Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Perludem untuk mengonstitusional- kan format pemilu nasional dan pemilu daerah. Namun, dalam putusannya, MK menegaskan, demi menguatkan sistem presidensial, penyerentakan pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, dan DPD tak bisa diutak-atik lagi. Boleh disertai pemilu DPRD dan atau pemilu kepala daerah, tetapi tak boleh dipisah. Rupanya parpol menolak kehendak MK ini.
Dalam Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 tanggal 26 Februari 2020, MK menyodorkan enam pilihan format pemilu. Format pemilu merupakan kombinasi penggabungan jadwal pelaksanaan berbagai jenis pemilu dalam satu periode. UUD 1945 menganut sistem presidensial sehingga terdapat pemilu eksekutif dan legislatif. Karena sistem presidensial berlaku di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, kita mengenal tujuh jenis pemilu: DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, presiden, gubernur, bupati/wali kota.
MK mempersilakan pembentuk UU untuk membuat jadwal pemilu dengan mengombinasikan gabungan berbagai jenis pemilu itu. Namun, lembaga penjaga dan penafsir konstitusi itu telah membakukan pemilu serentak presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD (pemilu nasional) sehingga empat jenis pemilu lainnya (gubernur, bupati/wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) bisa digabungkan atau tidak dengan pemilu nasional.
Oleh karena itu, MK menyodorkan enam pilihan format pemilu. Pertama, pemilu nasional ditambah pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, pemilu nasional ditambah pemilu gubernur dan bupati/wali kota. Ketiga, pemilu nasional ditambah pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta pemilu gubernur dan bupati/wali kota.
Keempat, pemilu nasional lalu di waktu yang berbeda digelar pemilu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta pemilu gubernur dan bupati/wali kota (pemilu daerah). Kelima, pemilu nasional, lalu digelar pemilu DPRD provinsi dan gubernur (pemilu provinsi), dan digelar lagi pemilu DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota (pemilu kabupaten/kota). Keenam, pemilu nasional ditambah dan atau diikuti jenis pemilu lain. Sesuai kewenangannya, presiden dan DPR selaku pembentuk UU dipersilakan memilih salah satunya.
Pilihan ideal
Pilihan pertama biasa disebut pemilu lima kotak, sudah dipraktikkan pada Pemilu 2019. Pelaksanaannya menimbulkan banyak masalah. Pemilih dilanda kebingungan sehingga suara tak sah pemilu DPR saja melonjak jadi 17,5 juta atau 11,2 persen. Penyelenggara keberatan beban pekerjaan sehingga lebih dari 500 petugas meninggal. Jumlah surat suara rusak, terlambat, dan tertukar meningkat. Kampanye partai dan calon di daerah senyap ditelan ingar-bingar kampanye nasional. Ini pilihan buruk.
Pilihan kedua pemilu lima kotak juga. Memang, jumlah calon gubernur dan bupati/wali kota tak sebanyak calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Namun, ini tak kalah ruwet bagi pemilih, terlebih jika pola koalisi partai pengusung capres berbeda dengan koalisi partai pengusung calon gubernur dan bupati/wali kota. Ini pilihan buruk juga. Pilihan ketiga, pemilu tujuh kotak. Jika pemilu lima kotak saja sudah menimbulkan banyak masalah dalam pelaksanaan, apalagi tujuh kotak. Jadi sudah pasti pemilu tujuh kotak lebih buruk dari lima kotak.
Pilihan keempat pemilu nasional dan pemilu daerah. Pelaksanaan dua kali pemilu dalam kurun lima tahun mempermudah pemilih memberikan suara, meringankan beban penyelenggara, dan mengoptimalkan kampanye partai dan calon di daerah. Hasil pemilu nasional memperkuat sistem presidensial di nasional, sedangkan hasil pemilu daerah akan memperkuat pemerintahan daerah sehingga lebih efektif dalam mengemban otonomi daerah. Ini pilihan paling ideal.
Pilihan kelima, pemilu nasional, pemilu provinsi, dan pemilu kabupaten/kota adalah format pemilu paling memudahkan pemilih dan penyelenggara. Namun, format ini sangat memberatkan partai dan calon karena dalam kurun lima tahun harus mengikuti tiga kali pemilu. Frekuensi pemilu tinggi juga menurunkan partisipasi pemilih. Pilihan keenam belum bisa diidentifikasi karena belum ditentukan, tetapi secara konsep, proses, dan hasilnya tidak akan lebih baik dari pemilu nasional dan pemilu daerah.
Menolak dikontrol
Parpol sebetulnya lebih memilih format pemilu legislatif disusul pemilu presiden seperti pada Pemilu 2004 dan 2009, atau format pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Sayangnya, keduanya dinyatakan tak konstitusional oleh MK sehingga tak ada lain kecuali memilih format pemilu nasional dan pemilu daerah. Namun, parpol masih enggan. Seorang petinggi partai menyatakan pemilu nasional dan pemilu daerah mengancam integrasi nasional, tetapi tak jelas di mana dan bagaimana ancaman itu datang.
Ada petinggi partai yang bersilat lidah. Katanya, yang diserentakkan tahapan pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta, dan pendaftaran calon saja, sedangkan pemungutan suara dibedakan waktunya. Petinggi partai lain mengaku sedang menggalang koleganya untuk mengamendemen konstitusi demi mem-permanen-kan format pemilu legislatif dan pilpres.
Mengapa parpol menolak format pemilu nasional dan pemilu daerah? Setidaknya terdapat dua penjelasan. Pertama, penyelenggaraan pemilu legislatif telah memanjakan parpol karena dalam kurun lima tahun, mereka hanya sekali mengikuti pemilu. Memang ada pilpres, gubernur, dan bupati/wali kota, tapi dalam tiga jenis pemilu itu, pekerjaan parpol berakhir pada tahap pencalonan. Selanjutnya calon dan tim sukses yang bergerak menggalang suara.
Kedua, parpol menyadari pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah akan menjadikan daya kontrol pemilih efektif. Mereka tahu, manakala pemilih tak puas dengan kinerja pemerintahan hasil pemilu nasional (presiden dan partai pendukung), pemilih dapat menjatuhkan hukuman pada pemilu daerah, atau sebaliknya, dengan cara tak memilih calon dan partai pengusung. Parpol tak mau menerima situasi demikian.
Itulah mindset politisi kita: sekadar memanfaatkan suara pemilih untuk merebut kursi kekuasaan. Padahal, jika berpikir positif, sedikit saja berjiwa negarawan dan mau bekerja keras, pemilih akan memberikan apresiasi dengan cara memilih kembali calon dan parpol yang berkinerja bagus.
Zona nyaman dinikmati parpol sejak Pemilu 1999. Ini telah membentuk watak kolektif parpol: mementingkan diri sendiri. Demokratisasi politik 22 tahun terakhir gagal mendewasakan. Ucapan, demi bangsa demi negara, jargon belaka.
DIDIK SUPRIYANTO, Peneliti Ilmu Kepemiluan
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/opini/2020/03/23/zona-nyaman-partai-politik/