September 13, 2024

Tolak JR Pasal 222, MK:  Agar Sistem Presidensil Tak Rasa Parlementer

Banyak pihak mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 222 Undang-Undang (UU) No.7/2017. Empat di antaranya yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Partai Indonesia Damai Aman (Idaman), dan Effendi Ghazali, pakar komunikasi politik.

Masing-masing pihak menggunakan argumentasi yang berbeda, namun tiga argumentasi menjadi poin penting. Satu, ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden tak sesuai dengan prinsip adil dan perlakuan yang sama, yang mesti diberlakukan kepada semua partai politik. Dua, ambang batas pencalonan presiden tak relevan digunakan pada konsep pemilu serentak dengan menggunakan hasil pemilihan legislatif (pileg) lima tahun lalu. Tiga, tak pernah ada pemberitahuan saat Pemilu 2014 berlangsung bahwa hasil pileg akan digunakan sebagai ambang batas pencalonan presiden di tahun 2019.

Tak lebih dari dua minggu berlalu setelah para pihak yang mengajukan uji materi Pasal 222 menegur MK dan meminta agar MK segera memberikan kepastian hukum, pada Kamis (11/1) MK membacakan putusan. Jawaban MK untuk perkara milik Partai Idaman, Pasal 222 konstitusional dan uji materi dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Jawaban yang sama atau mutadis muffandis untuk semua pemohon uji materi Pasal 222.

Pertimbangan MK: Teoretis sistem presidensial, penyederhanaan partai, dan konsolidasi ideologis

Secara garis besar, putusan MK bersandar pada nalar teori sistem presidensial. Di dalam teori sistem ini, jumlah partai yang moderat di parlemen amat dibutuhkan demi efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Pendek kata, bukan presidensial kalau jumlah partai gemuk. Semakin banyak partai, semakin sulit proses konsolidasi kekuasaan oleh presiden terpilih untuk menjalankan program kerja. Penyederhanaan sistem kepartaian juga menjadi  semangat dari amandemen konstitusi.

Lebih jauh, MK menandaskan bahwa Pasal 6a ayat (2) yang berbunyi, “Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu” dilandasi oleh semangat penyederhanaan sistem kepartaian. Ambang batas pencalonan secara alamiah akan menggabungkan partai-partai politik yang memiliki kesamaan visi misi..

“Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden, berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem presidensial diharapkan terpenuhi…. Apabila partai-partai yang tergabung berhasil menjadikan calon presiden dan calon wakil presidennya terpilih, maka dengan sendirinya partai-partai tersebut menjadi partai-partai yang memerintah, yang secara logika politik  berada dalam kesatuan pandangan. Pada titik itu, secara etika dan praktek politik, partai politik telah bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas politik, telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik,” kata Ketua MK, Arif Hidayat, sebagaimana termuat di dalam putusan MK No.53/PUU-XV-2017 yang dibacakan di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (11/1).

Menghapuskan ambang batas pencalonan presiden tak akan menghilangkan dilema. Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) tetap akan melahirkan sistem presidensial rasa parlementer. Ambang batas pencalonan presiden berfungsi mereduksi fenomena khas sistem pemerintahan Indonesia itu, dalam logika MK.

MK membantah argumentasi para pemohon

Sedikitnya ada tiga argumentasi yang dibantah oleh MK. Pertama, argumentasi bahwa partai pemenang Pileg dan Pilpres 2014 belum tentu menjadi pemenang atau memiliki kursi mayoritas di parlemen pada Pemilu Serentak 2019. Menurut MK, “Memang benar partai-partai politik tidak tentu akan menguasai kursi mayoritas parlemen, tetapi setidaknya kompromi politik tidak sampai mengorbankan hal-hal fundamental di dalam hal program-program kerja yang ditawarkan presiden.”

Kedua, mengenai argumentasi persamaan di hadapan hukum untuk semua partai politik, MK membalas dengan mengajukan perumpamaan hak memilih. “Sebuah ketentuan bahwa warga negara mempunyai persamaan di depan hukum, tetapi nyatanya UU Pemilu memberikan hak pilih hanya kepada warga negara yang telah berumur 17 tahun dan telah kawin, nyata-nyata bertentangan dengan hak persamaan warga negara. ”

Dengan lebih tajam, putusan MK menuliskan, “Seorang warga negara yang berumur kurang dari 17 tahun tetapi pernah kawin dan bercerai, mengapa diberi hak politik yang berbeda dengan mereka yang umur sama tetapi belum pernah kawin. Kalau hak partai politik yang pernah mengikuti pemilu dan riil mendapatkan suara dibedakan oleh hukum dengan partai politik yang belu pernah sama sekali ikut pemilu, bukankah hal ini harusnya dipersamakan dengan mengapa pernah kawin membedakan hak politik yang diberikan kepada warga negara yang berumur sama.”

Ketiga, argumentasi relevansi Pilpres dan Pileg yang disatukan. MK dengan tegas mengatakan, ambang batas pencalonan presiden tidak diturunkan dari logika disatukan atau dipisahkannya kedua pemilu ini, melainkan dari argumentasi teoretik untuk memperkuat sistem presidensial dan kebutuhan akan penyederhanaan sistem kepartaian.

“…dalam pengertian mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan presidensial yang makin mendekati ciri/syarat ideal sistem pemerintahan presidensial, sehingga tercegahnya praktik yang justru menunjukkan ciri-ciri sistem parlementer.”

Kebaikan ambang batas pencalonan presiden lainnya menurut MK

Dengan diterapkannya ambang batas parlemen, partai-partai politik akan dipaksa untuk menjadi satu partai politik yang “imajiner”. Hal ini akan menyamakan ideologi dan visi-misi partai, yang justru, menurut MK, menunjukkan budi baiknya di dalam keserentakan Pileg dan Pilpres. Pemilih akan memilih calon presiden dan calon wakil presiden berdasarkan preferensi yang sama dengan pilihan calon anggota legislatif.

“Artinya, rakyat pemilih sejak awal telah memiliki gambaran bahwa jika memilih pasangan calon presiden tertentu karena setuju dengan program yang ditawarkannya, maka secara rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan mendukung pengusung pasangan calon presiden tersebut.”

MK, kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berargumen seperti pengamat politik dan bukan penafsir dan penjaga konstitusi yang mengoreksi dari segi konstitusionalitas.