August 8, 2024

Titi Anggraini: Kolom Kosong Menghargai dan Membuktikan Elektabilitas Calon Tunggal

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi sejak 2011 merekomendasikan kolom kosong diterapkan di pilkada. Melalui publikasi buku “Menata Kembali Pengaturan Pemilukada”, dijelaskan tujuan pilihan kosong ini adalah untuk menjaga siklus pemilu, menjaga nilai demokrasi kontestasi, dan melanjutkan pemerintahan berdasar kedaulatan rakyat. Pilihan kosong terinspirasi dari penerapan bumbung kosong di pemilihan kepala desa. Berikut penjelasan direktur eksekutif Perludem (1/8), Titi Anggraini dalam format wawancara mengenai calon tunggal di pilkada.

Kenapa calon tunggal bisa terjadi di Pilkada 2015?

Naiknya syarat dukungan calon yang diusung parpol yaitu memiliki sekurang-kurangnya 20% kursi DPRD atau 25% suara sah hasil pemilu terakhir. Ini membuat koalisi partai mengusung calon menjadi lebih alot dan rumit. Sebelumnya, syarat dukungan “hanya” 15% kursi DPRD atau 15% suara sah hasil pemilu terakhir.

Kenapa calon perseorangan tak muncul?

Calon perseorangan kesulitan menjadi kompetitor karena beratnya syarat dukungan serta keterbatasan waktu untuk mengumpulkan dukungan. Syarat dukungan calon perseorangan dalam UU Pilkada yang baru naik 100% lebih dibandingkan undang-undang lama. Dulu hanya 3-6,5% dukungan dari total jumlah penduduk. Pilkada kali ini menyaratkan 6,5%-10% syarat dukungan.

Kenapa calon dari partai atau koalisi lain tak muncul?

Terjadinya defisit calon yang berkompetisi di pilkada karena adanya persyaratan baru. Putusan Mahkamah Konstitusi  mewajibkan anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur jabatan untuk mencalonkan di pilkada. Kebanyakan kader terbaik partai adalah anggota dewan, khususnya DPR. Tapi di keadaan ini tak mau ambil resiko kehilangan jabatan jika kalah di pilkada.

Bisa dibilang partai kaderisasi kepemimpinan partai belum berjalan baik?

Karena parpol kesulitan mencari figur kuat untuk bertarung melawan petahana, akhirnya pilkada dihitung tak ubahnya seperti hitungan dagang, soal untung rugi tok. Minus visi misi apalagi ideologi. Kesulitan mencari kader untuk mengimbangi petahana ini membuktikan memang parpol gagal dalam menjalankan fungsinya untuk melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik.

Akan tetapi, calon tunggal juga bisa terjadi karena kemampuan membangun koalisi yang kuat oleh satu pasangan calon dengan parpol-parpol yang ada, yang menyulitkan parpol lain untuk mengimbangi. Calon tunggal terjadi secara alamiah. Misalnya saja, di Kabupaten Asahan, calon tunggal yang maju didukung oleh 9 partai. Calon mendapat dukungan parpol yang memiliki 36 kursi (80%) dari 45 kursi DPRD Asahan. Hanya menyisakan 9 kursi atau 20% dari total kursi DPRD Asahan.

Gambaran pastinya seperti apa calon tunggal berkonsekuensi pada tahapan pilkada?

Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015 mengatur, KPU Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 paslon kepala daerah. Pasal 89 PKPU No. 12/2015 menyebutkan, apabila sampai akhir masa pendaftaran hanya ada calon tunggal atau tidak ada paslon yang mendaftar, maka KPU Provinsi/Kabupaten/Kota memperpanjang masa pendaftaran paling lama 3 hari. Dan bila sampai berakhirnya masa perpanjangan hanya terdapat 1 paslon atau tidak ada yang mendaftar, KPU Provinsi/Kabupaten/Kota menunda seluruh tahapan ke Februari 2017.

Solusinya?

Pembuat undang-undang harus menjawab persoalan calon tunggal ini dengan memberikan mekanisme hukum yang setidaknya bisa melindungi hak politik calon untuk dipilih dalam pilkada yang jurdil dan demokratis dan. Pilihannya bisa dengan melakukan revisi terbatas atas UU Pilkada atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) patut dipertimbangkan jika revisi terbatas atas UU Pilkada dianggap makan waktu lama. 

Konkret spesifiknya?

Pada masa penyusunan revisi UU Pilkada tahun 2012 lalu, Perludem pernah mengusulkan adanya pilihan tanding kolom atau bumbung kosong sebagai lawan, seperti halnya dalam pemilihan kepala desa. Keterpilihan calon tunggal harus dibuktikan mayoritas pemilih. Kolom kosong akan menghargai dan membuktikan elektabilitas calon tunggal. Dengan cara itu proses pilkada tidak tersendat akibat penguluran waktu pendaftaran paslon, proses demokrasi tidak dimanipulasi oleh adanya calon “boneka”, dan legitimasi calon tunggal terbuktikan melalui pemilihan.