August 8, 2024
Titi

Titi Anggraini: Pilkada Asimetris Tak Boleh Untuk Diskriminasi

Isu pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris kembali digulirkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian. Pilkada asimetris dinilai tepat untuk kondisi di beberapa daerah dengan kematangan demokrasi yang rendah. Pilkada asimetris juga dianggap sebagai solusi tepat atas dampak buruk yang disebabkan oleh pilkada langsung, seperti politik uang dan politik ijon.

Mengenai pilkada asimetris, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memberikan penjelasan dan pandangan yang dapat disimak bersama. Berikut dalam bentuk wawancara.

Apa itu pilkada asimetris? 

Pilkada asimetris adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak simetris karena adanya perbedaan sistem, mekanisme, dan aktor akibat pengaturan yang ada di undang-undang. Pilkada asimetris bukan hal yang baru ya. 

Pertama soal sistem, ada metode pemberian suara, ada metode pencalonan, dan lain-lain. Jadi, langsung tidak langsung hanya satu saja dr variabel sistem. Model asimetris kita kenal ada di pilkada DKI  Jakarta. Kalau yang lain pakai suara terbanyak, di DKI, harus mayoritas mutlak, 50 persen plus 1. Kalau tidak, yang terbanyak 1 dan 2, maju ke putaran kedua. Lalu Jogja juga. Gubernurnya tidak dipilih langsung. Raja Jogja langsung menjadi gubernur. 

Pilkada asimetris ini cantolannya ada di undang-undang khusus. Di Aceh, kepala dan wakil kepala daerah bisa dicalonkan oleh partai lokal. Hanya Aceh yang ada pencalonan oleh partai lokal. Besaran dukungan untuk calon perseorangan juga berbeda, angkanya, berapapun jumlah penduduk dan pemilihnya, besarannya hanya 3 persen. Disana juga adanya KIP (Komisi Independen Pemilihan), dipilih oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Kalau kita, anggota KPU kabupaten/kota dipilih oleh KPU RI.

Lalu Papua, model pencalonannya mengenal aturan harus orang asli Papua dan mengenal pemberian suara secara konsensus atau mufakat dengan sistem noken. Semuanya diatur oleh undang-undang, bahwa asal usul keistimewaan itu harus dengan undang-undang khusus.

Apakah pilkada asimetris tetap demokratis?

Nah, pilkada asimetris itu tetap harus mengacu pada definisi demokrasi. Saya ambil dari perspektif International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), demokrasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari dua elemen, yaitu popular control atau kendali rakyat dan political equality. Keduanya, ada lima variabelnya. Pertama, representative government. Kedua, fundamental right. Ketiga, checks on government. Keempat, impartial administration. Kelima, participatory engagement.

Maka, demokrasi tidak sesederhana pemilihan. Demokrasi harus melihat bagaimana lima variabel ini diturunkan ke dalam sub-sub variabel yang ada. Jadi, bukan hanya ada pemilu, ada demokrasi. Tapi itu ekosistem yang komprehensif, yang kita sebagai negara, harus memastikan seluruh variabel ini bisa terimplementasi.

Pilkada asimetris konstitusional?

Ada sejumlah pasal di UUD 1945 yang perlu jadi pegangan dalam mengartikan apa yang dimaksud asimetris. Pertama, Pasal 18 ayat (4), “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”.

Kedua, Pasal 18B: ayat (1), “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”; ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Ketiga, Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Keempat, Pasal 28H ayat (2), “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Jadi, bukan sekadar langsung atau tidak langsung, apalagi kalau hanya berdasarkan tingkat kemiskinan. Misal, orang miskin distigma selalu menerima politik uang. Padahal, dari riset yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi, orang miskin tidak lekat dengan politik transaksional, justru loyalis partai.

Perlu kita lihat juga Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019. Poin kelima dari hal yang harus dipertimbangkan dalam perumusan sistem pemilu yang ditulis MK adalah tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum. Poin ini, bisa menjadi pertimbangan ketika kita ingin mendorong konsep asimetris. Ketika bicara model-model keserentakan pemilu, seharusnya relevan dengan saat kita membicarakan model asimetrik dalam pilkada kita.

Poin kelima ini penting. Bagaimana kita mau pemilunya mapan kalau kita ubah terlalu sering. 

Bagimana penentuan suatu daerah dapat menerapkan pilkada asimetris?

Bagi saya, konteks pilkada asimetris, dia harus diperlakukan pertama, sebagai upaya untuk mencapai tujuan konstitusional. Itu adalah perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat guna mencapai persamaan dan keadilan. Jadi, dia bersifat istimewa yang diatur di undang-undang. Jadi, kalau ada ketidaksamaan, itu dalam bingkai tindakan khusus agar suatu daerah mendapatkan persamaan dan keadilan. Dia khusus atau istimewa. Dan dia adalah tindakan khusus sementara.

Saya berpandangan, noken tidak boleh selamanya di Papua. Jika di suatu masa, partai politik sudah bekerja maksimal, akses ke pedalaman sudah baik, harusnya sistem satu orang satu suara satu nilai. 

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak lebih baik dari pilkada langsung oleh pemilih?

Pemilihan oleh DPRD, apa sih yang bisa kita harapkan? KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dalam cara kerja KPK yang sekarang, dulu kan LIPI riset dengan KPK soal pilkada asimetrik, berharap KPK mengawasi perilaku orang-orang DRPD. Apakah kita masih optimis dengan KPK yang sekarang?

Lalu, apakah pemilihan tidak langsung bisa menjadi stimulus pembenahan partai politik kita? Saat ini, partai politik gak ada kurangnya. Semuanya ditentukan oleh partai politik.

Jadi, kita harus bicara dalam pendekatan yang sistemik. Kalau langsung atau tidak langsung, itu ujung dari tata kelola partai yang dibebankan kepada rakyat. Itu solusi dari hal yang tidak kita cari akar masalah dari praktik demokrasi kita.

Dalam pandangan saya, pilkada asimetrik, asal usulnya adalah bagaimana ide pasal 18B UUD 1945. Harus ada argumentasi yang dibangun mengapa suatu daerah diperlakukan berbeda dibandingkan dengan daerah lain, dan itu bukan dalam rangka mendiskriminasi, tapi afirmasi menuju kesetaraan dan keadilan. 

Jika tidak pilkada asimetris, apa yang harus kita benahi agar pelaksanaan pilkada tidak sebatas prosedural?

Pertama, partai politik kita  benahi. Harus dipastikan adanya praktik demokratisasi di internal partai. Kedua, dengan electoral engineering, pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Ketiga,partai politik tidak harus bersifat nasional. Bisa hanya berlaga di Pemilu DPRD, seperti di Aceh. 

Ketiga, pembiayaan pilkada oleh APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara). Ini untuk mengatasi masalah kesulitan anggaran jika dibiayai oleh APBD (APB Daerah). Keempat, adopsi SIPP (Sistem Integritas Partai Politik) yang digagas oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). 

Kelima, penguatan skema penegakan hukum. Jadi, jangan lembaga penegakan hukum diperbanyak tapi kewenangannya tidak efektif. Keenam, pembatasan belanja kampanye.