke parlemen baik di pusat maupun daerah.
Itu jika ada penerapan pemilu serentak. Di konteks saat ini, bagaimana kita bisa menghukum dewan berkinerja buruk?
Publik tanpa harus menunggu pemilu bisa melaporkan keburukan kinerja melalui lembaga. Kalau terkait etika, ada Badan Kehormatan. Publik bisa melaporkan. Kalau kasus korupsi kita punya lembaga KPK. Jadi publik tak usah takut kalau ada anggota DPR yang korup atau terindikasi korup, ya laporkan saja.
Kalau kinerjanya kurang maksimal, publik boleh mengadu ke partai sambil diberitakan. Cara ini memang tak terlalu meyakinkan. Jika ada anggota partai yang pimpinan partai kita persoalkan, partai itu tak bisa menghukum atau memberikan sanksi kepada yang bersangkutan, karena partai kita masih oligarki.
Paling memungkinkan adalah dengan mempermalukan partai atau dewan di mata publik. Ini penting seiring dengan hukuman dari koridor hukum.
Mengenai parlemen, saya kira parlemen yang buruk, baik dari sisi kinerja atau dari sisi moral orang-orangnya memang harus kita hukum. Kita sudah memberikan suara. Terlepas kemudian orang yang saya pilih itu tak terpilih, intinya orang-orang parlemen harus mempertanggungjawabkannya. Ini salah satu tuntutan akuntabilitas.
Jika parlemen 2009-2014 disimpulkan buruk, adakah rekam jejak kinerja caleg petahana sehingga yang buruk bisa kita tak pilih lagi?
Kalau pemantauan soal rekam jejak kami (IPC) tak melakukan. Tapi soal indikatornya kami punya. Kami mengukur kinerja anggota dewan mulai dari soal waktu rapat, keaktifan, pertanggungjawaban, dan sebagainya. Itu ada.
Indikator itu menunjukkan banyak hal, misalnya, itu bisa membuktikan, rapat di DPR biasa terlambat 15 menit dari jadwal. Ini terlihat sepele karena mungkin dinilai cuma 15 menit. Tapi 15 menit ini akan mengacaukan rapat-rapat lain karena paralel. Satu rapat telat bisa berimbas dengan rapat lain. Semua indikator ini bisa jadi panduan memilih. []