Jumlah orang yang mendaftarkan diri sebagai calon perseorangan di pemilihan kepala daerah (Pilkada) semakin berkurang. Untuk Pilkada 2018, di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, jumlah pendaftar hanya sebanyak 75 pasangan calon (paslon). Jumlah ini kemungkinan akan berkurang setelah dilakukannya verifikasi administrasi.
Pada Pilkada 2015 dan 2017, terdapat masing-masing 135 dan 68 paslon perseorangan yang lolos verifikasi administrasi syarat dukungan. Apa yang menjadi penyebab menurunnya jumlah paslon perseorangan di Pilkada 2018? Simak penjelasan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dalam format wawancara.
Bagaimana sejarah munculnya aturan mengenai calon perseorangan di pilkada?
Calon perseorangan muncul pertama kali sebagai fenomena khusus Aceh. Di Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, ada amanah untuk membentuk partai lokal (parlok). Namun, karena waktu itu belum memungkinkan terbentuknya parlok, maka Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) mengakomodasinya dengan mencantumkan nomenklatur calon perseorangan. Maka, disebutkan di UUPA bahwa calon perseorangan hanya untuk satu kali pilkada, yaitu 2006 saja.
Berkat aturan ini, lahir kepala daerah terpilih dari mekanisme calon perseorangan, yaitu Irwandi Jusuf. Nah, success story di Aceh ini ternyata menggoda wilayah lain. Tahun 2007, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lombok Tengah, Lalu Langga Rawe, mengajukan uji UU ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta agar calon perseorangan tidak hanya di Aceh, tetapi di seluruh wilayah Indonesia. Permohonan itu dikabulkan oleh MK lewat putusan No.5/2007.
Sebagai tindak lanjut putusan MK, UU No.12/2008 memuat aturan mengenai persyaratan dukungan calon perseorangan.
Persyaratan untuk menjadi calon perseorangan di UU No.12/2008 sama dengan di UUPA?
Sedikit berbeda, tapi masih moderat. Di Aceh, syarat dukungan calon perseorangan adalah 3 persen dari jumlah penduduk dan tersebar di 50 persen wilayah. Kalau di UU No.12/2008, syaratnya adalah 3 sampai 6,5 persen dari jumlah penduduk.
Jadi, kalau jumlah penduduk di suatu provinsi sampai dengan dua juta, maka syarat dukungannya adalah 6 persen. Kalau dua hingga enam juta, maka 5 persen. Kalau enam hingga dua belas juta, maka 4 persen. Kalau lebih dari dua belas juta, maka 3 persen. Untuk kabupaten/kota juga demikian, hanya saja dukungan penduduknya lebih kecil.
Lalu sejak kapan aturan syarat dukungan calon perseorangan berubah?
Sebenarnya, syarat moderat ini masih diakomodir di dalam UU No.1/2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2014 tentang pilkada. Syaratnya dan rujukannya masih sama.
Awal masalah muncul ketika UU No.1/2015 direvisi menjadi UU No.8/2015. Ada logika yang tidak berimbang yang digunakan oleh legislator ketika bicara soal kesetaraan antara calon perseorangan dengan calon dari partai politik (parpol).
Tidak berimbang bagaimana?
Persyaratan untuk parpol mengajukan calon kepala daerah, pada waktu itu meningkat. Dari 15 persen kursi menjadi 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara. Jadi, naiknya 5 persen.
Nah, kenaikan itu diterapkan juga untuk calon perseorangan. Tapi, kenaikannya lebih dari 100 persen. Semula 3 hingga 6,5 persen menjadi 6,5 hingga 10 persen. Jadi, alibi kesetaraan yang digunakan, jika dilihat dari sisi angka saja, jelas tidak relevan.
Apakah persyaratan dukungan calon perseorangan 6,5 hingga 10 persen sulit dipenuhi?
Tentu. Ada karakter yang tidak sama antara calon perseorangan dengan calon parpol. Dari segi kekuatan struktur, parpol mengandalkan struktur organisasi yang sudah mapan yang mengakar bahkan sampai ke tingkat desa. Sementara calon perseorangan, dia hanya mengandalkan struktur personal yang harus dibangun menjelang tahapan pencalonan pemilu dimulai.
Selain itu, dalam proses pencalonan, di parpol adalah perjuangan banyak anggota legislatif. Sedangkan calon perseorangan, waktunya hanya beberapa bulan sebelum masa pendaftaran calon perseorangan dibuka. Belum lagi kalau ada masalah legalitas, karena regulasi pemilu kita dibentuk hanya beberapa bulan sebelum proses pencalonan berjalan.
Kemudian, dari segi energi dan biaya, calon perseorangan tentu mengeluarkan energi dan biaya lebih. Di tengah durasi kerja yang pendek, dia harus mendapatkan dukungan yang besar dengan minimal sebaran wilayah 50 persen. Artinya, dia harus bergerak menguasai geografis wilayah. Dia juga harus mengeluarkan biaya yang harus ditanggung sendiri untuk memenuhi dokumen-dokumen yang mesti disertai dengan materai.
Bandingan dengan calon parpol. Yang bekerja adalah mesin partai dan digerakkan oleh sekelompok orang. Dan partai politik yang punya kursi di parlemen itu dibiayai oleh negara.
Menjadi calon perseorangan berarti bukan perkara mudah dan murah. Apa hal positif yang dilihat MK saat memutuskan untuk membuka peluang jalur perseorangan di pilkada?
Calon perseorangan hadir sebagai sebuah alternatif. MK mengabulkan dengan landasan berpikir bahwa keberadaan jalur perseorangan mampu memberikan variasi pilihan pemimpin kepada pemilih. Ia juga hadir sebagai fasilitas bagi anggota masyarakat non anggota parpol yang punya kapasitas, kapabilitas, dan kemampuan untuk ikut dalam bursa pilkada.
Putusan MK tersebut membuahkan hasil seperti yang diharapkan?
Ya, ekspektasi itu terbukti. Pada Pilkada 2015, dari 135 calon perseorangan, ada 13 paslon yang terpilih. Di Pilkada 2017, dari 68 paslon, 3 yang terpilih. Memang ada yang mengatakan bahwa angka itu sedikit, tapi tak bisa disangkal bahwa jalur perseorangan memang membuahkan hasil. Jalur perseorangan terbukti telah memfasilitasi orang-orang yang tidak bisa diusung parpol.
Baik. Lalu bagaimana prediksi success story calon perseorangan di Pilkada 2018? Sebab, di tingkat provinsi, pada saat pendaftaran saja, hanya ada tiga paslon yang dinyatakan memenuhi syarat.
Sesuai prediksi, calon perseorangan semakin sedikit karena syarat dukungan semakin banyak. Kalau kita bandingkan dengan Aceh, dengan syarat dukungan yang hanya 3 persen, muncul banyak calon perseorangan. Di Pemilihan Gubernur Aceh lalu, ada tiga paslon perseorangan. Di Pidie, enam paslon perseorangan.
Di provinsi-provinsi yang jumlah penduduknya banyak, tentu tidak mungkin ada calon perseorangan. Misal Jawa Barat yang jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) terakhirnya mencapai 32 juta pemilih, banyak sekali dukungan yang harus dicari.
Ada rekomendasi terkait calon perseorangan ini?
Kami usul agar pembuat UU meringankan syarat untuk calon perseorangan seperti di Aceh atau setidaknya seperti yang pernah diatur di UU No.1/2015.
Kami juga usul agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat tata cara, prosedur, dan mekanisme pengumpulan dukungan calon perseorangan yang mudah dan fleksibel. Jangan biarkan calon perseorangan tersandera karena menunggu regulasi yang sah. Misal, 2020, buatlah regulasi agar warga negara yang hendak mendaftar lewat jalur perseorangan dapat mempersiapkan diri mengumpulkan dukungan, misalkan, dua tahun sebelum tahap pencalonan.