November 15, 2024

Utak Atik Pengisian Penjabat Kepala Daerah

Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Frasa demokratis kemudian diterjemahkan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, bahwa pengisian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau Pilkada.

Akan tetapi, di tengah praktik pilkada langsung saat ini, akan terjadi kekosongan posisi kepala daerah definitif dalam waktu cukup lama, bahkan mencapai lebih dari 2,5 tahun. Hal itu konsekuensi dari ketentuan Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 (UU Pilkada). Pasal tersebut mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pemilihan serentak nasional pada 2024.

Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sedangkan untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada menyebut bahwa penjabat kepala daerah masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang satu tahun berikut dengan orang yang sama/berbeda.

Rakyat akan sangat lama absen dipimpin kepala daerah definitif yang dipilih langsung melalui pilkada. Padahal, kalau ada kemauan, pemerintah dan DPR bisa saja mengambil skema pilkada serentak nasional yang tidak membuat kekosongan kepemimpinan definitif terlalu lama. Praktiknya, pembuat UU lebih memilih penjadwalan pilkada serentak nasional pada November 2024 dan meniadakan pilkada di 271 daerah yang sebelumnya diagendakan digelar pada 2022 dan 2023.

Kekosongan kepala daerah definitif dalam waktu lama merupakan anomali praktik berdemokrasi. Tak heran dan sangat beralasan ketika sejumlah pihak kemudian menguji ketentuan itu di Mahkamah Konstitusi (MK). Per Maret 2022 saja, sudah ada tiga permohonan yang menguji ketentuan Pasal 201 UU Pilkada.

Urgensi regulasi teknis

Sejauh ini belum ada regulasi teknis yang mengatur pengisian penjabat kepala daerah yang secara spesifik menindaklanjuti pengaturan Pasal 201 UU Pilkada. Pengisian penjabat masih dicantolkan pada regulasi yang mengatur kekosongan jabatan karena cuti atau berhalangannya kepala daerah. Padahal karakternya sangat berbeda. Pengisian penjabat sebagai konsekuensi Pasal 201 UU Pilkada bukanlah karena adanya “kejadian khusus atau luar biasa” (yang tiba-tiba) seperti cuti kampanye atau berhalangannya kepala daerah akibat masalah hukum, sakit, meninggal dunia, atau berhalangan tetap lainnya.

Pengisian penjabat kepala daerah ala Pasal 201 UU Pilkada merupakan desain yang dibuat secara sengaja akibat tidak diselenggarakannya pilkada sesuai siklus periodik lima tahun sekali. Pilihan ini mengakibatkan kekosongan posisi kepala daerah definitif dalam waktu sangat lama. Sehingga, ada kebutuhan mendesak untuk mengatur mekanisme atau tata cara pengisian penjabat sehingga tetap menggambarkan karakter “demokratis” sebagaimana dikehendaki Pasal 18 Ayat (4) UUD.

Sehubungan itu, selama belum ada perubahan UU Pilkada ataupun terbit Putusan MK yang membatalkannya, maka Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan teknis atau turunan yang khusus mengatur mekanisme pengisian penjabat sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU Pilkada. Peraturan khusus berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden diperlukan agar tersedia mekanisme yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat berlangsung demokratis serta tidak memuat agenda “sampingan” bernuansa kepentingan pragmatis ataupun tunggangan politik praktis lainnya. Apalagi ini menjelang pertarungan politik besar, Pemilu Serentak 2024.

Regulasi teknis ini harus diterbitkan segera. Pasalnya, di pertengahan Mei 2022 saja tercatat 5 Gubernur, 6 Walikota, dan 37 Bupati yang akan berakhir masa jabatannya. Di antaranya Gubernur Banten, Papua Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Provinsi-provinsi tersebut akan segera dipimpin penjabat sampai dengan terpilihnya kepala daerah definitif hasil pilkada 2024. Artinya, kepemimpinan penjabat berlangsung sampai hampir tiga tahun.

Tak terhindarkan, lamanya daerah dipimpin penjabat selain menimbulkan diskursus soal legitimasi juga menumbuhkan spekulasi terkait upaya resentralisasi pengisian eksekutif daerah. Juga problematika lainnya, yaitu merujuk pengaturan UU Pemerintahan Daerah, penjabat kepala daerah memiliki keterbatasan dalam pengambilan kebijakan yang bersifat strategis dalam aspek keuangan, kelembagaan, personel, dan aspek perizinan, serta kebijakan strategis lainnya. Apakah dengan lamanya masa jabatan serta adanya keterbatasan dalam mengeksekusi kebijakan, penjabat bisa bekerja efektif dan demokratis, sebagaimana prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik?

Publik perlu diberikan jaminan bahwa mekanisme pengisian penjabat akan berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel. Serta tidak memaksakan figur-figur bermasalah, inkompeten, ataupun bertentangan dengan aspirasi daerah. Untuk itu, pemerintah mutlak mendengarkan aspirasi masyarakat dan pemangku kepentingan daerah agar penjabat terpilih bisa bekerja kondusif dan melakukan pelayanan publik tanpa hambatan berarti. Mekanisme untuk penjaringan aspirasi bisa dirumuskan secara akuntabel dengan melibatkan pakar dan praktisi guna mendapatkan saran-saran terbaik. Misalnya, apakah dengan memberikan ruang bagi DPRD untuk memberikan masukan atau pendapat atas nama penjabat yang akan ditunjuk pemerintah?

Konteks khas dan kearifan lokal juga perlu diperhatikan. Misalnya, menempatkan Orang Asli Papua untuk pengisian penjabat di wilayah Papua. Hal itu selaras dengan pengaturan UU Otonomi Khusus Papua yang memberi afirmasi pada Orang Asli Papua untuk mengisi posisi-posisi politik dan publik di Papua. Sangat penting untuk memastikan penjabat betul-betul sosok yang dianggap kredibel, kompeten, dan mampu diterima daerah sehingga memudahkan kerja-kerjanya saat menjabat.

Kontroversi TNI/Polri

Pilihan pengisian penjabat sesungguhnya bisa dibuat sederhana. Misalnya, kalau tidak mungkin memperpanjang masa jabatan kepala daerah definitif sebagaimana usulan beberapa pakar pemerintahan daerah seperti Prof. Djohermansyah Djohan, maka bisa pula dengan menempatkan Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai penjabat kepala daerah di wilayahnya.

Selain telah memenuhi kriteria kepangkatan, Sekda juga relatif tak perlu beradaptasi lama dengan birokrasi daerah dan program kerja yang sedang berjalan. Bila ada kekhawatiran Sekda rentan terlibat tarik menarik kepentingan politik lokal, maka Bawaslu, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Kementerian Dalam Negeri bisa dilibatkan optimal dalam pengawasannya.

Selain itu, juga perlu diingat agar utak atik pengisian penjabat harus menghindari kegaduhan dan kontroversi. Terutama mengingat mereka akan menjabat di tengah penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Apabila terjadi kegaduhan atau kontroversi berkepanjangan, pelayanan publik bisa terganggu. Stabilitas dan persiapan pemilu dan pilkada juga bisa terkendala. Kontroversi akan rentan dipolitisir serta dikait-kaitkan dengan kepentingan dan agenda politik elite yang sedang berkontestasi.

Untuk mengeliminir lahirnya kegaduhan dan kontroversi, pemerintah mestinya tidak menempatkan personel TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah. Supaya tidak ada spekulasi di tengah masyarakat yang akan rentan menghubungkan hal itu dengan upaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI/Polri atau hal-hal sejenis lainnya. Selain juga TNI/Polri perlu sepenuhnya berkonsentrasi dalam tugas-tugasnya untuk memastikan keamanan negara dan ketertiban masyarakat di masa-masa krusial proses politik Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.

Pemerintah sebaiknya fokus pada pengisian penjabat yang bisa mendapatkan penerimaan publik dan memastikan keberlanjutan pembangunan daerah secara inklusif dan efektif. Mempertimbangkan kita masih di masa pandemi, hal-hal yang spekulatif, kontroversial, dan memancing penolakan masyarakat, sudah seharusnya dihindari dan tidak dilakukan. []

TITI ANGGRAINI

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Mahasiswa Program Doktor FHUI