August 8, 2024

Syamsuddin Haris: Proyeksi Pemilu 2019 Memprihatinkan

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, memproyeksikan proses dan hasil Pemilu 2019 mendatang memprihatinkan. Haris menjabarkan analisisnya berdasarkan empat elemen kepemiluan, yakni kerangka hukum pemilu, penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih. Simak paparan Haris pada diskusi “Evaluasi Politik Tahun 2018 dan Proyeksi Politik Tahun 2019” yang diadakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Selatan (13/12), dalam bentuk wawancara.

Kita mulai dengan kerangka hukum Pemilu 2019, yakni Undang-Undang (UU) No.7/2017. Apakah kerangka hukum ini menurut Bapak tak cukup untuk menjamin penyelenggaraan Pemilu 2019 yang jujur, adil, dan berintegritas?

Menurut saya, kerangka hukum belum menjanjikan pemilu dapat menghasilkan pemimpin yang bersih dan akuntabel, lembaga legislatif yang lebih representatif, dan pemerintahan presidensil yang lebih efektif. Sebab, begini, keserentakkannya sendiri bermasalah. Idealnya, Pemilu Serentak 2019 tidak bersifat borongan. Tetapi ini kan, kita memilih selama 3 sampai 4 menit, kita menghadapi ratusan caleg (calon anggota legislatif) di kertas suara. Dalam kondisi demikian, hasilnya pasti tidak bagus. Kenal juga tidak pada semua caleg yang disediakan partai.

Di bawah UU Pemilu, ada PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum). Apakah PKPU bisa mengatasi lubang atau keanehan di dalam UU Pemilu itu?

Pendapat saya, PKPU belum bisa. Begitu juga dengan tata kelola penyelenggaraan umum. Tapi soal PKPU ini, KPU harus komit untuk menjalankan PKPU No.20/2018 dan PKPU No.26/2018. Ini bisa berkontribusi terhadap haisl pemilu kita. KPU tidak boleh takut pada orang yang namanya OSO (Oesman Sapta Odang), dan soal caleg mantan koruptor, KPU harus menandai mereka di kertas suara.

Baik. Kita lanjut ke elemen peserta pemilu. Apakah menurut Prof.Haris, peserta pemilu kita siap menghadapi Pemilu 2019?

Kalau ditanya soal siap tidak siap, parpol (partai politik) hampir selalu tidak siap menghadapi pemilu, sekalipun partai yang sudah tua. Parpol kita hari ini kan lebih sebagai paguyuban yang kesamaannya diikat oleh kepentingan politik yang sama, ketimbang tujuan-tujuan ideal yang sama. Mereka hanya memikirkan bagaimana Jokowi atau Prabowo bisa menang.

Itulah mengapa, hingga saat ini, kita tidak disuguhkan apa obsesi Jokowi untuk meneruskan periode kedua. Apakah dia memperkuat nawacita?

Di kubu Prabowo juga gak jelas, apa pemahaman mengenai tambah utang misalnya. Lalu, pembangunan tanpa impor, apa betul bisa? Kalau bisa, apa kebijakan alternatif yang didesain untuk itu? Apakah pajak akan dinaikkan? Banyak yang perlu dijelaskan.

Coba lihat waktu kemarin pengusungan pasangan calon presiden-wakil presiden. Kan jelas menunjukkan ketidaksiapan partai menghadapi pemilu. Makanya hari ini kita menyaksikan fenomena, ada DPW (Dewan Pengurus Wilayah) Partai Demokrat yang mengusung Jokowi. Begitu juga dengan salah satu ketua DPW PAN (Partai Amanat Nasional). Padahal, garis partai di pusat mendukungnya siapa.

Hal seperti ini, menunjukkan bahwa benar soal dukung-mendukung adalah soal kepentingan jangka pendek, tidak ada idoelogi. Dukungan itu pun sangat elitis, tidak didasarkan pada basis partai, khususnya pengurus di daerah.Ini menyedihkan. Parpol mestinya solid dan partai di tingkat pusat mestinya bisa menerapkan disiplin kepada kadernya di bawah.

Bagaimana dengan kesiapan caleg, Prof?

Caleg lebih menyedihkan lagi. Partai tua saja panik bagaimana mneyusun daftar caleg. Hasyim Asyari, anggota KPU RI, pernah cerita dia dikejutkan oleh elit parpol di DPP (Dewan Pimpinan Pusat). Dia bertanya ke Pak Hasyim: saya di daftar caleg nomer berapa. Dia gak tau. Ini maknanya, politik kita masih digerakkan oleh segelintir elit sehingga tidak ada peluang bagi caleg untuk mengetahui dirinya sendiri di nomer berapa. Itulah oligarki.

Lalu bagaimana dengan kampanye partai pendukung? Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden yang bersamaan, Pileg kurang terasa. Apakah Prof melihat partai pendukung berkontribusi pada hasil pemilihan yang baik?

Soal kampanye, walaupun sudah berlangsung dua bulan, tapi masih nol gagasan mengenai apa yang sesungguhnya hendak diperjuangka oleh calon presiden dan para pendukungnya. Belum ada yang fokus. Masih kampanye yang sifatnya berbalas pantun. Yang saya prihatin, si calon presiden ikut komentar juga. Padahal, mestinya berbalas pantun itu cukup di level Tim kampanye dan pendukungnya saja.

Partai politik pendukung, mestinya mengingatkan Tim kampanye untuk memunculkan materi kampanye yang susbtansial seperti yang tadi saya sampaikan. Jangan maisng-masing kampanye dengan sia-sia. Itulah yang menyebabkan elektabilitas masing-masing paslon stagnan, tidak berubah, karena tidak ada sesuatu yang ditangkap publik.

Baik. Proyeksi ke depan, penyelenggara pemilu akan mampu menjalankan Pemilu 2019 dengan profesional dan berintegritas?

Saya melihat, KPU dan Bawaslu kayak tom and jerry. Mereka tidak solid. Ini yang berbahaya bagi penyelenggaraan Pemilu kita. Contoh, caleg mantan koruptor, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) gak menyetujui PKPU 20. Mestinya, Bawaslu melaksanakan apapun yang diatur KPU karena yang mendapatkan mandat menyelenggarakan pemilu adalah KPU, bukan Bawaslu. Bawalsu itu “bikinin” partai politik untuk menghambat KPU, supaya KPU itu tidak macam-macam. Jadi, Bawaslu itu lebih sebagai tangan kanan partai politik.

Saya sudah usul agar Bawaslu di 2018 dihapuskan saja. Karena, meskipun sekarang wewenang dan fungsinya sudah ditingkatkan, tapi serba tangugng. Dia punya tugas menyelidiki, tapi banyak anggotanya tidak memiliki kompetensi untuk itu.

Lebih masuk akal ke depan membentuk lembaga peradilan khusus pemilu. Ini bisa dititipkan di pengadilan umum. Jadi, tidak perlu punya badan sendiri. Setiap penyelenggaraan pemilu, bikin badan ad hoc.

Terakhir, elemen pemilih. Apakah pemilih akan menjadi pemilih cerdas yang dapat menentukan pilihannya, dengan pertimbangan perbaikan bagi kualitas hidup dan negara?

Dari empat elemen ini, pemilih sebagai elemen ke-empat, dia sudah dikacaukan oleh tiga elemen sebelumnya yang belum sungguh-sungguh memfasilitasi pemilih sebagai pemegang kedaulatan politik. Makanya, menyedihkan kalau untuk menghadapi Pemilu 2019 mendatang, kita masih menghadapi masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap). Ini masalah berulang.