August 8, 2024

Titi Anggraini: Ada Penataan Jadwal yang Sangat Drastis di Dalam RUU Pemilu

Badan Keahlian Dewan (BKD) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merilis Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 55/PUU-XVII/2019. Dalam rancangan itu, ada rekonstruksi jadwal pemilu serentak. Ada tiga opsi jadwal pemilu serentak yang disiapkan mengacu pada enam opsi yang telah disarankan MK. Pembuat UU memilih konsep pemilu nasional dan pemilu lokal. Pasal 4 dan pasal 5 RUU ini memuat, pemilu nasional dan pemilu lokal diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Pemilu nasional diselenggarakan tiga tahun setelah diselenggarakannya pemilu daerah. Pemilu lokal diselenggarakan dua tahun setelah diselenggarakannya pemilu nasional.

Kami membedah opsi rekonstruksi jadwal pemilu serentak ini bersama Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) (23/4).

Apakah RUU Pemilu ini sudah ideal?

Ketika membahas pemilu, tidak ada sistem pemilu yang ideal. Yang ada sistem pemilu yang cocok karena konteks setiap negara berbeda-beda. Tantangan, hambatan, dan situasi lokal ikut mempengaruhi mekanisme politk yang diambil.

Hal serupa juga berlaku dalam penyusunan undang-undang. Realita itu berjalan jauh lebih cepat dari norma yang dirumuskan. Bagaimana norma aturan yang dibuat mampu menangkap situasi kondisi ke depan ini. Tidak mudah membuat pengaturan pemilu karena pemilu kita berat secara administrasi—rumit dan kompleks.

Di situ peran kita—mengkritisi rancangan undang-undang ini sehingga kesanjangan antara law in the text dan law in the field bisa diperkecil disparitasnya.

Bagaimana konstruksi hukum RUU ini? Apakah RUU ini adalah revisi terhadap UU 7/2017?

Badan keahlian DPR RI menuntaskan penyusunan RUU pemilu sebagai tindak lanjut putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang dibacakan februari lalu. RUU Pemilu ini mengatur keserentakan pemilu serta memuat refleksi dan evaluasi terhadap pelaksnaan Pemilu 2019.

Mereka menawarkan beberapa opsi judul RUU. Pertama, RUU tentang Kitab Undang-Undang Pemilihan Umum. Kedua, RUU tentang Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Tetapi di dalam draft RUU menggunakan judul Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum. Namanya sama dengan UU 7/2017. Bedanya, ini bukan perubahan. Ini RUU yang akan menggantikan UU 7/2017. Sifatnya UU penggantian bukan perubahan. Tetapi BKD sendiri menawarkan judul masih bisa berubah.

Bagaimana Anda menilai sistematika bab di RUU ini? Apakah ideal?

Di UU 7/2017 kita punya enam buku dengan 573 pasal. RUU versi BKD ini terdiri dari enam buku dan 723 pasal. Ada penambahan pasal. Ini mungkin pasal paling banyak selain RUU cipta kerja atau RUU omnibus law. Sistematikanya masih sama. Buku pertama ketentuan umum; buku kedua penyelenggara pemilu; buku ketiga penyelenggaran pemilu; buku keempat pelanggaran pemilu; buku kelima sanksi; buku keenam ketentuan lain-lain.

Kami di Perludem dalam membagi hukum pemilu biasa menggunakan pendekatan empat aspek. Pertama sistem pemilu; kedua aktor pemilu; ketiga manajemen pemilu; keempat penegakan hukum pemilu.

Di RUU ini, pembuat undang-undang menggambungkan sistem pemilu kedalam electoral management di buku ketiga. RUU Pemilu ini tidak punya buku khusus sistem pemilu tapi digabungkan.

Kalau bicara soal ideal atau tidak, banyak yang harus dicermati. Ada 700 lebih pasal yang secara teknis seharusnya tidak usah diatur di undang-undang tapi diturunkan di peraturan yang lebih teknis. Sehingga UU Pemilu bisa tahan lama.

Mengapa RUU ini penting?

Pembuatan RUU ini khususnya tindak lanjut adanya putusan MK yang pemohonnya Perludem. Memang permohonannya ditolak, tapi pertimbagan hukum mempengaruhi pembentukan hukum pemilu Indonesia. MK menyebutkan bahwa pemilu serentak konstitusional kalu didesain enam model. Pada intinya, model apa saja boleh asal pemilihan DPR, DPD, dan presiden tidak dipisah.

RUU ini memuat salah satu desain keserentakan pemilu dari enam yang telah disarankan MK. Pembuat UU memilih konsep pemilu nasional dan pemilu lokal. Itu ada di pasal 4 dan pasal 5. Pemilu nasional dan pemilu lokal diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Pemilu nasional diselenggarakan tiga tahun setelah diselenggarakannya pemilu daerah. Pemilu lokal diselenggarakan dua tahun setelah diselenggarakannya pemilu nasional.

Ini sama persis dengan apa yang dimohonkan Perludem saat menguji materi.

Implikasinya seperti apa?

Dampaknya adalah kalau RUU ini jadi, otomatis tidak ada lagi pemisahan rezim pemilu dan pemda. Di putusan MK disebutkan kita jangan sering mengubah sistem pemilihan langsung yang sudah kita pilih. Kita tidak perlu berdebat lagi pilkada rezim pemilu atau bukan. Menurut MK pilkada adalah pemilu.

Otomatis UU Pemilu dan UU Pilkada dicabut. Hanya akan ada satu UU pemilu yang terkodifikasi untuk mengatur semua pemilu yang ada di Indonesia. Ini diatur dalam satu naskah undang-undang.

Selain itu juga ada rekonstruksi jadwal pelaksanaan pemilu. Di dalam RUU ini, BKD merancang jadwal yang agak luar biasa, agak cepat. Mereka merencanakan pemilu lokal langsung di tahun 2022. Padahal masa jabatan anggota DPRD hasil pemilu 2019 baru berakhir 2024.

Selain itu, mereka merancang pemilu nasional di tahun 2024. Kalau ini relatif tidak masalah karena memang presiden DPR dan DPD berakhir di 2024. Ini perlu rekonstruksi penataan jadwal lagi.

Berarti tidak akan ada Pilkada di 2020?

Dari penataan jadwal di RUU ini memang di 2020 tidak ada pilkada. Pilkada ditarik ke 2022. Bagi daerah Pilkada 2018 dan masa jabatannya berakhir 2023 itu juga akan dilangsungkan pada tahun 2022 juga. Ada penataan jadwal yang sangat drastis di dalam RUU Pemilu yang dibuat BKD.

Apakah rekonstruksi jadwal ini sudah pasti akan dilaksanakan? Atau masih opsi saja?

BKD menyusun beberapa opsi konsep pemilu nasional lokal. Opsi A yaitu pemilu nasional di bulan Juni 2024 dan pemilu lokal di Juni 2022. Opsi B yaitu pemilu nasional tahun 2024 dan pemilu lokal di tahun 2026. Opsi C yaitu pemilu nasional di bulan Juni 2024 dan pemilu lokal di Juni 2024.

Jika mengikuti opsi A, bagaimana penyesuaian masa jabatannya—terutama DPRD hasil pemilu 2019?

Kalau pemilu lokal dilaksanakan tahun 2022, pelaksanaan Pilkada 2020 ditarik ke 2022. Konsekuensinya menambah perpanjangan masa jabatan kepala daerah satu tahun dan menugaskan penjabat satu tahun. Kepala daerah yang akhir masa jabatannya tahun 2021 akan ditambah satu tahun. Kemudian Pilkada 2023 dimundurkan menjadi 2022. Konsekuensinya mengurangi masa jabatan kepala daerah satu tahun dan anggota DPRD hasil pemilu 2019 dikurangi dua tahun. Ini akan kontroversial dan akan cukup rumit.

Implikasi teknis jika memilih opsi C akan berat…

Luar biasa beban pelaksanaannya. Itu kan membarengkan semua pemilihan. Tapi BKD memberi catatan kaki kalau mau langsung tujuh ini berbarengan. Pemilu memilih partai politik untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Surat suara DPR, DPRD Provinis, dan Provinsi DPRD Kabupaten/Kota itu satu karena langsung memilih partai politik. Kalau pilih partai A, itu semua sampai DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Apa tawaran Perludem?

Pertama, kami apresiasi pilihan bulan Juni karena kami mengusulkan hal serupa bersama koalisi masyarakat sipil dalam naskah kodifikasi UU pemilu. Kami memilih waktu pemungutan suara pada bulan Juni yang paling ideal. Kepala eksekutif yang terpilih masih memungkinkan untuk mengimplementasi visi, misi, dan program di tahun berjalan melalui penyusunan APBN Perubahan dan APBD Perubahan karena pembahasannya dimulai bulan juli. Sehingga kalau dia kampanye dan menang bulan Juni, bulan Juli dia bisa fight pembahasan anggaran sehingga di bulan itu janji-jandi bisa direalisasikan

Kedua, kami setuju pemilu lokal di tahun 2026 meskipun konsekuensi penyesuaiannya tidak sepenuhnya sejalan dengan BKD. Simulasi bisa dilakukan. Kami setuju di tahun 2026 karena salah satunya agar kita tidak terlalu drastis perubahannnya. Tidak ada pemotongan masa jabatan DPRD hasil pemilu 2019—lebih baik diperpanjang ke 2026 sampai pemilu lokal.

Ada beberapa keuntungan kalau kita punya pemilu nasional dan lokal dengan jeda dua tahun. Implikasinya, ideologi politik lebih jelas, koalisi lebih solid, pemerintahan terbelah terhindarkan, politik transaksional terkendali. Ini semua karena ada soliditas eksekutif legislatif yang terhubung.