November 15, 2024

Urgensi Data Pemilih Berkelanjutan

Data pemilih sering dikatakan sebagai penentu awal dalam keberhasilan penyelenggaraan Pemilu. Tentu menjadi suatu hal yang penting karena data pemilih adalah kumpulan entitas pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya di hari H pemungutan dan penghitungan suara.

Setidaknya data pemilih memenuhi 3 (tiga) kualitas data, yakni muktahir, akurat dan komprehensif. Data pemilih yang muktahir menggambarkan kondisi kekinian pemilih yang terus menerus diperbaharui untuk digunakan di hari H pemungutan suara.

Lebih lanjut, terkait data yang akurat adalah data yang menggambarkan kebenaran data pemilih secara jumlah dan akurasinya yang memotret kondisi riil kekinian yang ada di masyarakat pemilih. Ini dilakukan dengan melakukan perbaikan elemen data terhadap data pemilih, serta penambahan atau pengurangan data yang memenuhi ketentuan persyaratan sebagai pemilih. Sementara, data yang komprehensif menggambarkan data pemilih memuat seluruh WNI yang memenuhi persyaratan diakomodir menjadi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara.

Berkaca pada pengalaman dari Pemilu ke Pemilu, usaha perbaikan data pemilih ini dilakukan selama satu bulan dengan melakukan pencocokan dan penelitian lapangan oleh petugas pendaftaran pemilih. Waktu sebulan digunakan untuk memastikan bisa datang dari rumah ke rumah, satu tempat ke tempat yang lain untuk memuktahirkan data penduduk yang diterima dari Pemerintah untuk kemudian ditetapkan menjadi data pemilih secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai tingkat nasional, setelah mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat, pengawas ,dan peserta Pemilu.

Waktu sebulan untuk melakukan pencocokan dan penelitian di lapangan dengan beberapa tipikal tempat menjadi tidak memadai, terutama yang sering dikategorikan grey area. Contohnya wilayah gusuran, lapas/rutan, apartemen, rumah sakit, panti sosial, dan juga tanah sengketa. Hal ini terjadi karena mobilitas warga yang tinggi, warga yang sulit ditemui atau dokumen kependudukannya yang tidak tersedia atau tidak lagi sesuai dengan tempat yang ditinggali ketika pemuktahiran data berlangsung.

Demikian pula, sikuel penetapan data pemilih tetap dengan hari pemungutan suara yang memiliki jeda waktu beberapa bulan tidak dapat menggambarkan kondisi kekinian yang sama di hari H pemungutan suara. Pastinya, ada pemilih yang meninggal dunia setiap harinya, yang pindah masuk atau pindah keluar dari wilayah tertentu, berubah status menjadi atau bukan lagi sebagai tentara atau polisi.

Oleh karenanya, tulisan ini akan menggambarkan pemuktahiran data pemilih berkelanjutan sebagai upaya penting dalam mewujudkan data pemilih dengan kualitas data yang baik dengan variabel ukuran seberapa muktahir, akurat, dan komprehensif. Upaya ini sejalan dengan amanah Undang-Undang bahwa KPU di setiap satker  diminta untuk melakukan pemuktahiran dan memelihara data pemilih berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan.

Definisi pemilu UU Pemilu dan UU Pilkada

Ada hal yang berbeda dalam UU Pemilu dan UU Pilkada yaitu definisi pemilih. Keduanya mengatur bahwa hak memilih diberikan pada Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan. Lebih lanjut disebutkan bahwa yang memiliki hak pilih adalah mereka yang memiliki KTP elektronik atau Surat Keterangan Pengganti KTP elektronik yang didaftarkan sesuai dengan alamat tertera di dalamnya.

Namun, dalam UU terkait Pilkada disebutkan bahwa selain pemilih merupakan Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan tetapi juga ada tambahan klausul yang bersangkutan tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya. Jika ditemukan pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut diminta harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik dan/atau surat keterangan domisili dari Kepala Desa atau sebutan lain/ Lurah.

Walaupun dalam terminologi yang sama dalam kegiatan elektoral, namun definisi pemilih mengalami perbedaan yang cukup signifikan untuk diaplikasikan oleh penyelenggara. Hal ini turut pula membingungkan masyarakat karena ketika Pilkada mereka tidak didaftarkan sama sekali terutama bagi mereka yang sedang terganggu jiwa/ingatannya, sementara waktu Pemilu sepanjang mereka berusia 17 tahun ke atas, sudah atau pernah kawin berhak didaftarkan sebagai pemilih.

Ketentuan lain yang juga berbeda adalah penyebutan nomenklatur pemilih pindahan, pemilih tambahan dan/atau pemilih khusus pada kedua kegiatan elektoral tadi. Pada Pilkada ada beberapa macam jenis pemilih terdaftar yang dilayani dengan prosedur yang berbeda-beda, yakni DPT, DPPh, dan DPTb. Sementara pada Pemilu jenis pemilihnya terdiri atas DPT, DPTb dan DPK. Pada pemilih tentu menimbulkan kerancuan untuk mendefisinikannya di lapangan karena dengan nomenklatur yang sama namun aplikasinya di lapangan berbeda, terutama untuk pemilih pindahan dan pemilih tambahan.

DPT (Daftar Pemilih Tetap) adalah mereka yang terekam sebagai pemilih dalam dokumen yang dimiliki KPU setelah dilakukan serangkaian proses pemuktahiran data pemilih. DPT ini yang ditampilkan biasanya di depan pintu masuk TPS sebagai upaya agar pemilih dapat memastikan apakah dirinya terdaftar dalam TPS yang dimaksud. DPT ini memuat beberapa elemen data sesuai ketentuan, antara lain NIK, NKK, Nama, jenis kelamin, status, dan alamat.

Sementara itu pemilih pindahan dengan nomenklatur DPTb pada Pemilu dan DPPh pada Pilkada adalah pemilih yang terdaftar dalam DPT, namun karena alasan tertentu harus menggunakan hak pilihnya di TPS lain. Mereka ini bisa dilayani di TPS tujuan dengan membawa surat pindah memilih yang diurus sendiri ke petugas KPU sebelum hari pemungutan suara.

Kondisi pemilih yang lain disebutkan dengan DPK pada Pemilu dan DPTb pada Pilkada yang memiliki ketentuan yang sama dalam pelayanannya. Yakni pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT namun dengan kualifikasi tertentu dapat menggunakan hak pilihnya di TPS sesuai dengan alamat tertera di KTP Elektronik/Surat Keterangan Pengganti KTP Elektroniknya.

Terlihat di atas bahwa dengan nomenklatur yang sama yakni DPTb memiliki arti pelayanan yang berbeda saat menggunakan hak pilihnya di Pemilu dan Pilkada.  Demikian pula untuk menyebut pemilih tak terdaftar dalam DPT, dengan istilah DPK pada Pemilu dan DPTb pada Pilkada (yang mana substansi DPTb pada Pemilu adalah DPPh pada Pilkada).

Seyogyanya untuk meneguhkan pelayanan pemilih, penggunaan istilah dan definisi pemilih sebaiknya ditetapkan sama dalam kegiatan elektoral untuk tidak membingungkan penyelenggara, peserta Pemilu dan masyakat. Demikian juga untuk pendaftaran pemilih terdaftar sesuai dengan alamat tertera di KTP Elektronik (pada Pemilu) yakni basis de jure atau dipersilakan pada pemilih untuk memilih alamat tempat tinggal yang ditempati ketika coklit atau didaftarkan sesuai alamat tertera di dalamnya, pilihannya bisa de jure atau de facto sesuai dengan identitasnya itu.

Urgensi penyesuaian data pemilih berkelanjutan

Kiranya penulis berpendapat bahwa perlu adanya ketetapan pasti dan berkelanjutan dalam mendefinisikan pemilih, jenis pemilih dan bentuk pelayanannya sebagaimana diuraikan pada bagian di atas. Selain untuk memudahkan pemilih dalam menentukan hak dan kewajibannya sebagai pemilih juga meneguhkan keberlangsungan data pemilih di lapangan untuk dapat memperoleh data yang muktahir, akurat, dan komprehensif.

Pada pasal 201 UU 7/2017 butir (8) menyebutkan bahwa Pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap 6 (enam) bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data Pemilih. Lebih lanjut juga pada pasal 204 menyebutkan bahwa KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data Pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan yang diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk potensial pemilih Pemilu.

Dengan demikian upaya kerjasama antar institusi menjadi penting untuk mendapatkan data pemilih dalam upaya menjamin hak politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara. Kementerian Dalam Negeri sebagai hulu daftar pemilih terkait dengan data kependudukan yang dimuktahirkan menjadi pintu awal dari proses data pemilih tentu diharapkan dapat memberikan data penduduk yang clear and clean terutama dalam hal penyandingan dan penyempurnaan data selanjutnya. Hal ini dikarenakan data pemilih lahir, meninggal, pindah masuk dan pindah keluar serta status dan pekerjaan penduduk menjadi objek data penduduk yang sangat besar kemungkinannya berubah dari hari ke hari.

Demikian juga dengan beberapa pihak seperti Kementerian Hukum dan HAM yang menangani penduduk yang berada dalam Lapas/Rutan. Updated data warga binaan dengan mobilitas yang tinggi kiranya dapat dilengkapi dengan elemen data yang sesuai dengan KTP Elektronik sehingga penyesuaian pendataan ini dapat dilakukan dengan komprehensif dan berkelanjutan.

Pihak lain seperti pihak manajerial rumah susun dan apartemen yang seyogyanya dapat memberikan data yang sesuai dengan kondisi kekinian. Karena dari pengalaman terlihat bahwa pemilik apartemen atau rumah susun belum tentu yang menempati unit apartemen atau rumah susun yang dimaksud. Sekalipun mereka tinggal di situ, belum tentu alamatnya sama dengan alamat yang tertera di KTP Elektronik mereka; dan jikapun sama mereka amat sulit ditemui untuk dilakukan pencocokan dan penelitian selain karena mobilitas yang tinggi, juga manajerial keamanan yang diterapkan dalam apartemen atau rumah susun yang dimaksud.

Tentu upaya pemuktahiran data pemilih berkelanjutan menjadi penting sebagai ikhtiar awal dan terencana dalam melakukan perbaikan data ini secara terus menerus. Upaya jemput bola yang kreatif dan inovatif menjadi salah satu metode, selain hubungan kerjasama yang baik dari stakeholders terkait. Penyempurnaan data pemilih adalah salah satu upaya perbaikan demokratisasi melalui Pemilu yang tidak dapat dikerjakan sendiri oleh KPU, perlu ada upaya optimal dari semua pihak untuk hal ini. []

BETTY EPSILON IDROOS

Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta