Dalam perkiraan yang sangat awam, agaknya banyak pihak yang masih bertanya, kenapa Indonesia membutuhkan kodifikasi undang-undang pemilu. Dalam terminology yang umum, kodifikasi diartikan aktivitas menghimpun peraturan perundang-undangan menjadi satu naskah atau kitab.
Namun jika ingin diperluas, maka kodifikasi bisa dimaknai sebagai cara menggabungkan beberapa peraturan perundang-undangan untuk dijadikan satu dalam sebuah naskah undang-undang. Dalam arti yang jauh lebih ideal, kodifikasi tentu tidak hanya berhenti sampai pada tahapan menggabungkan beberapa peraturan perundang-undangan saja. Tetapi, kodifikasi menjadi salah satu cara untuk menjadikan beberapa peraturan perundang-undangan, digabungkan menjadi satu di dalam undang-undang pemilu.
Tidak hanya menggabungkan, namun menjadikan seluruh regulasi terkait pemilu disusun secara sistematis, sehingga mudah untuk dipahami oleh seluruh stakeholder terkait pemilu. Karena Kita tahu, setidaknya ada empat undang-undang terpisah yang mengatur terkait pemilu di Indonesia saat ini: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tenang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Logika Pemilu Serentak
Ide besar terkait dengan peyelenggaraan pemilu serentak antara memilih pejabat legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dengan memilih pejabat eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota), sebetulnya sudah lama disuarakan. Setidaknya sejak persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden langsung pertama tahun 2004. Namun, karena pada saat itu masih “transisi” dari pemilihan tidak langsung, sehingga menata lebih dalam jadwal pelaksanaan pemilu belum begitu menjadi fokus yang mendalam.
Tujuan utamanya tentu saja memperkuat sistem presidensil, dan membangun pemerintahan yang bisa bekerja maksimal, sesuai dengan desaian hubungan kekuasaaan eksekutif dan legislatif di dalam struktur sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam perjalanannya kemudian, penyelenggaraan pemilu legislative dan pemilu presiden secara serentak menemukan jalannya ketika Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013.
Dalam putusan pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh Effendi Gazali tersebut, Mahkamah Konstitusi menasbihkan, bahwa penyelenggaraan pemilu yang konstitusional sebagaimana dimaksud di dalam UUD NRI 1945 adalah melaksankana pemilu legislatif dan pemilu eksekutif secara serentak dalam waktu yang bersamaan. Putusan yang dibacakan pada 23 Januari 2014 tentu saja menjadi tonggak penting, sekaligus momentum untuk melakukan penataan jadwal pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Berangkat dari momentum itulah kemudian ide untuk menyatukan keseluruhan regulasi terkait dengan penyelenggaraan pemilu menjadi keniscayaan. Dalam tesis yang sederhana, tidak mungkin jika suatu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu anggota DPR/pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak, namun diatur di dalam undang-undang yang terpisah. Begitu juga dengan undang-undang tentang penyelenggara pemilu, serta undang-undang yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah.
Dalam putusannya, MK memerintahkan untuk meyerentakkan keseluruhan pelaksanaan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 juga memberikan kepastian waktu, bahwa pelaksanaan pemilu serentak yang disebut dengan pemilu lima kotak ini baru akan dilaksanakan pada Pemilu 2019. Perkembangan terbaru, Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 sebagai regulasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah memerintahkan pemilihan kepala daerah serentak nasional dilaksanakan pada tahun 2024.
Artinya, mulai tahun 2024, akan dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Bupati dan Walikota secara bersamaan. Meskipun belum ada kepastian apakah pilkada juga akan diserentakkan dalam waktu yang sama, namun penyelenggaraan pemiu yang sangat padat ditahun yang sama, pastinya akan sangat memberatkan, untuk seluruh pihak.
Serentak Nasional dan Serentak Daerah
Dalam batas penalaran yang wajar, menyelenggarakan pemilu lima kota, ditambah dengan melaksanakan pilkada, adalah pekerjaan maha berat. Pertama, akan sangat berat bagi penyelenggara menyiapkan seluruh perangkat dan teknis tahapan pemilu, karena terlalu banyak subjek yang akan dipilih dalam waktu yang bersamaan. Kedua, akan sangat memberatkan bagi pemilih, untuk memilih calon yang sangat banyak diwaktu yang bersamaan.
Lebih dari itu, model pemilihan yang sangat banyak ini akan membuat pemilih mustahil untuk rasional dan bisa mengenali calon lebih jauh sebagai dasar untuk memilih. Ketiga, model pemilu serentak borongan ini akan menyulitkan konsolidasi partai politik peserta pemilu. Mustahil partai bisa berkonsolidasi dan menyediakan calon dengan baik, jika pemilu dilaksanakan secara borongan dalam waktu yang bersamaan.
Oleh sebab itu, ide untuk melaksanakan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah dapat menjadi jalan keluar yang paling rasional untuk menata jadwal pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pemilu nasional diselenggarakan secara serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, dan DPD secara serentak. Kemudian, pemilu serentak daerah dilaksanakan 2 atau 2,5 tahun setelahnya untuk memilih gubernur, DPRD provinsi, bupati/walikota, dan DPRD kabupaten/kota.
Model pelaksanaan pemilu serentak dengan membaginya dalam skala nasional dan dan daerah ini tentu akan memberikan beban kerja yang lebih proporsional dan rasional kepada penyelenggara pemilu. Kemudian pada sisi pemilih, akan membuka kesempatan kepada pemilih untuk bisa lebih jauh mengenali calon, karena calon yang akan dipilih tidak langsung banyak dalam satu kesempatan pemilu. Begitu juga dari sudut pandang partai politik peserta pemilu.
Konsolidasi partai akan jauh lebih baik, jika keserentakkan pemilu dibagi dalam skala nasional dan daerah. Peserta pemilu akan mendapatkan ruang yang jauh lebih lapang untuk melakukan kaderisasi dan rekruitmen politik dengan jadwal pemilu yang ditata sedemikain rupa. Terakhir, model pelaksanaan pemilu nasional dan daerah diharapkan akan memunculkan efek menarik kerah (coattail effeck) antara pilihan di lembaga legislative dan lembaga eksekutif.
Artinya, model pemilu serentak nasional dan pemilu serentak local, diharapkan akan menciptakan pilihan pemilih yang liner antara pilihan kepada pasangan calon presiden atau pasangan calon kepala daerah, akan diikuti dengan pilihan kelompok partai politik yang mendukung pasangan tersebut untuk pilihan di lembaga legislatif. Sehingga siapapun pasangan calon presiden dan pasangan calon kepala daerah yang menang akan diikuti dengan kekuatan partai politik yang dominan di lembaga legislatifnya.
Tujuan besarnya tentu saja menciptakan efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena rumus sederhananya adalah, ketika kekuatan eksekutif dan legislative sejalan, maka kebijakan yang akan diambil akan mudah untuk direalisasikan. Pada sisi yang lain, kelompk penyeimbang (baca: yang kalah dalam pemilu) akan senantiasa akan menjadi setia sebagai kelompok yang akan mengawasi jalannya pemerintahan. []
FADLI RAMADHANIL
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Tulisan dipublikasikan di Majalah “Suara” Komisi Pemilihan Umum, Edisi XI 2016