November 15, 2024

Terobosan Pemilu dalam Perppu Penundaan Pilkada

Penundaan Pilkada Serentak 2020 telah bulat dan meminta pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Ini kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Substansi Perppu tentu mengatasi Pasal 201 ayat 6 dan Pasal 122 UU Pilkada. Namun, Perppu bisa pula dioptimalkan kemaslahatannya sekaligus mengganti sejumlah pengaturan pilkada yang selama ini disorot. Paling tidak ada tiga hal “darurat” lainnya yang telah masak di publik yaitu, anggaran pilkada, pengelolaan dana kampanye, dan penerapan rekapitulasi elektronik.

Pertama, anggaran pilkada terdiri dari sumber dana dan pos anggaran. Sumber anggaran pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi kebutuhan mendesak. Penganggaran Pilkada 2020 dengan APBD tahun lalu menunjukkan inefektivitas proses penyusunan dana pilkada melalui APBD. Selain itu, masalah anggaran dari APBD bisa mengancam kualitas penyelenggaraan pilkada yang tidak demokratis.

Jika merujuk berbagai macam pos anggaran, ada pos anggaran yang inefisien dan terakumulasi. Salah satunya pos anggaran bahan kampanye oleh jajaran KPU di daerah. Pos anggaran ini semakin tidak relevan seiring semakin dioptimalkannya kampanye digital yang efektif dan murah. Pos anggaran bahan kampanye perlu dipertimbangkan kembali untuk anggaran pilkada yang efektif dan efisien.

Kedua, pengelolaan dana kampanye.  Politik biaya tinggi dalam pilkada terus mendapat sorotan, khususnya isu mahar politik dan politik uang. Salah satu upaya penyelesaiannya dengan perluasan dan pendalaman pengaturan dana kampanye. Perluasan melingkupi tidak hanya ketika seseorang telah ditetapkan menjadi calon oleh KPU, namun sejak menyatakan diri ingin menjadi calon kepala daerah. Pendalaman dana kampanye melingkupi pelaporan, jenis audit dana kampanye, dan tim audit.

Mengingat politik biaya tinggi dalam pilkada berkorelasi dengan potensi korupsi kepala daerah yang terpilih, perlakuan auditnya menjadi berbeda. Semisal jenis audit laporan keuangan tidak sebatas audit kepatuhan. Pihak yang melakukan audit tidak sebatas Kantor Akuntan Publik (KAP) namun juga melibatkan instansi yang berkompeten dalam pemberantasan korupsi.

Ketiga, penerapan rekapitulasi elektronik. Salah satu kritik publik terhadap pemilu 2019 adalah lamanya proses penghitungan hasil pemilu. Memang tak salah, model penghitungan berjenjang manual yang diterapkan sejak Pemilu 1955 tersebut sudah saatnya diubah.

KPU sejak akhir tahun lalu menyiapkan rekapitulasi elektronik. Pembahasan terakhir oleh sejumlah pihak, perlu ada pengaturan di tingkat undang-undang. Tujuannya untuk menjamin kepastian hukum karena berkaitan nilai suara sebagai wujud kedaulatan rakyat dan hasil pemilu.

Penerapan rekapitulasi elektronik ini juga memenuhi kebutuhan efisiensi anggaran. Penghitungan manual berjenjang dari TPS hingga pusat menjadikan pemilu Indonesia berbiaya tinggi dan membutuhkan tenaga besar dari sumber daya manusia yang banyak. Transparansi dan akuntabilitas hasil pemilu bisa dicapai menyertakan perlindungan anggaran dan manusia.

Selain tiga hal tersebut, ada sejumlah pengaturan lain yang juga penting untuk dimasukan dalam Perppu. Namun, pengaturan lain ini sepertinya masih perlu terus dimasak agar matang dan masuk dalam rencana omnibus law bidang politik.

Ketiga hal tersebut sudah matang dimasak oleh berbagai pihak. Perppu penundaan pilkada penting menjadi momentum kita melakukan terobosan. Semuanya untuk mengubah wajah pilkada agar tak lagi berbiaya tinggi. []

VIRYAN AZIS

Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia

2017-2022