Pada diskusi “Menimbang Sistem Pemilu 2024: Catatan dan Usulan” yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Senin (1/11), anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Viryan Aziz menyampaikan sejumlah catatan atas Pemilu Serentak 2019, serta perbaikan yang tengah dilakukan, juga diusulkan oleh KPU untuk Pemilu 2024. Simak selengkapnya dalam format wawancara.
UU Pemilu tidak direvisi. Bagaimana KPU memandangnya?
Dengan tidak dilakukannya perubahan UU No.7/2017, sebenarnya terbuka peluang untuk menyiapkan Pemilu 2024 secara lebih baik, khususnya memitigasi noda Pemilu 2019. Namun, ada kondisi yang tidak mudah untuk melakukan itu karena pemilu kita sudah terbangun mindset seolah-olah tidak bisa berubah secara teknis. Tidak dapat dipungkiri, semacam ada kejumudan teknis pemilu. Pemilu 1955 sampai 1958, menunjukkan pembentuk UU saat itu mendesain apa yang sampai sekarang kita laksanakan untuk pemilu satu kotak. Lalu dilanjutkan dengan Pemilu Legislatif 1957, 1958. Sayangnya UU No.1/1957, yang membuka ruang Pilkada langsung belum dapat terlaksana masa itu.
Ini menjadi penting bagi kita untuk mengubah mindset. Kalau tidak, apa pun instrumen yang dilakukan tidak akan mampu menyentuh perubahan signifikan. Padahal, pemilu serentak sudah kita lakukan beberapa kali.
Anda menyebut noda Pemilu 2019. Apa saja yang Anda maksud dengan noda?
Pertama, ada 718 petugas pemilu wafat. Ini di KPU saja, belum termasuk Bawaslu dan aparat Kepolisian. Dan ini kejadian berulang di setiap pemilu sejak 1955. Pada Pemilu 1955, ada 164 petugas yang meninggal. Misalnya di Kota Surabaya tahun 1955, pertengahan tahun sebelum September, 1 orang petugas pemilu di Surabaya wafat karena kelelahan mengetik salinan daftar pemilih. Jadi, beban yang berat ini sesungguhnya sudah terjadi sejak 1955, bukan hanya pada pemungutan suara, tetapi pada proses yang berjalan.
Kemudian di Pemilu 2014, ada 114 petugas wafat. Puncaknya di Pemilu 201, yang wafat ada 718 petugas. Belum lagi yang sakit, ada ribuan.
Kedua, hasil Pemilu lebih dari sebulan. Pemilu 2004 sampai 2014 selalu selesai persis 30 hari. Pemilu Legislatif 2014 selesai kurang satu jam melampaui dari batas waktu yang ditentukan undang-undang. Lalu Pemilu 2019, bisa diselesaikan dalam waktu 34 hari dalam rentang waktu 35 hari.
Ketiga, disinformasi yang signifikan terjadi di media digital. Keterbelahan politik rakyat terjadi hingga di keluarga. Di Gorontalo, ada warga yang meminta tetangganya membongkar kuburannya karena perbedaan pilihan politik.
Nah, ini semua tidak boleh terjadi pada Pemilu 2024. Pemilu itu kan sirkulasi elit yang berlangsung idealnya secara damai, tanpa darah. Tidak baik jika capaian yang kita dapat, tapi di elektoral, ada petugas pemilu yang harus wafat.
Kalau kita lihat data yang ada, 86 persen petugas wafat ada di level TPS. Kemudian, 94 persen terjadi pada hari pemungutan suara dan setelahnya.
Ada pertanyaan kepada KPU, apakah tidak melakukan mitigasi saat itu. Kami sudah melakukan. Sebelum hari pemungutan suara, kami berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan karena kami sudah melihat potensi beban kerja teknis yang luar biasa berat. Secara bersamaan, kami juga bersyukur sejumlah KPU di daerah melakukan judicial review terhadap jumlah PPK dan KPU Kabupaten/Kota yang pada sebagian daerah berjumlah 3 orang. Jika tidak, dua hal dimungkinkan akan terjadi, yaitu jumlah petugas pemilu yang wafat akan bertambah, dan dimungkinkan pula, dari kalkulasi kami, Pemilu 2019 tidak bisa selesai pada paling lambat 22 Mei.
Hal minus lainnya, ini yang sangat penting disorot juga. Kampanye hitam terjadi antar pendukung pasangan calon secara masif, bahkan sejak sebelum Pemilu 2019 dimulai. Dan berita hoaks pemilu terjadi signifikan sejak bulan September. Ada pola hoaks pemilu yang sama antara yang terjadi di Indonesia dengan negara lain. Maknanya, disinformasi dalam bentuk berita hoaks pemilu kepada penyelenggara ditujukan untuk mendelegitimasi, itu dilakukan secara sistematis dan by design. Ini perlu jadi perhatian karena ada pihak-pihak yang tidak ingin demokrasi elektoral berjalan tidak semestinya. Alhamdulillah, Indonesia, dalam catatan beberapa teman yang kami temui, dianggap berhasil mengalahkan disinformasi.
Ada yang menilai beratnya beban pemilu serentak karena pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional terbuka. Apa catatan KPU terhadap sistem ini?
Sistem proporsional terbuka cenderung tidak memudahkan pemilih. Bahkan, sistem proporsional tertutup pun bisa demikian jika jumlah peserta pemilunya sangat banyak. Dokumentasi Pemilu 1955, dengan jumlah peserta pemilu yang banyak, pemilih kesulitan.
Dan sekarang, di sejumlah daerah, pemilih kesulitan untuk menemukan siapa yang mau dipilih. Ini juga mengganggu pemilih dalam berkonsentrasi memilih orang yang diinginkannya. Bisa jadi pemilih menginginkan memilih partai atau orang tertentu, tetapi terganggu. Ini terkonfirmasi dengan tingginya tingkat suara tidak sah.
Kemudian, penghitungan surat suara itu kan dilakukan satu per satu. Nah dengan proporsional terbuka, memakan waktu lama, selesai malam hingga dini hari. Belum lagi banyaknya salinan yang harus diisi KPPS, di tengah kondisi fisik dan psikis yang lelah, membuat adanya kekeliruan dalam pencatatan, sekaligus terbukanya pintu manipulasi.
Pemilu Serentak 2024 akan persis diselenggarakan seperti Pemilu 2019 lalu, bahkan dengan penyelenggaraan Pilkada Serentak di satu tahun yang sama. Apa yang telah direncanakan oleh KPU agar Pemilu 2024 agar tidak jatuh korban jiwa?
Begini, kita inginnya tidak ada penyelenggara pemilu yang wafat. Tetapi rasa-rasanya sulit bila tidak dilakukan perubahan. Maka, kami memberikan beberapa alternatif. Proses penghitungan suara itu kan beratnya pada penghitungan dan membuat salinan. Ada 4 opsi. Opsi pertama, seperti Pemilu 2019, penghitungan suara dilakukan tidak paralel. Konsekuensinya, jumlah yang meninggal bisa sama seperti Pemilu 2019.
Opsi kedua, dari analisis beban kerja, apa-apa yang dilakukan petugas KPPS, kalau 7 KPPS ditambah 2 petugas lain, bisa dilakukan penghitungan paralel hanya untuk dua surat suara. Misalnya, dari 5 tingkat menjadi 4 tingkat. Surat suara Pilpres dihitung dengan surat suara Pemilu DPD. Ini bisa mengefisiensikan waktu 2 sampai 4 jam.
Opsi ketiga, membuat paralel dua tingkat. Pilpres dan DPR RI dihitung dalam satu waktu atau paralel, lalu DPD RI dan DPRD Provinsi dihitung satu waktu, lalu DPRD Kabupaten/Kota. Kalau opsi ini digunakan, akan lebih efisien. Atau juga bisa opsi lain.
Apa hal teknis lain yang sedang direncanakan oleh KPU untuk Pemilu 2024?
KPU saat ini melakukan sebuah inovasi. Misalnya, penyederhanaan surat suara, lalu Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi). Itu dilakukan KPU dalam rangka membongkar kejumudan teknis pemilu yang seolah-olah, pemilu kita ya seperti itu saja.
Kemudian, ada keluhan teman-teman daerah bahwa syarat pendidikan SLTA membatasi jumlah orang yang menjadi petugas pemilu di TPS. Kerap kali, jelang Pemilu atau Pemilihan, di akhir-akhir, KPU RI harus membuka ruang persyaratan menjadi sebatas calistung, membaca, menulis, dan menghitung. Secara bersamaan, di masa pandemi, kebijakan di Pilkada 2020, ada hal baik, yaitu membatasi jumlah usia penyelenggara pemilu, sekaligus mencegah petugas pemilu yang mempunyai penyakit komorbid. Kemudian, dokumen persyaratan harus dibuat sederhana. Misal, surat sehat dari Puskesmas, di beberapa daerah, jarak Puskesmas jauh. Mungkin, bisa saja surat keterangan dari istri atau dari suami bahwa pasangannya itu sehat.
Kemudian juga, desain surat suara per dapil biasanya gak boleh dibuka pada saat sosialisasi. Biasanya kita memakai nama buah-buahan. Hal ini membuat orang tidak mengetahui posisi partai, posisi calon yang ingin dipilih. Di masa digital ini, dimungkinkan software surat suara per dapil lengkap dengan surat suaranya yang bisa dibuka saja. Ini penting agar pemilih mengetahui setiap lembar surat suara.
Kemudian, penghitungan suara banyak yang selesai esok harinya. Jadi, penerapan Sirekap dan pemberian salinan hasil pemilu digital itu dimungkinkan. Jadi, yang hanya disalin oleh KPPS hanya beberapa saja. Dengan demikian, waktu akan efisien, kesalahan mencatat akan semakin berkurang. Potensi manipulasi juga bisa diminimalisir.
Di UU Pemilu, belum ada regulasi mengenai rekapitulasi elektronik. Jika Sirekap tak bisa diterapkan sebagai mekanisme untuk menghasilkan hasil pemilu secara resmi, apa hal teknis yang bisa dilakukan KPU agar proses rekapitulasi manual lebih cepat?
Nah, waktu itu pada rekap nasional, bila KPU tidak mengambil kebijakan menghitung secara paralel, dimungkinkan tanggal 22 Mei hasil Pemilu belum selesai. Kami akhirnya di pertengahan jalan membuat dua meja. Ini harus dipilih agar bisa selesai maksimal 35 hari. Alhamdulillah bisa selesai 34 hari.
Untuk mengefisiensikan waktu pemilu, selain digitalisasi melalui Sirekap, bisa juga melakukan rekayasa rekapitulasi dengan melakukan rekap paralel secara menyeluruh. Misal, di Kecamatan Cakung, ada 1.461 TPS. Tidak mungkin selesai tanpa dilakukan rekap paralel. Juga, tidak cukup hanya 5 orang PPK. Maka dimungkinkan untuk diatur di PKPU, agar rekap di tingkat kecamatan dibantu oleh PPS atau KPU Kabupaten/Kota. Pengaturan ini, selama ini baru dilakukan menjelang akhir. Akibatnya, petugas kami di lapangan tidak disiapkan untuk melakukan rekap. Mereka tidak di-bimtek sejak awal untuk melakukan rekap di kecamatan. Itulah yang menjadi sebab mengapa sejumlah rekap angka-angkanya mungkin salah atau sengaja dimanipulasi. Jadi, bila dimungkinkan, rekap paralel sebaiknya direncanakan sejak awal. Diatur di PKPU, ada daerah-daerah yang tidak perlu melakukan rekap melibatkan PPS, ada daerah yang perlu melibatkan PPS.
KPU akan menggiatkan digitalisasi pemilu?
Digitalisasi pemilu itu penting dilakukan secara efektif karena semakin banyak masyarakat yang hidupnya semakin digital. Nah, dari seluruh tahapan pemilu, sejak awal sampai akhir, sampai pemusnahan digital bisa dilakukan kecuali pemungutan dan penghitungan suara. Catatan pentingnya, meski dua itu tidak digital, tetapi kedaulatan digital harus kita jaga dengan baik, karena peretasan pada proses-proses lain mungkin juga terjadi dan jika itu terjadi akan mengurangi kualitas dan integritas pemilu kita.