Pidana pemilu merupakan salah bentuk pelanggaran dalam pemilihan pemerintahan berkala. Banyak kasusnya yang berhenti atau tak tuntas. Dualisme ketentuan pidana dalam penegakan hukum pemilu menjadi salah satu penyebabnya. Bentuk kejahatan seperti pemalsuan dan suap berada dalam ambivalensi rezim pidana umum atau rezim pidana pemilu.
Untuk mendapat penjelasan itu, rumahpemilu.org ikut berdiskusi dengan wakil direktur Lembaga Kajian dan Advookasi untuk Independensi Peradilan, Arsil di Sekretariat Bersama, Gandaria Tengah 3 No.12, Jakarta Selatan (25/1). Perspektif pidana Asril pun berkontribusi mengurangi kontradisi dan kerumitan ketentuan pidana dalam kodifikasi undang-undang pemilu. Berikut wawancaranya:
Bagaimana baiknya ketentuan pidana diatur dalam undang-undang pemilu?
Soal ketentuan pidana pemilu, sebaiknya KUHP (pidana) dijadikan dasar. Selain akan mengurangi banyak pasal berulang, kontradiksi akan lebih terhidari. Selama ini terjadi dualisme karena KUHP tak dijadikan pijakan.
Apa karena ketentuan pidana umum dinilai kurang berat menghukum pelanggar hukum di pemilu?
Yang umum biasa dijadikan pijakan. Ini lebih baik dibandingkan mengatur menjadi khusus padahal substansi kejahatan dari bentuk pelanggarannya sama dengan yang umum. Ini pertama. Kedua, belum tentu hukuman lebih berat lebih efektif mencegah atau mendorong tegaknya pengadilan pemilu.
Bisa dicontohkan?
Politik uang misalnya. Kita batasi pengertiannya, peserta memberikan uang kepada pemilih. Selama ini tak pernah efektif ditangani. Jangan-jangan aturan selama ini tak efektif karena hukumannya terlalu berat. Memberikan/menerima  Rp 50 ribu jangan-jangan terus terjadi dan menjadi kewajaran karena kebingungan menegakan hukuman yang terlampau berat.
Saran konstruktifnya?
Menurut saya, memberikan uang kepada pemilih substansi pidananya sama seperti suap dalam pidana umum. Satukan saja ini. Pemberi dan penerima uang, dalam konteks kemenangan di pemilu, bentuk hukumannya disamakan. Dalam pidana umum, suap, si pemberi dan si penerima sama hukumannya.
Jika disamakan bukan malah jadi tak adil terhadap posisi pemberi yang lebih kuat dibandingkan pemilih?
Tidak. Misal seperti ini. Peserta memberikan uang kepada pemilu Rp 50.000,-, kita tentukan sanksi pidana kepada si peserta dan si calon pemilih 10x jumlah uang transaksi, menjadi Rp 500.000. Si pemilih cuma dikenakan sanksi Rp 500.000, si peserta Rp 500.000 dikali jumlah calon pemilih yang diberikan. Jika memberikan kepada 100 calon pemilih, berarti 500.000 dikali 100, menjadi Rp 50 juta. Ini contoh saja. Kecil jumlahnya, tapi bisa ditegakan. Dibandingkan besar malah jadi permisif dalam penegakannya.
Bagaimana contoh ketentuan itu diterapkan dalam bentuk pemilu yang berbeda dengan peserta yang berbeda? Ada partai, caleg, capres, cagub, cabup, cawakot dan lainnya.
Peserta yang personal bisa sama diperlakukan. Digabungkan saja bentuk-bentuk pemilu itu. Jadi satu rumusan ketentuan pidana bisa diperlakukan untuk pileg, pilpres, dan pilkada. Semua peserta yang personal bentuk hukuman pidananya sama.
Berbeda dengan peserta pemilu yang badan hukum seperti partai. Badan hukum seperti partai tak punya badan, jadi tak bisa diberi hukuman badan. Denda adalah yang besar yang paling mungkin. Jika perusahaan, ada bentuk hukuman pengambilan properti perusahaan oleh negara. Ini cukup memberikan efek cegah dan jera bagi perusahaan. Saya tak tahu apakah pengambilan properti partai tepat dan memungkinkan diterapkan dalam pidana pemilu.
Bagaimana dengan pemberian uang oleh peserta pemilu kepada oknum penyelenggara pemilu? Tentu ini berbeda dengan calon pemilih, karena status oknum penyelenggara merupakan pejabat publik dan dibiayai APBN/APBD.
Menurut saya ini tak perlu diatur dalam ketentuan pidana pemilu. Biarkan saja hal itu diakomodir undang-undang tipikor (tindak pidana korupsi ). Malah jika masuk ketentuan pemilu akan menyertakan batas waktu penanganan hukum. []