Berakhirnya masa kampanye dan lanjut ke masa tenang, bukan berarti mengurangi potensi pelanggaran. Jelang pencoblosan 9 Juli Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 justru mata pengawas mesti lebih tajam. Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan mendapat sorotan.
Membahas hal itu, rumahpemilu.org mewawancarai anggota Bawaslu di Pemilu 2009, Wahidah Suaib. Aktivis perempuan di pemilu ini berpendapat, koordinasi yang baik Bawaslu dan KPU akan menangkal banyak pelanggaran. Berikut hasil wawancara dengan Wahidah selepas debat capres-cawapres di Bidakara (6/7):
Apa yang perlu dilakukan Bawaslu di masa tenang hingga menjelang masa pungut hitung?
Pertama, tentunya konsolidasi internal di antara Bawaslu. Penyelenggara pemilu dan pengawas harus lebih canggih mengawasi. Saya yakin peserta pemilu juga melakukan konsolidasi. Saya khawatir di pilpres nanti terjadi pematangan kecurangan dari yang sebelumnya. Kita sudah tahu persis, misalnya, begitu brutal dan vulgarnya politik uang dan meluasnya manipulasi. Bukank tak mungkin peserta pemilu semakin terkonsolidasi untuk melakukan kecurangan. Pelaku lama, yang telah sukses melakukan kecurangan, mungkin mengevaluasi apa yang kurang dari modus yang dia jalankan. Dia akan makin canggih mensiasati kecurangan. Pengawas dan penyelenggara harus lebih canggih mengawasi.
Kedua, ada potensi kerawanan yang mesti kita waspadai di luar pungut hitung, yaitu terkait daftar pemilih. Kami dapat informasi dari pengawas, akses untuk mendapatkan data Daftar Pemilih Khusus ada yang terhambat. Ada yang tidak mendapatkan data DPK itu. Ini sangat rawan dimanipulasi. Bagaimana pengawas mengetahui ini angka suara riil yang di TPS betul-betul menunjukkan suara pemilih, jika data DPK tidak dimiliki. Bukan tak mungkin DPK ini salah satu potensi untuk melakukan manipulasi. Akses Panwas agak terhambat. Kami mendapat pengakuan dari Panwas provinsi.
Apa bentuk spesifik dari konsolidasi?
Pertama, saya yakin masing-masing pengawas sudah tahu pelanggaran yang intensitas dan kualitasnya paling tinggi, yaitu misalnya politik uang dan manipulasi. Apakah itu sudah dievaluasi mendalam? Sinergi dan konsolidasi internal panwas harus sudah menganalisis lebih dalam penyebabnya apa. Menurut saya, itu perlu dianalisis oleh internal panwas dan dikoordinasikan dengan KPU.
Kedua, sudahkah KPU dan Panwas duduk bersama membicarakan kerawanan-kerawanan itu? Boleh jadi ada persoalan yang muncul karena kurang koordinasi dan kepercayaan, saling ngerjain, atau malah kerja sama melakukan kecurangan. Di tingkat atas, ini harus lebih diintensifkan lagi koordinasinya untuk mengantisipasi itu.
Jika berkaca pada pengalaman di 2009, apa beda pelanggaran yang muncul?
Sekarang ini sepertinya tidak bisa lagi menggunakan kategori basic pikiran kita terhadap pilpres 2009 dan membandingkannya dengan yang sekarang. Kalau dulu kita bisa mengatakan bahwa kedekatan emosional antara pemilih dengan peserta pemilu pada legislatif menimbulkan fanatisme yang sangat tinggi terhadap calon masing-masing sehingga potensi konflik di antara pendukung itu tinggi. Kalau sekarang, pilpres 2014 ini, saya melihat adanya dua pasangan yang berhadap-hadapan yang menimbulkan fanatisme pendukung yang sangat tinggi. Kampanyenya juga luar biasa, fanatiknya tinggi.
Yang saya khawatirkan nanti, saat berproses di TPS atau PPS. Orang yang sangat fanatik dengan calonnya bukan tak mungkin tak lagi bertindak berdasar pada aturan yang ada pada saat memperjuangkan sesuatu. Misalnya saat menanggapai proses yang dilakukan penyelenggara pemilu. Itu sudah bicara harga diri. Dalam memperjuangkan kebenaran saksi, sekalipun salah, ada harga diri untuk mempertahankan terus apa yang mereka anggap benar. Tidak berbasis pada aturan lagi. Sudah sangat fanatik, kampanye maksimal, dan ini menjadi potensi kerawananan.
Bawaslu yang sekarang punya dua fungsi yaitu pencegahan dan penindakan. Bagaimana pengoptimalan dua fungsi ini?
Pencegahan yang ada sebetulnya jika panwas punya data. Yang terjadi di TPS dan PPS adalah kesalahan prosedur. Kesalahan prosedur ini bisa dipicu dua hal. Pertama karena ketidaktahuan petugas. Kedua, mereka tidak netral atau berpihak. Dengan data yang berbasis fakta lapangan, dapat diketahui kesalahan prosedur yang paling sering terjadi dan tinggi tingkat kesalahannya. Itu yang perlu dibenahi.
Kami memantau di lima provinsi, ternyata, kesalahan fatal karena cukup tingginya pelanggaran KPPS yang tidak memberi tanda silang pada surat suara yang tidak terpakai. Ini terlalu dimanipulasi. Itu sangat tinggi tingkatannya. Selain itu, tingkat pelanggaran saksi parpol dan ppl tidak menerima c1 pada hari yang sama masih tinggi. Jika ada data yang betul-betul menunjukkan itu terjadi, mesti dibenahi agar tidak terjadi lagi.
Apakah wajar dalih kekurangan kewenangan yang dikatakan Bawaslu digunakan untuk menyimpulkan kurangnya peran Bawaslu?
Saya pikir, Bawaslu ini punya kekuataan dan kelemahan. Kekuatannya karena punya struktur sampai tingkat desa, sekalipun jumlahnya kurang. Kelemahannya, mereka tidak pada posisi eksekutorial. Itu sudah terjadi tahun ke tahun.
Mungkin kita tidak bisa terlalu mengungkapkan itu saat menghadapi tuntutan publik. Menurut saya, bagaimana memaksimalkan kekuatan yang ada untuk meminimalisasi lemahnya fungsi pengawasan karena kekurangan kewenangan itu. Itu tantangannya.
Bawaslu saat ini telah melakukan langkah yang sangat bagus. Misalnya didirikan posko pengawasan pemilu terpadu dan gerakan sejuta relawan. Publik merasa sangat surprise dan senang ada harapan dari sejuta relawan. Deklarasi yang dihadiri sampai tiga ribuan mahasiswa menunjukkan ada harapan besar. Secara gerak, deklarasinya terasa. Diskusi di publik terlihat.
Kemudian orang melihat aktualnya seperti apa. Publik mempertanyakan hasil aksi di lapangan. Saya tidak mengatakan tidak ada, tapi cukup minim kita mendengar data-data itu dipublikasikan. Misalnya, berapa pelanggaran politik uang yang berhasil dideteksi oleh sejuta relawan di provinsi. Faktanya, rilisnya sama dengan NGO yang tidak punya terlalu banyak relawan.
Kami harap, karena itu sudah dideklarasikan ke publik, disiapkan secara matang. Kita berharap ada output yang jelas dari gerakan sejuta relawan itu. Setidaknya terlihat bukti dan prestasi pencegahan pelanggaran relawan di daerah. Kalau tidak mampu, mana jumlah pelanggaran yang sempat berhasil dideteksi dan dilaporkan kepada panwas. Mereka kan di bawah panwas, proses melapornya lebih cepat.
Bagaimana Bawaslu bertindak pada masa tenang?
Di masa tenang, kampanye yang sifatnya formal kemungkinan bisa diredam masing-masing tim kampanye paslon. Tapi, nanti yang terjadi adalah perang udara, perang sosmed.
Menurut saya, perlu mengimbau, mensosialisasikan, dan menggalang kekuatan masyarakat sipil untuk sama-sama meredam tensi yang panas itu. Kita ingin masa tenang ini bukan tidak ada gerakan sama sekali, tapi lebih kepada merenung kelebihan-kelebihan masing-masing capres. Saling serang diredam.
Namun, kita juga tidak boleh menghalangi masyarakat sipil yang ingin mencerdaskan masyarakat. Kita harus bedakan kampanye busuk dan politik pencerdasan masyarakat. Apabila statement adalah fakta, itu upaya memberitahu calon ini adalah seperti ini. Kalau fitnah itu tidak bisa.
Apa catatan penting Anda untuk Bawaslu?
Catatan saya terhadap bawaslu, yang paling saya sarankan adalah saat kasus kampanye hitam tentang Obor Rakyat. Saya tidak mengerti Undang-undang apa yang dipakai Bawaslu, dalam hal ini Nelson Simanjuntak sebagai koordinator divisi hukum dan penanganan pelanggaran pemilu, yang mengatakan bahwa ini bukan pidana pemilu. Ada statement itu yang saya baca dan dengar.
Setahu saya, sangat tegas di situ bahwa menghina seseorang, agama, kelompok, pasangan calon itu SARA. Kita tanya pada publik, apakah isi Obor Rakyat tidak menyangkut SARA? Kalau tidak SARA dan sifatnya tidak menghina, saya setuju itu bukan pidana. Saya rasa anak kecil tahu itu termasuk kategori SARA.
Langkah Bawaslu membuat kuburan terhadap upaya penegakan aturan terkait dengan kampanye busuk. Bawaslu ibarat meredam kuncup-kuncup mekar yang mencoba ingin menunjukkan militansi mereka dalam melakukan penindakan pelanggaran.
Yang tersistemasi dan nyata-nyata statement pada koran itu menyinggung SARA saja dinyatakan bukan pidana pemilu. Lalu bagaimana dengan pelanggaran yang sifatnya insedentil di lapangan? Ini melemahkan spirit penegakan hukum. []