Kamis (14/3), permohonan uji materi lima pasal di dalam Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pemeriksaan pendahuluan. Hadir para pemohon perkara No.20/2018, yakni Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Hadar Nafis Gumay, dan Feri Amsari.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, kuasa hukum dari Indrayana Centre for Government, Costitution, and Society (Integrity), Muhammad Raziv Barokah membacakan legal standing atau kedudukan hukum para pemohon, pokok-pokok permohonan, dan petitum. Ketiga hal ini mendapat masukan dari tiga hakim MK yang hadir saat itu, yakni Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Arief Hidayat.
Legal standing
Dari tujuh pihak yang memohonkan uji materi, hanya Perludem yang merupakan lembaga. Raziv menyebutkan satu per satu pekerjaan utama para pihak pemohon perseorangan dan kaitannya dengan pasal-pasal yang diuji, tetapi tak menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami oleh para pemohon.
“Yang paling mendasar dari legal standing adalah harus ditunjukkan, kira-kira hak konstitusional mana di dalam Undang-Undang Dasar (UUD), yang pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya norma-norma tersebut. Pemohon 20, ketika menjelaskan permohonan, tidak mengaitkan kerugian hak konstitusional. Tidak ada satu pun pasal dalam UUD yang menjadi landasan hilangnya hak pemohon sebagai warga negara kalau pasal-pasal itu berlaku,” tandas hakim MK, Saldi Isra.
Hakim MK lainnya, Arief Hidayat meminta para pemohon menambahkan bukti bahwa pihak-pihak pemohon perseorangan telah terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan sedang tidak dicabut hak pilihnya. “Siapa tahu pemohon satu ini, mungkin pernah korupsi sehingga dicabut hak pilihnya. Nah, perlu dicantumkan,” ujarnya.
Pokok-pokok permohonan dan petitum
Lima pasal dimohonkan untuk diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945. Satu, Pasal 348 ayat (9) tentang kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sebagai alat untuk mengakses hak memilih di dalam Pasal. Dua, Pasal 348 ayat (4) tentang ketentuan penerimaan surat suara bagi pemilih pindahan lintas daerah pemilihan (dapil). Tiga, Pasal 210 ayat (1) tentang ketentuan pengurusan surat pindah memilih paling lambat 30 hari. Empat, Pasal 383 ayat (2) tentang ketentuan penghitungan suara yang harus selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara. Lima, Pasal 350 ayat (2) tentang ketentuan pembentukan Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus dan ketersediaan surat suara.
Atas lima hal tersebut, pemohon meminta MK menyatakan lima hal. Satu, menghapus syarat kepemilikian KTP elektronik dan menyatakan berlakunya identitas lain untuk dapat mengakses hak pilih. Dua, pemilih pindah memilih mendapatkan lima surat suara sebagai wujud kesetaraan kedudukan di hadapan hukum dan memudahkan kerja penyelenggara. Tiga, surat pindah memilih dapat diurus hingga H-3 hari pemungutan suara. Empat, waktu penghitungan suara dapat melebihi pukul 12 malam hari pemungutan suara. Lima, perluasan tafsir pembentukan tempat pemungutan suara (TPS) yang tak hanya berbasis DPT, melainkan juga Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
“Tadinya kami tidak memberikan batasan di sini, tetapi karena ada kebutuhan untuk menyediakan logistik, maka kami ingin memberikan batasan selama tiga hari sebelum hari pemungutan suara,” ujar Raziv.
Terhadap permohonan tersebut, Majelis meminta pemohon turut menjelaskan perhitungan manajemen teknis kepemiluan jika permohonan dikabulkan. Majelis menyatakan pihaknya mungkin tak akan mengabulkan permohonan jika putusan dapat menyebabkan masalah lain. Hal terberat dari penyelenggaran pemilu yakni pasca pemungutan dan penghitungan suara, dimana MK merupakan lembaga peradilan yang akan menerima dan memutus sengketa hasil pemilu.
“Pemohon harus menjelaskan perhitungan konsekuensinya jika pasal-pasal itu dinyatakan inkonstitusional. Jadi, jaminan hak warga negara untuk memilih penting, tapi kepastian penyelenggaran juga harus diperhitungkan. Jadi, jangan diminta ini tidak konstitusional, tapi praktiknya bisa membuat kacau penyelenggaraan pemilu. Itu kan nanti muaranya di MK,” tegas Saldi.
Sementara itu, Arief Hidayat meminta pemohon menghapus judul permohonan. Judul “Menyelamatkan Suara Rakyat dalam Pemilu 2019” dapat memberikan kesan negatif kepada MK jika MK tak mengabulkan permohonan uji materi.
“Saya agak tergelitik dengan judul permohonan ini. Kalau permohonan diajukan dalam rangka menyelamatkan suara rakya, berarti saya harus mengabulkan. Kalau tidak, kami tidak menyelamatkan suara rakyat. Jadi, mohon dihapus saja. Ini kalimat yang sangat memberatkan kita,” ujar Arief.
MK diminta memutus cepat
Pemohon meminta Majelis memutuskan permohonan dengan cepat, mengingat hari pemungutan suara semakin dekat. Bahkan, pemohon menanyakan apakah Majelis dapat memutuskan terlebih dahulu norma yang memiliki urgensi paling tinggi dalam konteks waktu.
“Norma ini membawa konsekuensi beragam. Ada norma yang spektrum waktunya masih bisa menunggu sampai hari pemungutan suara, ada juga yang butuh diputus segera. Misal Pasal 350 ayat (2) soal TPS khusus dan ketersediaan surat suara, spektrum waktunya pendek. Jadi, apa bisa untuk norma yang spektrum waktunya pendek, bisa diputus terlebih dulu?” tukas Titi.
Jawaban Majelis, “Kalau mau begitu, mestinya permohonannya dipisah. Kalau sudah diketok palu, lalu nanti diketok palu lagi, agak aneh rasanya.”
Majelis memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan. Semakin cepat perbaikan dikirimkan kepada MK, maka proses selanjutnya semakin cepat dilakukan. Jika pemohon mengirimkan permohonan perbaikan pada Jumat (15/3), sidang berikutnya dapat dijadwalkan pada Senin (18/3) atau Selasa (19/3).
“Semakin cepat memperbaiki, semakin cepat prosesnya. Kami hanya bisa berpegang pada hukum acara. Misal, diperbaiki malam ini, besok dianter, siapa tahu senin atau selasa bisa diadakan sidang,” kata Saldi.
Para pemohon memandang sidang pemeriksaan pendahuluan berjalan baik dan mengapresiasi sikap Majelis Hakim yang dikesankan memiliki keinginan untuk memutus cepat. Permohonan perbaikan akan segera dikirimkan.
“Kami sangat gembira, menyambut baik karena pandangan para hakim ini mensinyalkan bahwa ini akan diproses dengan cepat. Tentu semua memang kembali kepada kami untuk memasukkan permohonan perbaikan atas masukan yang diusulkan oleh para panel hakim. Kami akan segera mendiskusikannya dan memasukan perbaikan secepatnya,” ucap Hadar.