Afirmasi perempuan menghadapi tantangan lebih di Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak pertama bagi Indonesia. Keterwakilan perempuan minimal 30% di parlemen menjadi lebih sulit dicapai mengingat pencalonan perempuan bisa tertutup kampanye calon presiden-wakil presiden.
Bagaimana keterwakilan perempuan 30% Pemilu 2019 tak berhenti pada tahap pencalonan tapi juga hingga tahap keterpilihan? Berikut penjelasan akademisi Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani (7/3):
2019 adalah pemilu serentak yang menyatukan pemilu presiden-wakil presiden dan pemilu DPR, DPD, juga DPRD. Bagaimana masa depan cita keterwakilan perempuan 30% di parlemen?
Afirmasi perempuan pastinya harus lebih dari upaya administratif. Pada Pemilu 2019, kebijakan afirmatif pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif untuk keempat kalinya akan diterapkan. Perjalanan kebijakan afirmatif tersebut telah melewati sejumlah perubahan regulasi yang menandai perkembangan keterwakilan politik perempuan. Dalam implementasinya, perempuan sudah memenuhi di tataran administratif. Belum mencapai 30% di parlemen salah satunya karena partai politik baru sekedar menggugurkan syarat kepesertaan di pemilu.
Bagaimana upaya agar tak sekedar administratif?
Pertama, bagi perempuan yang terlibat di politik harus menyadari dasar dari afirmasi perempuan. Sejatinya tantangan keterwakilan politik perempuan bukan sekadar meningkatkan jumlah keterpilihan elektoral. Tujuan utamanya adalah keseteraaan berkeadilan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kuantitas perempuan di pencalonan dan keterpilihan pemilu hanya pintu masuk.
Apakah perempuan yang terlibat di politik merupakan tubuh yang bercita kesetaraan untuk kesejahteraan rakyat? Semakin konkret jawaban ini, semakin mungkin 30% perempuan di parlemen terwujud.
Sebelumnya afirmasi perempuan dalam undang-undang pun perlu diperkuat dengan peraturan pelaksana pemilu. Apakah di 2019 juga dibutuhkan?
Regulasi operasional seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tetap menjadi faktor strategis. Seperti KPU 2012-2017 yang menerbitkan PKPU No.7/2013 tentang Pencalonan DPR dan DPRD. Dengan ini partai politik mau mematuhi afirmasi perempuan yang belum rinci dalam undang-undang. Ketentuan ini bisa memastikan pencalonan 30% perempuan di tiap dapil.
Apakah keadaan komisioner KPU saat ini berkomitmen terhadap bentuk afirmasi perempuan itu?
Dengan asumsi aturan afirmasi pencalonan perempuan tidak berubah dalam UU Pemilu, tidak ada alasan bagi KPU periode ini untuk tidak membuat peraturan pencalonan yang sama. Aturan itu membuka peluang keterpilihan menjadi lebih tinggi di tiap dapil.
Bagaimana dengan mekanisme rekrutmen di partai politik?
Mau tak mau, perempuan harus menempatkan secara strategis partai politik. Dengan membuktikan potensi dan kekuatan massanya, perempuan bisa menguatkan posisinya dalam rekrutmen pencalonan Pemilu 2019.
Sebetulnya partai politik membutuhkan ini. Masih ada waktu bagi partai politik peserta pemilu mempertimbangkan penerapan afirmasi internal menjelang tahapan pencalonan anggota legislatif yang dimulai Mei nanti. Dengan demikian hasil lebih baik dapat terwujud pada Pemilu 2019 mendatang. []