Jumlah perempuan pendaftar calon penyelenggara pemilu masih saja timpang. Regulasi tak cukup memadai menampung semangat afirmasi perempuan dalam proses seleksi penyelenggara pemilu.
Perempuan dinilai penting untuk turut terlibat dalam proses pemilu dengan menjadi penyelenggara pemilu. Kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu akan memberi warna dalam advokasi kesetaraan relasi dalam bentuk yang lebih konkret–melalui kebijakan yang dikeluarkan.
“Misalnya rekrutmen anggota legislatif barangkali bisa dimasukkan ketentuan setiap calon memiliki komitmen terhadap perempuan. Yang punya sense untuk melahirkan kebijakan itu adalah perempuan,” kata Sigit Pamungkas, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI divisi pengembangan SDM, saat dihubungi di kantornya (17/10).
Senada dengan Sigit, Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), mengacu pada Bagian Ketiga Undang-undang 15 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Bagian tersebut mendedah tugas, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki penyelenggara pemilu. Kewenangan penyelenggara pemilu amat sentral dalam menentukan proses politik. Oleh karena itu, perempuan diperlukan untuk membuat proses politik lebih ramah terhadap perempuan.
“Anggota Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan KPU, karena penyelenggara pemilu, menentukan seluruh proses dan tahapan pemilu. Kewenangan menerjemahkan UU menjadi kebijakan tentu strategis bagi upaya perjuangan kesetaraan perempuan,” tegas Dian, saat dihubungi (15/10).
Namun, proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu 2017–2022 tak banyak diikuti perempuan. Hanya ada 28,01 persen perempuan pendaftar calon penyelenggara pemilu periode 2017–2022 dari 564 orang yang mendaftar. Rinciannya, 29,2 persen perempuan dari 325 orang mendaftar sebagai calon anggota KPU RI. Sementara perempuan yang mendaftar sebagai calon anggotaBawaslu RI hanya 26,4 persen dari 239 orang pendaftar.
Angka ini melanjutkan tren timpangnya jumlah perempuan pendaftar calon penyelenggara pemilu jika dibandingkan dengan laki-laki.
Kendala
Riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia menyebut empat faktor yang menyebabkan jumlah perempuan yang terlibat sebagai penyelenggara pemilu masih rendah: hambatan kultural, hambatan geogragfis, hambatan pengetahuan, dan hambatan regulasi.
“Perempuan mesti menghadapi kendala berlapis–bahkan sejak membuat keputusan untuk mendaftar,” kata Anna Margret, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, saat diskusi media “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Penyelenggara Pemilu” di Cikini, Jakarta (15/10).
Dalam membuat keputusan mendaftar, perempuan dihadapkan pada sejumlah pertimbangan yang lebih rumit terkait karirnya di ranah publik serta tuntutan perannya di ranah domestik sebagai istri dan ibu rumah tangga. Kondisi kultural masih dominan menghambat perempuan untuk masuk dalam proses seleksi penyelenggara pemilu.
Di wilayah tertentu yang bercorak kepulauan dan pegunungan, perempuan akan makin sulit terlibat. Akomodasi perjalanan yang memerlukan waktu dan biaya khusus jadi tantangan tersendiri.
Perempuan yang menguasai pengetahuan teknis soal pemilu juga jumlahnya tak banyak. “Hal ini patut diduga akibat ketidaksetaraan informasi yang didapat perempuan. Perempuan umumnya memiliki jejaring lebih terbatas dibandingkan laki-laki. Hal ini membuat perempuan tak bisa mendapat informasi yang setara dengan laki-laki,” tandas Anna.
Regulasi yang gagap
Kendala tadi diperburuk dengan regulasi yang tak cukup memadai untuk mendorong perempuan maju jadi penyelenggara pemilu. Hanya undang-undang 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengamanatkan untuk memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan sebagai anggota penyelenggara pemilu. Tidak ada peraturan pelaksana di bawah undang-undang ini yang mampu menjawab tantangan teknis yang dialami perempuan dalam upaya memenuhi keterwakilan 30 persen sebagaimana diatur di undang-undang.
Sebagai contoh, seleksi yang terpusat di Jakarta sangat mungkin menyulitkan perempuan, terutama di daerah. Dengan kendala kultural (tuntutan peran di ranah domestik) dan kendala geografis (corak kepulauan dan pegunungan) yang berkonsekuensi pada kemampuan mobilitas saja akan menghambat perempuan untuk terus bertahan mengikuti tahapan seleksi.
Karena tak ada peraturan pelaksana yang memadai, praktis upaya afirmasi bertumpu pada Tim Seleksi (Timsel) KPU dan Bawaslu 2017–2022 yang dibentuk Kementerian Dalam Negeri. Timsel dituntut untuk turut mengimplementasikan afirmasi–berlandaskan UU Penyelenggara Pemilu–dengan memastikan tahapan demi tahapan berjalan transparan dan adil bagi perempuan.
Namun, hingga tahapan penerimaan pendaftaran dijalankan, Timsel dinilai belum transparan. Indonesia Parliamentary Center (IPC) mencatat hanya ada empat informasi soal penyelenggaraan seleksi yang dibuka pada publik dari semestinya 20 informasi.
“Konteks informasi penting untuk menilai bagaimana Timsel bekerja supaya bisa memastikan Timsel berjalan akuntabel. Kami minta Timsel proaktif membefi informasi kegiatan. Meskipun ad hoc, harus punya petugas khusus yang aktif menginformasikan ke publik mengenai perkembangan seleksi,” kata Hanafi, Direktur IPC, di Jakarta (15/11).
Sementara KPI menuntut Timsel untuk menghasilkan komposisi hasil seleksi yang memperhatikan keterwakilan perempuan. “Kalau Timsel menyediakan perempuan yang lolos cukup, DPR tak akan sulit memilih. Dulu (seleksi KPU 2012), dari 14 cuma 1 perempuan. Komposisi yang dihasilkan Timsel juga harusnya diatur,” kata Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal KPI, di Jakarta (15/10).
Jika Timsel tak berhasil menyediakan perempuan dengan jumlah yang memadai untuk diajukan ke DPR, upaya memenuhi 30 persen perempuan di penyelenggara pemilu sesuai amanat undang-undang kian terjal. Proses politik di DPR dinilai lebih sulit bagi perempuan.
DPR akan lebih mementingkan aspek poltis tanpa peduli akan upaya afirmasi. Saat ditanya mengenai komitmen mendukung perempuan, anggota Komisi II DPR RI, Ammy Amalia Fatma Surya, lebih menekankan pada objektivitas memilih ketimbang mendorong upaya afirmasi perempuan.
“Kita ambil contoh Ombudsman, dari seluruh calon yang diajukan ke DPR, hanya ada tiga perempuan. Jika mesti memenuhi keterwakilan perempuan, dari sembilan ya tiga perempuan itu harus masuk. Tapi dari tiga itu terlihat dua berkualitas. Satu perempuan lagi secara wawasan dan mental tak sebagus dua yang lain. Di situ objektifitas berjalan. Kami hanya meloloskan dua perempuan,” kata Ammy.
DPR sebaiknya memperhatikan tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan. Sebab, peraturan tak mengakomodasi ketimpangan kondisi laki-laki dan perempuan. Regulasi yang ada tak bisa jadi dalih bahwa perempuan dan laki-laki telah diberikan akses dan peluang yang sama untuk mendaftar sebagai penyelenggara pemilu. Ada situasi berbeda yang mesti dihadapi perempuan.
“DPR harusnya mengkaji dan menghasilkan peraturan tentang rekrutmen penyelenggara pemilu nasional dan lokal yang lebih aksesibel bagi pendaftar perempuan,” tegas Anna.