August 8, 2024

Titi Anggraini: Pilpres, Pemilu DPR dan DPD Tak Boleh Mundur ke 2027

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyampaikan pandangannya terkait isu pemunduran Pemilu Serentak 2024 ke 2027 dalam video di akun Youtube Titi Anggraini. Simak penjelasan Titi dalam bentuk wawancara.

Ramai isu pemunduran Pemilu Serentak 2024 ke 2027 di media elektronik dan media sosial. Bagaimana Anda melihat isu ini? Apakah Pemilihan Presiden (Pilpres) boleh diundur ke tahun 2027? Bukankah berarti akan ada penambahan masa jabatan presiden selama tiga tahun?

Secara kerangka hukum, di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tepatnya di Pasal 7, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Pasal 7 ini adalah produk amandemen pertama tahun 1999.

Lalu, Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Jadi, pemilu sebagai siklus lima tahunan berkala ada di Pasal ini. Tetapi, Pasal itu tidak menyebutkan berapa lama masa jabatan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), karena memang Pasal ini berada di bawah bab pemilihan umum.

Jadi, kalau kita lihat frasa di Pasal 7 UUD 1945, tegas bahwa jabatan presiden adalah lima tahun. Tidak lebih tidak kurang. Makanya, setiap tanggal 20 Oktober, dalam siklus lima tahunan, harus ada presiden baru hasil pemilu yang dilantik dan mengucapkan sumpah janji.

Jadi, presiden dan wakil presiden adalah satu-satunya jabatan publik yang durasinya tegas diatur secara eksplisit di UUD 1945. Kepala daerah tidak disebut, anggota DPR tidak disebut, anggota DPD tidak disebut, anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak disebut. Jadi, presiden, tidak ada ruang untuk lebih atau kurang dari lima tahun kecuali dia mendapatkan pemakzulan. Dan, penggantinya juga dalam masa jabatan lima tahun. Misal, wakil presiden naik menggantikan presiden, tetap saja dalam periode lima tahun itu sebagaimana dulu Megawati menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Jadi, 5 tahun adalah kunci.

Dengan kerangka hukum itu, maka penundaan Pilpres tidak dimungkinkan untuk dilakukan tanpa amandemen konstitusi atas Pasal 7 UUD 1945. Karena, Pasal 7 itu tegas menyebut masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun, dan maksimal dua periode.

Masa jabatan anggota DPR, DPD, serta DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak diatur di UUD 1945. Jadi, pemilihan untuk legislatif dapat diundur ke 2027 dengan konsekuensi penambahan masa jabatan?

Nah, untuk Pileg (Pemilihan Legislatif), kan diatur bahwa dia dilaksanakan setiap lima tahun sekali di Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Tetapi, untuk Pileg, kita punya konvensi ketatanegaraan. Pada 1999, kita menyelenggarakan Pileg yang dipercepat untuk masa jabatan legislatif yang semestinya baru berakhir pada 2002. Kan legislatifnya produk pemilu 1997. Nah, karena ada Reformasi, maka Presiden Habibie menerbitkan UU No.3/1999. Pemilu dipercepat di tahun 1999, bulan Juni.

Itu menjadi preseden untuk Pileg. Karena tidak diatur di konstitusi, maka masa jabatan legislatif ternyata bisa dipendekkan. Dengan demikian, bisa diperpanjang juga dengan alasan-alasan ketatanegaraan yang sah.

Tetapi, jangan lupa, untuk Pemilu anggota DPR dan DPD, dia harus merujuk Putusan MK No.55/2019. Putusan itu mengatur bahwa model keserentakan pemilu boleh berubah, tetapi tetap menjaga sifat keserentakan untuk Pilpres, pemilihan anggota DPR dan DPD. Jadi, tidak dimungkinkan untuk memisahkan penyelenggaraan Pilpres dengan Pemilu anggota DPR dan DPD sesuai Putusan MK No.55/2019. Kalau Pilpres tidak boleh mundur, maka Pemilu DPR dan DPD juga tidak boleh mundur ke 2027.

Baik. Bagaimana dengan Pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pilkada? Dapat diundur ke tahun lain?

Ya, kepala daerah juga tidak ada ketegasan soal masa jabatan lima tahun seperti presiden dan wakil presiden di UUD 1945 ya. Untuk Pilkada, hanya disebutkan di UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.  Tok di situ. Tidak ada masa jabatan berapa tahun.

Kemudian di UU Pilkada No.1/2015 Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak di wilayah NKRI. Nah, masa jabatan gubernur, bupati, wali kota, itu ada di Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada No.8/2015. Masa jabatannya lima tahun tahun. Tapi, khusus untuk kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2020, diatur di UU Pilkada No.10/2016 bahwa masa jabatannya akan berakhir pada Pilkada Serentak 2024. Jadi, tidak genap lima tahun.

Nah, dengan preseden Pemilu 1999 yang dimajukan dari Pemilu 2002, dan penataan jadwal Pilkada yang telah kita lakukan, misalnya, Pilkada 2024 itu kan tidak lima tahun dari hasil Pilkada 2022. Maka, dengan demikian, penataan jadwal itu dimungkinkan. Pemilu untuk DPRD dan Pilkada dimundurkan. Tetapi, tidak memungkinkan untuk Pilpres, DPR, dan DPD karena dia satu paket, dan menginduk pada masa jabatan presiden yang lima tahun, tidak lebih tidak kurang.

Jadi, isu memundurkan Pilpres, DPR, dan DPD ke tahun 2027 harus ditentang menurut Anda?

Menurut saya, itu isu yang kontraproduktif dan tidak kompatibel dengan upaya kita memperkuat demokrasi. Harusnya hindari isu-isu yang bisa memicu perlawanan publik dan kegaduhan politik. Kalau digulirkan Pemilu dipindah ke 2027, bisa jadi warga turun ke jalan. Padahal, pandemi harus jadi prioritas kita semua.

Jadi, lebih baik agenda demokrasi elektoral kita, apalagi sudah ditegaskan di Pasal 7 UUD 1945 kita, dipatuhi, yaitu dilaksanakan pada 2024. Dan, jangan berpikir mengamandemen konstitusi untuk menambah periode masa jabatan presiden. Karena, pembatasan masa jabatan itu amanah Reformasi, lahir dari pengalaman panjang kita bernegara.