November 28, 2024

Ikhsan Darmawan: Revisi UU Pilkada Perlu Turunkan Syarat Dukungan Calon Perseorangan

Revisi undang-undang pilkada untuk penyelenggaraan Pilkada 2017 dan 2018 masih berlangsung. Diharapkan waktu ada yang sempit bisa menghasilkan perbaikan sehingga kekurangan dan kesalahan di Pilkada 2015 tak terulang. Salah satunya pengaturan calon tunggal yang di Pilkada 2015 baru disadari luput diatur di tahap pencalonan Pilkada 2015.

Di Pilkada 2015 lalu, dosen politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ikhsan Darmawan meneliti calon tunggal di Tasikmalaya. Tahapan kampanye, pemungutan dan penghitungan suara menjadi bagian rentang waktu penelitian yang dikaitkan dengan dinamika politik lokal di jelang dimulainya penyelenggaraan pilkada. Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan Ikhsan melalui telepon (14/3):

Ada temuan apa di Pilkada 2015 Tasikmalaya yang bercalon tunggal?

Pertama, jelas calon tunggal secara regulasi ada dan tetap disikapi penyelenggaraannya terus berlangsung karena adanya putusan MK. Calon tunggal ditawarkan sebagai peserta pilkada kepada pemilih dengan pilihan “setuju” atau “tidak setuju”. Faktor kedua, karena adanya rasional kolektif di politik Tasikmalaya.

Bisa dijelaskan bentuk konkretnya rasional politik di Tasikmalaya?

Elite politik beserta partai di Tasikmalaya sebetulnya bersepakat menunda Pilkada 2015 ke gelombang kedua, 2017. Dari pihak petahana ini berkait dengan periode jabatan yang lebih pendek/panjang. Elite politik Tasikmalaya sepakat memulai politik dari nol (0) untuk 2017. Istilah mereka “di-zonk-kan”.

Tapi pascaputusan MK, petahana ini mencalonkan di Pilkada 2015. Petahana berpikir rasional, jika mencalonkan di Pilkada 2015 peluang terpilihnya lebih besar dibanding Pilkada 2017 dengan konteks keketatan kontestasi yang bisa jadi lebih tinggi. Partai atau calon lain juga rasional, jika ikut mencalonkan melawan petahana di waktu yang mendadak dan dekat dengan waktu penetapan calon dan masa kampanye, akan kekurangan modal finansial dan massa.

Apakah petahana sebagai calon tunggal di Tasikmalaya telalu tinggi elektabilitasnya?

Tidak juga. Jika merujuk pada hasil penghitungan suara, perbandingan suara “setuju” dan “tidak setuju” tak terlalu jomplang. 60-an persen “setuju” berbanding 30-an persen “tidak setuju”. Calon hanya mendapat 60 persen suara dari total pemilih. Ini di luar tingkat partisipasi tak memilih yang tak datang ke TPS atau suara rusak/tak sah.

Elektabilitas calon tunggal ini tak tinggi. Pilkada Kota Surabaya yang hampir menjadi pilkada calon tunggal memang ada faktor elektabilitas Risma yang tak bisa dikalahkan. Tapi di Pilkada Tasikmalaya, partai lain jika mau mencalonkan bisa menyalip tingkat keterpilihan calon tunggal.

Lebih karena faktor apa terjadi calon tunggal di Pilkada Tasikmalaya?

Petahana. Secara umum petahana yang mencalonkan lagi di pilkada memang jauh lebih kuat Modalnya besar. Finansial, sosial, dan politik  struktural karena bisa melibatkan birokrasi dan aparat sipil negara.

Di konteks Tasikmalaya, putusan MK yang meminta pilkada bercalon tunggal tetap diselenggarakan di 2015 ada di ujung penutupan pendaftaran calon. Sebetulnya partai lain bisa mencalonkan. Tapi waktunya terlalu mepet untuk bisa mengalahkan petahana.

Selain faktor petahana, faktor apa lagi penyebab pilkada bercalon tunggal?

Beratnya syarat calon perseorangan. Jika syarat calon perseorangan di Pilkada 2015 ringan, pasti calon tunggal lebih mungkin tak ada. Tapi memang perlu dipikirkan jumlah yang bisa diterima sebagai legitimasi.

Faktor lain seperti syarat pengunduran diri dewan DPR, DPD, dan DPRD, apakah berpengaruh?

Saya sebetulnya setuju dengan syarat pengunduran pejabat negara. Bukan hanya anggota dewan, tapi juga semua, termasuk kepala daerah. Kepala daerah lebih strategis untuk diminta mundur jika mau mencalonkan lagi. Syarat pengunduran pejabat negara ini selain menghindari diskresi birokrasi atau intervensi aparat sipil negara, juga bukti keseriusan. Jadi pencalonan bukan soal untung rugi.

UU Pilkada masih proses revisi. Punya rekomendasi apa terkait calon tunggal?

Persentase syarat dukungannya dikurangi. Jika diminta angka nominal, perlu riset ini. Kita perlu tahu angka yang tak memberatkan tapi bisa layak menjadi legitimasi pencalonan. Sementara saya berpendapat ketentuan undang-undang sebelumnya, No.12/2008. 3 persen lebih baik.