Syarat Usia Maksimal Penyelenggara Pilkada Adhoc Jadi Sorotan Komisi II

Senin (4/11), Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggelar rapat untuk mendengarkan konsultasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dua rancangan Peraturan KPU (RPKPU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yakni PKPU Rekrutmen Penyelenggara Pilkada Ad hoc dan RPKPU Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.  Dalam rapat yang diselenggarakan di ruang rapat Komisi II, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, KPU menyampaikan adanya perubahan norma baru syarat maksimal usia penyelenggara pemilu ad hoc, yakni 60 tahun.

“Syarat usia menjadi PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), PPS (Panitia Pemungutan Suara), dan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) paling tinggi 60 tahun. Ini mengantisipasi pengalaman wafatnya penyelenggara pemilu di level bawah pada 2019 lalu. Karena yang meninggal itu rata-rata yang usianya diatas 60 tahun, kecuali yang mengalami kecelakaan. Dan riset dari beberapa lembaga dan universitas, mereka meninggal karena memiliki penyakit seperti jantung, diabetes, kanker, dan lain-lain. Jadi, kami ingin mengantisipasi agar tidak terjadi lagi di Pilkada 2020,” kata anggota KPU RI, Ilham Saputra.

Rencana aturan tersebut ditkritik oleh anggota Komisi II. Salah satunya Teddy Setiadi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurutnya, membatasi maksimal usia bukanlah solusi masalah. Pasalnya, dari riset Kementerian Kesehatan terhadap kasus meninggalnya 600 penyelenggara pemilu ad hoc, usia penyelenggara yang meninggal termuda 19 tahun, tertua 73 tahun, dan mayoritas 40an tahun. Selain itu, penyebab meninggal adalah penyakit yang tak bisa mudah dideteksi, melainkan memerlukan general check up. Solusi yang diusulkan yakni, surat pernyataan dari calon penyelenggara pemilu yang bersangkutan bahwa dirinya bebas dari penyakit-penyakit kronis.

“Mungkin menerbitkan surat keterangan bahwa yang bersangkutan terbebas dari penyakit-penyakit beresiko tinggi. Apakah diabetes, TBC, sehingga ini juga menjadi warning bagi dirinya untuk tidak menjadi KPPS kalau dia mengetahui dirinya punya penyakit itu. Lebih baik lagi sih ada general check up, dibiayai negara. Hanya Pilkada itu bebannya tidak seberat Pemilu Serentak lalu lah,” ujar Teddy.

Masukan lainnya datang dari anggota Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Kamrussamad. Menurutnya, jumlah anggota KPPS semestinya ditambah dari 7 menjadi 9, dan minimal usia menjadi 20 tahun dan maksimal 55 tahun. Masukan Samad terkait usia minimal-maksimal didukung oleh Hanan A. Rojak, anggota Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar).

“Batas maksimal, 60 tahun menurut kami terlalu tua. Kita sedang menghadapi bonus demografi yang besar. Sebagian besar ada di pedesaan. Jadi, mungkin 50 atau 55 tahun,” tukas Samad.

Sementara itu, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Cornelis meminta KPU tidak mengatur usia maksimal. Masalah yang membuat penyelenggara pemilu meninggal yaitu banyaknya jumlah formulir yang harus diisi pada hari pemungutan suara.

“Kan sudah ada surat keterangan sehat jasmani dan rohani. Pakai itu saja. Saya sudah 60 tahun, tapi saya masih bisa jalan kaki keliling-keliling. Yang bikin orang mati itu administrasinya kebanyakan. Makanya itu yang disederhanakan,” tandas Cornelis.

Menanggapi masukan anggota Komisi II, Ketua KPU RI, Arief Budiman menyatakan bahwa selain mendorong agar Puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat memfasilitasi proses surat keterangan sehat untuk calon penyelenggara pemilu ad hoc, KPU juga mengupayakan dua hal lain. Pertama, penerapan rekapitulasi elektronik atau e-rekap. Kedua, menginisiasi salinan formulir C1 dalam bentuk digital. Keduanya memerlukan revisi Undang-Undang Pilkada.

“E-rekap akan memangkas kegiatan-kegiatan di tingkat kecamatan. JUga, salinan digital ini nanti begini, C1 Plano difoto, lalu disebar ke peserta pemilu. Dengan demikian, tidak perlu lagi keluarkan uang untuk form yang jumlahnya ribuan lembar. Tapi ini butuh revisi UU,” tegas Arief.

Dua rancangan PKPU terkait Pilkada akan kembali  dibahas pada rapat selanjutnya. Selain diatur maksimal usia, PKPU Rekrutmen Penyelenggara Pemilu Ad hoc juga merubah minimal pendidikan, yakni minimal Sekolah Menengah Atas (SMA), dan penyelenggara adhoc wajib memiliki kemampuan menggunakan teknologi informasi.