August 8, 2024

Veri Junaidi: Lebih Kurang Proses Sengketa Hasil Pilkada 2020 di MK

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi memberikan beberapa catatan evaluasi terhadap proses sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) pada diskusi “Catatan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020”, Selasa (23/3). Simak selengkapnya dalam bentuk wawancara.

Ada 9 perkara lewat ambang batas selisih hasil yang dilanjutkan oleh MK dalam pembuktian pokok permohonan. 4 di antaranya dikabulkan. Apa pendapat Anda?

Menurut saya, ada progresifitas yang diberlakukan MK. MK memberlakukan ambang batas di tahun 2015. Saat itu, MK sangat kaku dalam penerapan ambang batas. Akan tetapi, dengan beragam argumentasi MK patuh pada ambang batas, sejak 2017, 2018, dan 2021, menunjukkan MK mulai mempertimbangkan persoalan-persoalan di luar ambang batas. Secara kasuistis, MK mengenyampingkan masalah ambang batas karena ada masalah yang perlu dipertimbangkan.

Dari 4 perkara yang melewati ambang batas dan bahkan dikabulkan, ada persoalan yang sangat serius yang berdampak pada hasil. Kalau ambang batas diberlakukan secara kaku, ada kekhawatiran peserta pemilu melakukan kecurangan secara TSM agar melewati ambang batas. Ini yang oleh MK dijawab melalui putusan-putusan yang dikabulkan. Ada yang dijawab oleh MK karena berdampak pada hasil pemilu, ada juga yang diberikan kesempatan untuk memberikan pembuktian, tetapi tidak dapat diterima oleh MK.

Tapi, ada pemberlakuan yang tidak sama antara 9 perkara yang kemudian diperiksa walau tidak memenuhi ambang batas. Karena, ada yang melewati ambang batas, tetapi tidak diperiksa.

Di putusan sela yang lalu, MK hanya melakukan satu kali persidangan untuk memeriksa saksi. Jadi, kalau MK mau masuk pada pokok permohonan, semestinya semua perkara diberikan proses pembuktian.

Anda melihat ada perkara lain yang melewati ambang batas yang semestinya dapat diperiksa oleh MK?

Ya, ada beberapa daerah yang dalil-dalilnya terbukti dan layak untuk dilakukan PSU (pemungutan suara ulang), tapi MK mempertimbangkan apakah jika dilakukan PSU, cukup signifikan berpengaruh terhadap hasil Pilkada atau tidak. Jadi, pada perkembangannya, MK bukan mahkamah kalkulator. Ini menunjukkan makna hasil pemilu bagi MK.

Memang, pelanggaran-pelanggaran terhadap asas jurdil (jujur dan adil) yang diproses di MK, MK memiliki tantangan yang cukup rumit. Soal waktu penanganan perselisihan hasil misalnya. MK kan hanya diberikan waktu 45 hari. Ini yang jadi dilema, bahwa MK harus memutus seluruh perkara yang diajukan dalam 45 hari. Oleh karena itu, pada akhirnya MK mengambil kebijakan, satu, pembatasan-pembatasan terhadap saksi. Untuk kabupaten/kota, hanya dibatasi 3 orang saksi dan 1 ahli. Berbeda dengan provinsi, saksi 5 orang dan 1 ahli.

Nah, soal pembatasan saksi ini cukup bermasalah. Karena, dalil-dalil yang disampaikan para pihak, pada umumnya menerangkan lebih dari 5 atau 10 peristiwa. Nah, bagaimana para pihak bisa membuktikan setiap peristiwa-peristiwa itu kalau peristiwanya berbeda-beda, dan peristiwa itu terjadi di tingkat TPS. Tentu MK tidak bisa mendengar saksi yang benar-benar mengalami kejadian.

Kebijakan kedua yang diambil MK karena keterbatasan waktu, proses persidangan melalui sistem panel. Undang-Undang MK kan disebutkan bahwa MK memutus dengan sembilan orang hakim. Semua perkara memerlukan pendalaman materi oleh sembilan orang hakim. Tetapi, karena keterbatasan waktu, dibagi menjadi tiga panel. Memang setiap panel melaporkan ke rapat permusyawaratan hakim, tapi pemahaman hakim kan berbeda-beda.

Indikator awal, dari 17 putusan yang dikabulkan, yang paling banyak ada di Panel 2. Di Panel 2 itu ada Aswanto, Daniel Yusmic, dan Suhartoyo. Beda dengan panel 1, ada 4 perkara yang dikabulkan. Di situ ada Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, dan Anwar Usman. Sementara Panel 3, mengabulkan 3 permohonan.

Anda melihat ada disparitas putusan antara masing-masing panel dalam melihat persoalan sengketa hasil?

Harus ada kajian lebih mendalam soal ini. Nanti KoDe Inisiatif akan melakukan kajian itu.

Tetapi, secara keseluruhan, kalau saya melihatnya, di satu sisi MK menunjukkan progresifitasnya karena MK mau melihat pelanggaran-pelanggaran terhadap asas pemilu jurdil dan konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Tetapi, di sisi lain, MK dihadapkan pada waktu yang sangat terbatas. Dalam kasus ini, mana yang akan dipertimbangkan MK? Apakah keadilan subtansialnya atau kepastian hukum? Karena ada batasan waktu.

Anda merekomendasikan agar waktu penanganan sengketa hasil di MK diperpanjang?

Ya, masalah waktu ini harus dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan. Apalagi di Pemilu Serentak 2024, penataan waktu penting untuk dilakukan. Dulu, MK lebih banyak makan waktu untuk memverifikasi perkara di internal. Harusnya kan verifikasi, pembuktian, membedah alat-alat bukti, semua harus dilakukan dalam persidangan.

Oleh karena itu, ke depan, selain memperpanjang waktu penanganan perkara, tentu tanpa mengganggu masa jabatan pemerintahan, tapi MK dalam waktu yang tersedia bisa mengefisiensikan proses pembuktian.