Dalam Rapat Kerja/Rapat Dengar Pendapat antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah diwakili Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) beberapa waktu lalu (30/3), disepakati empat kesimpulan yang pokoknya bermuara pada kesepakatan bersama untuk menunda tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak 2020.
Empat kesimpulan Rapat tersebut sebagai berikut, pertama, melihat perkembangan pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum terkendali dan demi mengedepankan keselamatan masyarakat, Komisi II DPR RI menyetujui penundaan tahapan Pilkada Serentak 2020 yang belum selesai dan belum dapat dilaksanakan. Kedua, Pelaksanaan Pilkada Lanjutan akan dilaksanakan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR. Ketiga, Dengan penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, maka Komisi II DPR RI meminta Pemerintah untuk menyiapkan payung hukum baru berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Keempat, dengan penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, Komisi II DPR RI meminta kepada kepala daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak 2020 merealokasi dana Pilkada Serentak 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemi Covid-19.
Langkah ini meneguhkan fokus seluruh elemen bangsa untuk berkonsentrasi penuh mengatasi pandemi Covid-19 yang makin mengkhawatirkan. Penundaan pilkada bukanlah upaya menghambat sirkulasi elit maupun agenda demokrasi lokal. Hal itu semata karena pertimbangan melanjutkan tahapan pilkada yang berdampak pengumpulan dan interaksi banyak orang saat pandemi Covid-19, merupakan pilihan yang berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan warga negara, serta kontraproduktif dengan upaya untuk menghentikan wabah corona.
Opsi Penundaan
Saat kesimpulan Rapat dibuat, KPU sudah lebih dulu memutuskan untuk menunda empat tahapan pilkada di keseluruhan 270 daerah yang pilkada. Meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Penundaan pilkada secara nasional oleh KPU sesungguhnya tidak diatur dalam kerangka hukum pilkada yang ada. Mekanisme penundaan yang ada dalam undang-undang pilkada hanya berorientasi secara parsial, berbasis daerah per daerah. Dengan mekanisme pengusulan penundaan dari bawah ke atas, bukan diputuskan sentral oleh KPU.
Penundaan empat tahapan pilkada secara nasional dilakukan dengan mendasarkan pada otoritas KPU sebagai pemegang tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemilihan. Empat aktivitas tahapan yang ditunda mencakup pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Keseluruhan tahapan yang ditunda adalah tahapan yang berlangsung di masa tanggap darurat bencana virus corona, sampai dengan 29 Mei 2020.
Dalam kalkulasi KPU, penundaan empat aktivitas tahapan itu akan berkonsekwensi menggeser hari pemungutan suara yang dijadwalkan pada 23 September 2020. KPU menawarkan tiga opsi penundaan, berupa Opsi A, Opsi B, dan Opsi C. Opsi A, hari pemungutan suara pada Rabu, 9 Desember 2020 (ditunda tiga bulan). Opsi B, Rabu, 17 Maret 2021 (ditunda enam bulan). Serta Opsi C pada Rabu, 29 September 2021 (ditunda satu tahun).
Bila sisa anggaran pilkada dialihkan untuk penanganan Covid-19 maka diperlukan penganggaran baru untuk pembiayaan pilkada pasca penundaan. Untuk mengalokasikan anggaran baru tentu butuh waktu, sehingga kecil kemungkinan pemungutan suara tetap bisa digelar tahun ini. Apalagi ada ahli yang memprediksi puncak Covid-19 baru akan terjadi di bulan Juli 2020. Pilihan untuk menggelar pemungutan suara pada 2021 akhirnya menjadi pilihan paling logis. Tentu perhitungan jadwal sebagai dampak penundaan pilkada harus dilakukan dengan simulasi yang komprehensif.
Materi Muatan Perpu
Sesuai kesimpulan Rapat yang meminta Pemerintah menyiapkan payung hukum Perpu sebagai basis penundaan secara nasional, maka Perpu mestinya segera menjawab kejelasan soal penundaan dan kerangka waktu pilkada pasca penundaan. Lalu apa saja yang mendesak diatur Perpu? Setidaknya ada tiga materi muatan yang harus ada dalam Perpu. Pertama, soal perubahan jadwal pilkada, termasuk kapan dan pada tahapan mana akan menjadi titik mula keberlanjutan tahapan pasca penundaan. Kedua, jaminan dan mekanisme kesinambungan jabatan personel ad hoc pemilihan yang kadung direkrut KPU dan Bawaslu sebelum pilkada diputuskan ditunda. Ketiga, sumber penganggaran dan mekanisme penganggaran untuk pembiayaan pilkada pasca penundaan. Apakah bersumber dari APBN, APBD, atau kombinasi keduanya.
Penundaan pilkada ini bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi potensi kekacauan elektoral akibat kebijakan yang akan menyerentakkan pilkada secara nasional pada November 2024 sebagaimana pengaturan dalam UU Pilkada saat ini. Padahal di tahun yang sama juga akan berlangsung pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pemilu 2019 yang serentak 5 kotak saja membuat petugas pemilihan kelelahan dan ratusan meninggal dunia, apalagi kalau diserentakkan tahapannya dengan pelaksanaan pilkada. Tentu ini berbahaya, kompleks, dan bisa mengancam kualitas demokrasi elektoral akibat beratnya beban kerja dan politik yang harus ditanggung penyelenggara, partai politik, dan pemilih.
Perpu bisa menjawab kegentingan soal ini. Penyelenggaraan pilkada setelah pertengahan 2021 selain dilaksanakan bagi 270 daerah yang tertunda, bisa digabungkan pula dengan daerah-daerah yang masa jabatan kepala daeranya berakhir sampai dengan Juli 2022. Dari data akhir masa jabatan yang ada, setidaknya terdapat tambahan 6 provinsi dan 49 kabupaten/kota yang pilkadanya bisa ikut dibarengkan dengan 270 daerah itu. Selanjutnya, bagi daerah yang AMJ kepala daeranya setelah Juli 2022 sampai dengan 2024, pilkadanya diselenggarakan setelah pertengahan 2022 atau paling lambat awal 2023. Dengan skenario ini, selain lebih efektif, juga bisa menghindari potensi bencana politik elektoral.
Terkait penganggaran pilkada pasca penundaan harus jelas pula diatur dalam Perpu. Guna menjamin pilkada bisa mendapatkan kepastian alokasi dana dan tidak menghadapi kendala dalam pelaksanaannya. Untuk itu, sebaiknya pembiayaan pilkada dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab konsolidasi penggaran akan lebih mudah dilakukan bila berasal dari satu pintu dibanding diberikan pada mekanisme penganggaran standar masing-masing daerah. Selama fase penundaan ini, KPU dan Bawaslu selaku institusi puncak penyelenggara pemilu bisa melakukan penyusunan rancangan biaya pilkada dengan mekanisme partisipatoris. Namun, pembiayaan APBN ini tetap memberi ruang dukungan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk optimalisasi kualitas tata kelola pilkada di setiap daerah.
Sebagai sebuah produk hukum untuk menjawab situasi darurat dan kegentingan memaksa maka kita perlu merasionalisasi dan mengukur secara wajar ekspektasi atas substansi yang diatur Perpu. Meskipun banyak hal yang ingin didorong untuk penguatan dan perbaikan kualitas tata kelola pilkada, namun Perpu sebagai instrumen hukum yang urgen disahkan sebagai legalitas penundaan pilkada, pembahasannya tidak bisa lama dan berlarut-larut. Perpu mestinya sudah disahkan sebelum berakhirnya waktu penundaan oleh KPU. Bahkan demi kepastian hukum pengalihan dana pilkada untuk penanganan Covid-19, Perpu seharusnya sudah disahkan sebelum akhir April ini. []
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia 9/4 2020 dengan judul Urgensi Perppu Pilkada