Maret 19, 2024
iden

Titi Anggraini: Lubang Regulasi Mendorong Langgengnya Praktik Mahar Politik

Isu mahar politik kembali mencuat ke publik. Bahkan, membuat geger masyarakat. Pasalnya, jumlah mahar politik yang diklaim oleh sang korban tak sedikit, yakni 40 miliar rupiah.

Praktik mahar politik bukan fenomena yang berdiri sendiri, dalam arti tak terjadi dengan tanpa sebab-musabab. Mahar politik disebabkan oleh manajemen keuangan partai yang buruk dan tak baiknya sistem kaderisasi partai. Praktik mahar politik dimungkinkan oleh adanya lubang hukum di Undang-Undang (UU) Pilkada.

Sebagai akibat, korupsi politik meningkat. Kekayaan daerah tergadaikan sebagai alat menutup uang tunai yang dikeluarkan.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menguraikan kasus-kasus mahar politik, dampak yang telah terjadi di Indonesia, dan rekomendasi. Simak penjelasannya dalam bentuk wawancara.

Bagaimana praktik mahar politik di Pilkada selama ini?

Pada Juli 2015, ada pengakuan dari Sebastian Salang yang waktu itu gagal maju di Pilkada Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) karena kurang satu kursi. Dia meminta kursi dari suatu partai, dan partai itu meminta Sebastian untuk menyetorkan sejumlah uang

Di tahun yang sama, ada calon bupati Simalungun, Kabel Saragih yang mengaku dimintai uang 500 juta rupiah sebagai syarat membeli satu kursi dukungan.

Di Pilkada 2018, ada empat kasus yang muncul. Di Jawa Timur, La Nyalla dimintai mahar sebesar 40 miliar rupiah. Di Jawa Barat, Dedi Mulyadi dimintai 10 miliar rupiah. Di Cirebon, Brigjen Siswandi dimintai 500 juta rupiah, lalu meningkat jadi 1 miliar rupiah.

Nah, kasus-kasus ini mandek. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di 2015 mengatakan bahwa mereka tidak punya instrumen hukum untuk menindak lanjuti laporan informasi yang berkembang soal mahar poltik ini. Jadi, tidak ada efek jera. Hanya menjadi perbincangan publik yang tidak ada tindak lanjut.

Apa sebenarnya penyebab mahar politik ini?

Pada 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan sebuah studi bertajuk potensi benturan kepentingan di pendaftaran Pilkada. Studi ini  dilakukan terhadap 270 responden yang kalah di Pilkada 2015.

Temuan KPK, pertama, pasangan calon (paslon) tidak patuh melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Kedua, penerimaan dana kampanye yang dilaporkan tidak sepenuhnya benar. Ketiga, biaya yang  digunakan paslon untuk mahar atau biaya saksi tidak dimasukkan di LPPDK.

Di hasil riset disebutkan juga bahwa biaya di luar kampanye seperti biaya saksi sebesar 2 miliar rupiah dan biaya mahar politik merupakan biaya paling besar.

Apakah tidak ada keharusan di UU Pilkada untuk melaporkan dana saksi dan dana-dana yang dikeluarkan sebelum tahap kampanye dimulai di LPPDK?

Nah itu dia! Ada kontribusi kelemahan regulasi terhadap maraknya praktik mahar politik. Laporan dana kampanye tidak menjangkau dana yang dikeluarkan sebelum dan sesudah kampanye.

Menurut Pasal 75 UU Pilkada,  LPPDK disampaikan satu hari sebelum dimulainya masa kampanye dan berakhir satu hari setelah berakhirnya masa kampanye. Jadi, laporan dana kampanye hanya bisa menjangkau periode itu.

Di situlah celah itu muncul. Mahar politik terjadi sebelum masa kampanye sehingga tidak bisa direkam di LPPDK.

Aktor yang mengadu telah dimintai mahar politik menyatakan bahwa oknum yang meminta sejumlah uang mengatakan bahwa uang akan digunakan sebagai biaya pemenangan. Apakah ini diperbolehkan?

Nah, bahasa yang digunakan oleh mereka ini merupakan penyiasatan atas nomenklatur yang  kita kenal, seperti biaya pemenangan, biaya menggerakkan mesin partai, biaya pemasangan alat peraga, biaya saksi, dan lain-lain. Ini adalah kamuflase atau upaya untuk menyelubungkan mahar politik.

Kenapa? Pertama,  durasi antara dikeluarkannya biaya saksi dengan pencalonan itu jauh. Pencalonan itu lima bulan sebelum masa kampanye dimulai. Dan, biaya untuk hal-hal tadi yang saya sebutkan, sebenarnya adalah tugas partai.

Partai politik ditugaskan untuk melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang ingin menjadi bakal calon secara terbuka dan demokratis. Yang namanya terbuka dan demokratis, berarti partai tidak membebankan biaya pemenangan kepada orang yang dia rekrut.

Lalu, apa dampak buruk dari mahar politik ini?

Terjadinya korupsi politik dan transaksi politik. Tidak usah kaget kalau setelah pilkada, banyak terjadi operasi tangkap tangan (OTT). Terjadi jual beli proyek infrastruktur, izin tambang, izin perkebunan, dan sebagainya.

Korupsi itu dilakukan karena calon-calon terpilih itu ingin mengembalikan uang yang dia bayar sebagai mahar politik.

Berarti, korupsi politik karena biaya politik itu mahal?

Biaya kampanye itu kan bisa berasal dari tiga sumber, yaitu individu, partai politik pengusung, dan negara. Sebenarnya, UU punya skenario meringankan beban pembiayaan kampanye. Ada  empat bentuk kampanye yang dibiayai negara, tiga di antaranya adalah iklan di media cetak, debat paslon, dan pemasangan alat peraga kampanye.

Tapi, jenis-jenis kampanye ini dinilai membuat pilkada jadi sepi. Sehingga, UU Pilkada memberi celah agar calon boleh mengadakan bahan kampanye dan memasang iklan asalkan jumlahnya sama dengan jumlah yang dialokasikan oleh KPU. Lebih lanjut, UU mengatakan bahwa  biaya makan minum, hadiah, bukan termasuk politik uang.

Jadi di satu sisi mereka resah karena biaya politik tinggi, tapi pembuat UU yang notabene adalah peserta pemilu, justru membuka celah untuk biaya tinggi itu.

Kemudian tadi disebutkan bahwa saksi partai menjadi beban calon. Sebenarnya untuk apa saksi partai itu? Kan negara sudah menyediakan satu pengawas di satu Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mereka mendapat salinan C1. Kenapa partai merasa tidak cukup sehingga merasa harus membiayai saksi? Itu kan karena pikiran mereka selalu curiga bahwa pemilu itu curang.

Apa rekomendasi Mbak Titi agar praktik mahar politik ini tidak terjadi lagi?

Rekomendasi saya, pertama, Bawaslu harus membuat perkara mahar politik ini jadi terang benderang.  Bawaslu harus “genit” mengawasi mahar politik dan berbagai potensi kecurangan. Negara sudah investasi besar ke Bawaslu untuk memastikan Pilkada dan pemilu berjalan demokratis.

Kedua, harus ada revisi UU soal perluasan jangkauan dana kampanye. Jangan hanya mencakup periode kampanye karena membuat biaya di luar periode itu berada di ruang gelap. Kalau makna dana kampanye diperluas menjadi semua dana yang dikeluarkan oleh calon, termasuk dana untuk sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), itu lebih baik. Kampanye, sejatinya adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memenangkan calon.

Ketiga,  seriuskan aturan pembatasan belanja dana kampanye. Aturan yang sekarang itu belum menjamin kesetaraan para calon.